Sejarah Asal Usul Kabupaten Blitar Jawa Timur
Selasa, 29 Agustus 2017
Tambah Komentar
Pada zaman dulu (masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa dikaitkan dengan alasan tersebut.
KITAB NEGARAKERTAGAMA
Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kedirimenjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian.
Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
KITAB PARARATON
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor langsung menuju Singosari.
Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.
Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, pada masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok.
Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penatarandi sini dapat diartikan sebagai candi pusat. Selengkapnya, silakan lihat laman Candi Penataran.
Di sebelah timur Candi Penataran terdapat Candi Plumbangan yang berlokasi di Kecamatan Doko yang oleh masyarakat setempat juga dijadikan sebagai objek wisata.
HARI JADI KABUPATEN BLITAR
Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian.
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping(Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitaruntuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wurukpun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat.
Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit.
Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
PADA ZAMAN KERAJAAN
Di Zaman dulu Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919.
Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit.
Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
LEGENDA AWAL MULA NAMA BLITAR
Pada zaman dahulu, di wilayah Kabupaten Blitar ada sebuah kadipaten (Kabupaten) bernama Kadipaten Aryablitar. Adipati-nya (bupatinya) bernama Adipati Nila Suwarna. Adipati ini mempunyai seorang wakil bernama Ki Ageng Sengguruh.
Ki Ageng Sengguruh pada mulanya sangat patuh dan setia pada Adipati Nila Suwarna. Isteri Ki Ageng Sengguruh yang bernama Nyai Ageng Sengguruh tidak suka pada kepatuhan dan kesetiaan suaminya. Apalagi Nyai Ageng Sengguruh sudah lama ingin menjadi permaisuri seorang adipati. Nyai Ageng Sengguruh merayu Ki Ageng Sengguruh agar mau merebut kekuasaan Adipati Nila Suwarna.
Ki Ageng Sengguruh termakan rayuan Nyai Ageng Sengguruh. Dia menjadi manusia bermuka dua. Di depan Adipati Nila Suwarna, Ki Ageng Sengguruh selalu menampakkan kepatuhan dan kesetiaannya. Di belakang, Ki Ageng Sengguruh selalu menjelek-jelekkan Adipati Nila Suwarna. Ki Ageng Sengguruh juga berhasil merayu beberapa punggawa kadipaten untuk diajak mencari kesempatan merebut kekuasaan.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu Ki Ageng Sengguruh untuk merebut kekuasaan pun datang. Saat itu, permaisuri Adipati Nila Suwarna yang bernama Dewi Rayungwulan sedang hamil. Dewi Rayungwulan pun mengidam. Ia ingin sekali makan ikan bader abang asisik kencana (bader merah bersisik emas). Dewi Rayungwulan menyampaikan keinginannya pada Adipati Nila Suwarna.
“Aku sangat senang Dinda hamil. Sudah lama kurindukan untuk mempunyai anak. Kini keinginku akan segera terwujud. Namun, permintaan Dinda ingin makan ikan bader merah bersisik emas sangat aneh. Tapi biarlah! Aku akan minta bantuan Paman Patih Ki Ageng Sengguruh untuk mencarinya,” kata Adipati Nila Suwarna pada Dewi Rayungwulan.
Adipati Nila Suwarna segera memanggil Ki Ageng Sengguruh. Adipati Nila Suwarna menceritakan tentang permintaan permaisurinya pada Ki Ageng Sengguruh.
“Tolonglah, Paman! Carikan ikan bader merah bersisik emas itu untuk permaisuriku! Apa pun syarat dan berapa pun biayanya akan aku penuhi!” pinta Adipati Nila Suwarna.
“Baiklah, Gusti Adipati! Hamba akan berusaha mencari ikan bader merah bersisik emas itu. Izinkan hamba sekarang juga berangkat mencarinya!”
Mula-mula Ki Ageng Sengguruh memang mencari ikan bader merah bersisik emas. Dia bertanya pada para pencari ikan. Mungkin ada di antara mereka yang pernah melihat ikan bader merah bersisik emas. Namun, para pencari ikan tak seorang pun yang tahu. Ki Ageng Sengguruh pun pulang dengan gontai.
Saat pulang, Ki Ageng Sengguruh melewati sebuah kedung (bagian sungai yang lebar dan dalam) bernama kedung Gayaran. Kedung Gayaran adalah kedung yang sangat angker. Siapa pun yang berani masuk ke air di kedung itu pasti akan tenggelam dan meninggal dunia. Para pencari ikan tak ada yang berani mencari ikan di kedung Gayaran.
