Sejarah Kematian Kurawa dan Pasukan Kurawa, kisah Mahabharata
Sabtu, 26 Agustus 2017
Tambah Komentar
Dalam sejarah Mahabharata, Bimalah yang menghabisi nyawa para Kurawa, Putra Si Buta Dretarastra. Hingga membuat Raja Dretarastra murka setelah perang berakhir, karena semua Keturunannya lenyap di tangan Bima(Werkudara).
Pada suatu hari Dretarastra Marah atas kekalahan pasukan Kurawa, dan ingin membunuh Bima. Namun Sri Krishna tidak tinggal diam. Dengan kesaktiannya, Krishna mampu mengelabui Dretarastra yang ingin menghabisi Bima diganti dengan Patung menyerupai Bima. Patung tersebut hancur seketika jadi debu, karena kesaktiannya. Sedangkan Bima tetap selamat atas bantuan dari Sri Krishna.
Saat Perang Baratayudha berlangsung, Bima tidak segan untuk melenyapkan Kurawa, karena sakit hati yang dialami oleh Pandawa. Seperti Penindasan pada pandwa, direbutnya kerajaan Pandawa dan yang paling menyakitkan adalah Penghinaan terhadap Drupadi yang ditelanjangi oleh Dursasana di depan banyak orang. Dari peristiwa itu lah Bima mengucapkan Sumpahnya "Keturunan Dretarastra akan lenyap di tangan Bima".
Berikut kami sajikan Peristiwa Perang Baratayudha, Kematian dan Kekalahan dari pihak Kurawa :
KEMATIAN KAKEK BISMA
Pada hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan Srikandi di depan kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia adalah seorang wanita yang berganti kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi.Disamping itu, Srikandi adalah reinkarnasi Amba, wanita yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.
Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap di dagingnya.
Bisma terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya.Setelah Bisma jatuh, pasukan Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk menempatkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma meminta dibawakan air.
Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah, lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma.Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang melakukan peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.
KEMATIAN JAYADRATA
Setalah Kematian Abimanyu, Arjuna bersumpah untuk membunuh Jayadrata. Namun waktu yang dibutuhkan Arjuna sangat sedikit, karena Jayadrata bersembunyi. Hal ini membuat Yudhistira cemas, tidak mungkin terompet kerang Kresna dibunyikan tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna. Pasti Arjuna terkena malapetaka, pikir Yudhistira.
Ia memanggil Satyaki dan berkata kepadanya, “Satyaki, engkau sahabat Arjuna yang terdekat. Tak ada yang tak dapat kaulakukan untuk menolong Arjuna. Pergilah engkau segera, bantulah Arjuna!”
Satyaki menjawab, “Wahai Raja yang tak pernah berbuat dosa, aku akan lakukan perintahmu. Apa yang tidak kulakukan demi Arjuna? Tetapi ijinkan aku mengatakan bahwa Kresna dan Arjuna telah berpesan: sesaat pun aku tidak boleh meninggalkanmu sebelum mereka kembali dari menghabisi Jayadrata. Kata mereka, ‘Waspadalah dalam menjaga Yudhistira. Kami percayakan keselamatannya padamu. Durna berniat menculiknya.’ Kalau aku pergi, kepada siapa aku dapat mempercayakan keselamatanmu, Dharmaputra? Tak seorang pun di sini yang dapat menahan serangan Durna kalau ia datang menculikmu. Pikirkanlah masak-masak!”
Yudistira: "Satyaki, aku telah pikirkan masak-masak. Pergilah engkau dengan ijinku. Jangan khawatir, di sini ada Bhima, Drestajumena dan yang lain".
Satyaki: "Bima, jagalah Dharmaputra. Hati-hatilah engkau".
Mengetahui Satyaki pergi, Durna kembali menyerang Yudhistira dengan serangan yang lebih hebat dan pasukan lebih kuat.