Tiba-tiba terlintas akal licik Ki Ageng Sengguruh. Timbul niatnya untuk mencelakakan Adipati Nila Suwarna dan merebut kekuasaan Kadipaten Aryablitar. Ki Ageng Sengguruh pun mempergunakan kesaktiannya. Dia mengubah sumping (hiasan) daun telinga kanannya menjadi ikan bader merah bersisik emas. Ikan itu lalu dilepas di kedung Gayaran.
Ki Ageng Sengguruh bergegas kembali ke kadipaten menghadap Adipati Nila Suwarna. Ki Ageng Sengguruh melaporkan bahwa telah mengetahui keberadaan ikan bader merah bersisik emas itu.
“Tempatnya di kedung Gayaran, Gusti Adipati!” lapor Ki Ageng Sengguruh.
“Mengapa Paman Patih tidak menyuruh orang untuk menangkapnya dan membawa kemari?” Tanya Adipati Nila Suwarna.
“Maafkan hamba, Gusti Adipati! Tak seorang pun yang bernai mengambil ikan itu. Ikan itu dipercaya sebagai ikan peliharaan dewa. Hanya para raja atau adipati saja yang dapat menangkapnya. Untuk itu, Gusti Adipatilah yang harus menangkapnya sendiri.
“Baiklah! Aku yang akan menangkap sendiri. Sebenarnya, aku tidak bias berenang. Namun, demi memenuhi permintaan isteri dan calon anakku, apa pun akan kulakukan,” kata Adipati Nila Suwarna. “Ayo, Paman! Tunjukkan di mana kedung Gayaran tempat ikan itu berada!”
Adipati Nila Suwarna diiringi prajurit pengawal mengikuti Ki Ageng Sengguruh menuju kedung Gayaran. Sesampai di kedung Gayaran, Adipati Nila Suwarna memang melihat ada seekor ikan bader merah bersisik emas. Ikan itu sedang berenang ke sana kemari. Sisik emasnya memantulkan cahaya kemilauan terkena sinar matahari.
Hati Adipati Nila Suwarna sangat senang sekali. Dinda Rayungwulan pasti akan senang sekali karena keinginannya terkabul, pikir Adipati Nila Suwarna.
“Prajurit, siapkan jaring untuk menangkap ikan itu! Aku sendiri yang akan turun ke kedung untuk menangkapnya” perintah Adipati Nila Suwarna pada salah seorang prajurit pengawalnya. Prajurit itu segera memberikan jaring penangkap ikan pada Adipati Nila Suwarna. Sang Adipati pun berisap-siap terjun ke air kedung.
Adipati Nila Suwarna berenang di air kedung sambil membawa jaring. Dikejarnya ikan bader merah bersisik emas yang berenang ke sana kemari itu. Ikan itu ternyata gesit sekali. Berkali-kali Adipati Nila Suwarna berusaha menjaringnya. Namun, ikan itu behasil lolos.
Adipati Nila Suwarna menjadi kelelahan. Akhirnya, Adipati Nila Suwarna tak dapat menggerakkan badannya karena sangat lelah. Adipati Nila Suwarna pun tenggelam di kedung itu.
Ki Ageng Sengguruh segera menyuruh para prajurit pengawal menolong Adipati Nila Suwarna. Namun, terlambat sudah! Adipati Nila Suwarna sudah meninggal dunia. Jenazah Adipati Nila Suwarna dibawa kembali ke kadipaten dan dikuburkan dengan baik.
Ki Ageng Sengguruh kemudian mengambil alih kedudukan Adipati Nila Suwarna sebagai adipati di Kadipaten Aryablitar. Ia mengumumkan pada seluruh punggawa dan rakyat Kadipaten Aryablitar bahwa dialah sekarang yang menjadi adipati. Ia memakai gelar Adipati Nila Suwarna II.
Tak seorang pun yang berani membantah keputusan Ki Ageng Sengguruh. Dewi Rayungwulan yang tidak menyetujui keputusan Ki Ageng Sengguruh diusir dari kadipaten. Dewi Rayungwulan yang sedang hamil itu pun meninggalkan kadipaten dengan hati sedih. Dewi Rayungwulan tak tahu akan pergi ke mana.
KESIMPULAN CERITA
Cerita ini tergolong legenda. Nama Blitar konon diambil dari nama Kadipaten Aryablitar dahulu. Legenda ini sangat dikenal oleh masyarakat Blitar. Makam Adipati Nila Suwarna juga masih dapat dijumpai hingga sekarang. Tempatnya di Desa Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
Itulah sedikit kisah mengenai asal usul Berdirinya Kabupaten Blitar Jawa Timur, Indonesia.
Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kedirimenjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian.
Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
KITAB PARARATON
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor langsung menuju Singosari.
Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.
Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, pada masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok.
Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penatarandi sini dapat diartikan sebagai candi pusat. Selengkapnya, silakan lihat laman Candi Penataran.
Di sebelah timur Candi Penataran terdapat Candi Plumbangan yang berlokasi di Kecamatan Doko yang oleh masyarakat setempat juga dijadikan sebagai objek wisata.
HARI JADI KABUPATEN BLITAR
Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian.
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping(Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitaruntuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wurukpun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat.
Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit.
Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
PADA ZAMAN KERAJAAN
Di Zaman dulu Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919.
Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit.
Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
LEGENDA AWAL MULA NAMA BLITAR
Pada zaman dahulu, di wilayah Kabupaten Blitar ada sebuah kadipaten (Kabupaten) bernama Kadipaten Aryablitar. Adipati-nya (bupatinya) bernama Adipati Nila Suwarna. Adipati ini mempunyai seorang wakil bernama Ki Ageng Sengguruh.
Ki Ageng Sengguruh pada mulanya sangat patuh dan setia pada Adipati Nila Suwarna. Isteri Ki Ageng Sengguruh yang bernama Nyai Ageng Sengguruh tidak suka pada kepatuhan dan kesetiaan suaminya. Apalagi Nyai Ageng Sengguruh sudah lama ingin menjadi permaisuri seorang adipati. Nyai Ageng Sengguruh merayu Ki Ageng Sengguruh agar mau merebut kekuasaan Adipati Nila Suwarna.
Ki Ageng Sengguruh termakan rayuan Nyai Ageng Sengguruh. Dia menjadi manusia bermuka dua. Di depan Adipati Nila Suwarna, Ki Ageng Sengguruh selalu menampakkan kepatuhan dan kesetiaannya. Di belakang, Ki Ageng Sengguruh selalu menjelek-jelekkan Adipati Nila Suwarna. Ki Ageng Sengguruh juga berhasil merayu beberapa punggawa kadipaten untuk diajak mencari kesempatan merebut kekuasaan.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu Ki Ageng Sengguruh untuk merebut kekuasaan pun datang. Saat itu, permaisuri Adipati Nila Suwarna yang bernama Dewi Rayungwulan sedang hamil. Dewi Rayungwulan pun mengidam. Ia ingin sekali makan ikan bader abang asisik kencana (bader merah bersisik emas). Dewi Rayungwulan menyampaikan keinginannya pada Adipati Nila Suwarna.
“Aku sangat senang Dinda hamil. Sudah lama kurindukan untuk mempunyai anak. Kini keinginku akan segera terwujud. Namun, permintaan Dinda ingin makan ikan bader merah bersisik emas sangat aneh. Tapi biarlah! Aku akan minta bantuan Paman Patih Ki Ageng Sengguruh untuk mencarinya,” kata Adipati Nila Suwarna pada Dewi Rayungwulan.
Adipati Nila Suwarna segera memanggil Ki Ageng Sengguruh. Adipati Nila Suwarna menceritakan tentang permintaan permaisurinya pada Ki Ageng Sengguruh.
“Tolonglah, Paman! Carikan ikan bader merah bersisik emas itu untuk permaisuriku! Apa pun syarat dan berapa pun biayanya akan aku penuhi!” pinta Adipati Nila Suwarna.
“Baiklah, Gusti Adipati! Hamba akan berusaha mencari ikan bader merah bersisik emas itu. Izinkan hamba sekarang juga berangkat mencarinya!”
Mula-mula Ki Ageng Sengguruh memang mencari ikan bader merah bersisik emas. Dia bertanya pada para pencari ikan. Mungkin ada di antara mereka yang pernah melihat ikan bader merah bersisik emas. Namun, para pencari ikan tak seorang pun yang tahu. Ki Ageng Sengguruh pun pulang dengan gontai.
Saat pulang, Ki Ageng Sengguruh melewati sebuah kedung (bagian sungai yang lebar dan dalam) bernama kedung Gayaran. Kedung Gayaran adalah kedung yang sangat angker. Siapa pun yang berani masuk ke air di kedung itu pasti akan tenggelam dan meninggal dunia. Para pencari ikan tak ada yang berani mencari ikan di kedung Gayaran.