Sudah lewat tengah hari, tetapi Arjuna belum juga kembali. Demikian pula Satyaki. Yudhistira cemas dan bingung, lebih-lebih karena pasukan Kurawa yang dipimpin Durna semakin dekat.
Yudistira: "Yayi Bima, aku khawatir Arjuna telah tewas dibunuh musuh. Bunyi trompet Kresna tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna membuatku bingung. Mungkin Kresna sudah mengangkat senjata, padahal ia telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata. Pergilah engkau, bergabunglah dengan mereka dan Satyaki. Lakukan apa yang harus kaulakukan dan kembalilah segera. Jika bertemu mereka dalam keadaaan hidup, mengaumlah seperti singa auman yang biasa engkau perdengarkan".
Bima berangkat memenuhi perintah kakaknya. Saat dihadang Durna, Bima melemparkan gada ke kereta Durna. Kereta itu hancur. Ksatria Jodipati itu maju sampai ke dekat tempat Arjuna bertarung melawan Jayadrata. Segera setelah melihat Arjuna, Bima mengaum bagai singa lapar. Suaranya berkumandang di udara. Kresna dan Arjuna mendengar Bima mengaum, lalu membalas dengan isyarat penuh kegembiraan.
Sayup-sayup Yudistira mendengar auman Bima. Maka hilanglah segala kecemasan dan keraguannya. Serta merta ia memanjatkan doa dan mengucapkan mantra demi keselamatan Arjuna. Mantra ini bersamaan dengan mantra Kresna yang membuat alam menjadi gulita. Jayadrata lengah, dipikirnya senja telah tiba dan Arjuna tidak berhasil melaksanakan sumpahnya, saat lehernya mendongak menatap awan hitam yang bergulung-gulung lepaslah anak panah dari Gandiwa Arjuna, detik itu juga terpenggallah kepala Jayadrata.
KEMATIAN GURU DRONA
Setelah Raja Drupada dan Raja Wirata dibunuh oleh Drona, Bima dan Drestadyumna bertarung dengannya di hari kelima belas.
Karena Drona amat kuat dan memiliki brahamastra (senjata ilahi) yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila Aswatama putranya gugur dalam perang tersebut.
Kemudian Bima membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur.
Drona mendekati Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian putranya. Yudistira mengatakan "Ashwathama Hatha Kunjara", namun dua kata terakhir "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat rencana sehingga Drona tidak mendengar kata "gajah").
Sebelum peristiwa tersebut, kendaraan perang Yudistira, yang disebut Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang beberapa inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretannya menyentuh tanah.
Setelah menduga bahwa putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan sumpahnya.
KEMATIAN DURSASANA
Dursasana tewas pada perang baratayuda pada hari ke 16. Dia tewas dibunuh oleh Bima (pandawa). Sebelum dibunuh, dia disiksa terlebih dahulu dengan cara dipotong kedua tangannya, dan kemudian diminum darah nya. Tak hanya itu saja, drupadi juga menyusul ke medan pertempuran untuk mandi darahnya dursasana. Sangat mengerikan dan sadis.
Bima meminum darah dursasana
Pada versi lain pertempuran Barata Yuda Bima berhasil bertemu tanding dengan Dursasana, setelah beberapa saat mereka bertarung, terlihatlah bahwa Bima lebih unggul. Dursasana sudah mulai merasakan kesakitan pada badannya yang melemah.
Bima memandang dengan penuh dendam, teringat perbuatan si Dursasana yang mempermalukan Dewi Drupadi isteri kakaknya Yudistira. Sesaat kemudian berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi di sekitarnya, ia menyeret si Dursasana.
”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang menjelma di dunia ini! Lihat inilah Bima yang sedang akan memenuhi janjinya di tengah medan pertempuran. Darah Dursasana inilah yang akan aku minum. Lihatlah!
”Dan untuk dewi Drupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai rambutnya.”
“Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dursasana dan rasakan pahalamu untuk membuat kejahatan yang terus menerus. bah !”