Tiba-tiba terlintas akal licik Ki Ageng Sengguruh. Timbul niatnya untuk mencelakakan Adipati Nila Suwarna dan merebut kekuasaan Kadipaten Aryablitar. Ki Ageng Sengguruh pun mempergunakan kesaktiannya. Dia mengubah sumping (hiasan) daun telinga kanannya menjadi ikan bader merah bersisik emas. Ikan itu lalu dilepas di kedung Gayaran.
Ki Ageng Sengguruh bergegas kembali ke kadipaten menghadap Adipati Nila Suwarna. Ki Ageng Sengguruh melaporkan bahwa telah mengetahui keberadaan ikan bader merah bersisik emas itu.
“Tempatnya di kedung Gayaran, Gusti Adipati!” lapor Ki Ageng Sengguruh.
“Mengapa Paman Patih tidak menyuruh orang untuk menangkapnya dan membawa kemari?” Tanya Adipati Nila Suwarna.
“Maafkan hamba, Gusti Adipati! Tak seorang pun yang bernai mengambil ikan itu. Ikan itu dipercaya sebagai ikan peliharaan dewa. Hanya para raja atau adipati saja yang dapat menangkapnya. Untuk itu, Gusti Adipatilah yang harus menangkapnya sendiri.
“Baiklah! Aku yang akan menangkap sendiri. Sebenarnya, aku tidak bias berenang. Namun, demi memenuhi permintaan isteri dan calon anakku, apa pun akan kulakukan,” kata Adipati Nila Suwarna. “Ayo, Paman! Tunjukkan di mana kedung Gayaran tempat ikan itu berada!”
Adipati Nila Suwarna diiringi prajurit pengawal mengikuti Ki Ageng Sengguruh menuju kedung Gayaran. Sesampai di kedung Gayaran, Adipati Nila Suwarna memang melihat ada seekor ikan bader merah bersisik emas. Ikan itu sedang berenang ke sana kemari. Sisik emasnya memantulkan cahaya kemilauan terkena sinar matahari.
Hati Adipati Nila Suwarna sangat senang sekali. Dinda Rayungwulan pasti akan senang sekali karena keinginannya terkabul, pikir Adipati Nila Suwarna.
“Prajurit, siapkan jaring untuk menangkap ikan itu! Aku sendiri yang akan turun ke kedung untuk menangkapnya” perintah Adipati Nila Suwarna pada salah seorang prajurit pengawalnya. Prajurit itu segera memberikan jaring penangkap ikan pada Adipati Nila Suwarna. Sang Adipati pun berisap-siap terjun ke air kedung.
Adipati Nila Suwarna berenang di air kedung sambil membawa jaring. Dikejarnya ikan bader merah bersisik emas yang berenang ke sana kemari itu. Ikan itu ternyata gesit sekali. Berkali-kali Adipati Nila Suwarna berusaha menjaringnya. Namun, ikan itu behasil lolos.
Adipati Nila Suwarna menjadi kelelahan. Akhirnya, Adipati Nila Suwarna tak dapat menggerakkan badannya karena sangat lelah. Adipati Nila Suwarna pun tenggelam di kedung itu.
Ki Ageng Sengguruh segera menyuruh para prajurit pengawal menolong Adipati Nila Suwarna. Namun, terlambat sudah! Adipati Nila Suwarna sudah meninggal dunia. Jenazah Adipati Nila Suwarna dibawa kembali ke kadipaten dan dikuburkan dengan baik.
Ki Ageng Sengguruh kemudian mengambil alih kedudukan Adipati Nila Suwarna sebagai adipati di Kadipaten Aryablitar. Ia mengumumkan pada seluruh punggawa dan rakyat Kadipaten Aryablitar bahwa dialah sekarang yang menjadi adipati. Ia memakai gelar Adipati Nila Suwarna II.
Tak seorang pun yang berani membantah keputusan Ki Ageng Sengguruh. Dewi Rayungwulan yang tidak menyetujui keputusan Ki Ageng Sengguruh diusir dari kadipaten. Dewi Rayungwulan yang sedang hamil itu pun meninggalkan kadipaten dengan hati sedih. Dewi Rayungwulan tak tahu akan pergi ke mana.
KESIMPULAN CERITA
Cerita ini tergolong legenda. Nama Blitar konon diambil dari nama Kadipaten Aryablitar dahulu. Legenda ini sangat dikenal oleh masyarakat Blitar. Makam Adipati Nila Suwarna juga masih dapat dijumpai hingga sekarang. Tempatnya di Desa Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
Itulah sedikit kisah mengenai asal usul Berdirinya Kabupaten Blitar Jawa Timur, Indonesia.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Kabupaten Blitar Jawa Timur"
Posting Komentar