“bahwa kau ini tetap meronta-ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akankah kau lanjutkan perbuatanmu yang jahat itu? ”
“Mengapa, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”
Demikianlah ucapan Bima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus Dursasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, dia merobek perut itu dengan kukunya yang sangat tajam, pada saat Dursasana masih hidup.
Pada ketika itu Dursasana menjadi tidak sadarkan diri dari rasa sakit yang tak tertahankan; kemudian setelah perut yang sudah robek itu, dada Dursasana juga di sudet lebih lebar lagi.
Kelihatannya seolah-olah Dursasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit.
Dan saat itu tiba ketika Bima minum darah orang yang masih hidup itu, Dursasana dengan gelap mata memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, meronta-ronta dan mencoba memegang Bima, padahal badannya sedang berkelojotan sekarat.
Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bima minum darah dan dengan ketetapan hati dan mata merah dan marah, menarik usus Dursasana keluar dari perutnya.
Kelihatannya seolah-olah ia akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.
Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega merah yang kena sinar matahari. Bima yang berjalan dengan angkuhnya itu dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjulang ke atas. Dengan segera ia melempar-lemparkan mayat Dursasana ke atas, dan jatuh ketempat Suyudana berdiri disertai oleh kata-kata seperti guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!”
Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya. Telah bertahun-tahun dia menunggu saat ini. Saat penggenapan sumpahnya ketika dia dipermalukan oleh Dursasana. Bahwa dia tidak akan menggelung lagi rambutnya hingga dia bisa keramas dengan darah Dursasana.
”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya kepada perempuan abdinya, yang segera membawa bokor itu ke arah Bima. Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu.
Drupadi ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya berisi kekejaman. Benar dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?
”Inilah air kutukan itu, Dewi.” Bima menyerahkan bokor itu kepada Drupadi yang sedang berada didalam tenda.
Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas itu ke atas kepalanya. Maka terjadilah penggenapan sumpahnya dia berkeramas dengan darah Dursasana.
KEMATIAN RAJA ANGGA KARNA
Pada perang Bharatayudha yang ke 17 hari, Karna menyuruh Raja Salya yang menjadi kusir keretanya untuk memacu kencang keretanya agar bisa mendekat kereta yang ditumpangi oleh Arjuna.
Namun baru berjalan beberapa meter, roda kereta kuda yang dikusiri Raja Salya terjerembab dalam sebuah lubang berlumpur. Karna menyuruh Raja Salya untuk mengangkat roda kereta yang masuk dalam lubang tersebut. Namun Salya menolak karena menurutnya ia hanya bertugas menjadi sais kereta saja bukan seorang pesuruh dan menyuruh Karna sendiri yang memperbaiki roda keretanya itu.
Untuk sementara Karna menatap Arjuna dan berharap agar Arjuna mau menahan diri sebelum dirinya benar-benar siap bertarung kembali. Karna pun turun dari keretanya itu, lalu menyimpan busurnya dan mencoba mengangkat sendiri roda kereta yang terjerembab dalam lubang yang penuh lumpur.
Sebagai seorang ksatria, Arjuna faham betul seperti apa tindakan seorang ksatria ketika menghadapi musuhnya yang belum siap, Ia pun hanya memandang Karna dari kejauhan.
Krishna yang bertugas menjadi kusir kereta yang ditumpangi Arjuna berkata, " Inilah waktunya untuk membalaskan kematian Abimanyu, angkat panahmu sekarang, Arjuna. " Tidak, bhatin Arjuna menjerit, ia tidak sampai hati harus menjadi seorang pengecut dengan membunuh musuh yang belum siap untuk bertempur.
Namun, Krishna tetap mengingatkan Arjuna akan sumpahnya, dan bagaimana Karna dengan teganya membunuh Abimanyu. Hati Arjuna bergolak, namun karena ia masih memikirkan tentang Abimanyu anaknya yang mati muda akhirnya Arjuna pun mengangkat busurnya dan mengarahkan panahnya pada Karna yang masih sibuk mengangkat roda keretanya itu.
Karna sadar, bahwa ia tidak memiliki waktu untuk mengambil senjatanya sehingga ia pun memilih untuk diam menunggu, meski dalam versi lain disebutkan bahwa ia lupa bagaimana memanggil senjata Bramastra. Akhirnya dengan sekelebat panah yang dilepaskan dari busur Arjuna pun menembus leher Karna yang membuatnya terpental menjauh dari keretanya.
KEMATIAN SENGKUNI
Setelah gugurnya Prabu Salya di medan Kurusetra, kini ganti Patih Sengkuni dengan kereta perangnya memasuki Medan Kurusetra, menuju pertahanan Pandawa. Ternyata Patih Sengkuni betul betul mahir dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang, juga gada.
Berkali kali senjata senjata Pandawa mengenai tubuh Sengkuni namun, tidak satupun bisa melukai Sengkuni. Bahkan Sengkuni melepaskan berbagai panah ke arah Arjuna dan Patih Sengkuni berhasil mematahkan serangan panah Arjuna.
Werkudara mencegat kereta perang Sengkuni. Werkudara memaksa Sengkuni turun dari Kereta perang Sengkuni pun turun. Terjadi perkelahian antara Werkudara dan Sengkuni Berkali-kali Werkudara memukul tubuh Sengkuni dengan Gada Rujakpolo. Namun Sengkuni hanya ketawa-ketawa, ia tidak merasakan kesakitan.
Werkudara terus memukul Sengkuni dari kepala, dada, perut, sampai paha,betis dan telapak kaki, namun kelihatannya tidak merasakan apa apa Werkudara tidak patah semangat. Gada Rujakpolo ditinggalkan, Werkudara maju menghadapi Sengkuni, terjadilah perkelahian, berkali-kali Werkudara menangkap Sengkuni, namun kulit Sengkuni licin bagaikan belut, sehingga selalu lepas.
Werkudara terus melawan Sengkuni. Werkudara, teringat masa lalu, kejadian Bale Sigolo golo, yang hampir membawa korban para Pendawa, itu karena perbuatan Sengkuni.
Perang dadu, itu ide Sengkuni yan mencurangi Pandawa, hingga Pandawa sengsara 13 tahun di hutan. Sedangkan Sengkuni merasa kecewa ketemu Prabu Pandu di Mandura, waktu sayembara memperebutkan Dewi Kunti, Sengkuni menyerahkan Dewi Gendari, kakaknya pada Pandu, dengan harapan agar kakaknya bisa berbahagia bersama Pandu. tetapi ternyata kakaknya di berikan pada Drestarastra.
Andaikata Dewi Gendari tidak diberikan pada Drestarastra, Kurawa itu menjadi anak Pandu. Sehingga Pandu akan memiliki 105 anak. Pastilah Astina sangat kuat. Dan tidak ada perang Barata Yudha. Semua ini gara-gara Pandu. Maka Sengkuni ingin membunuh anak-anak Pandu, yang telah membikin sengsara.
Werkudara capek menghadapi Sengkuni. Tiba-tiba Werkudara ingat, bahwa kulit Sengkuni amat licin, dan peluhnya berbau minyak tolo (sejenis minyak tanah), pasti ada hubungannya waktu Kurawa dan Pendawa masih kecil bermain di sumur tua menemukan cupu minyak tolo milik kakek Abiyasa yang berisi minyak kesaktian. Yang akhirnya minyak tersebut diambil Sengkuni dan dilumurkan keseluruh tubuhnya.
Werkudara langsung meraih leher Sengkuni, lalu dihimpitnya dengan lengannya kuat kuat, sehingga lehernya tercekik, dan mulutnya pun membuka lebar kehabisan napas.
Werkudara memasukkan kuku Pancanaka kedalam mulut Sengkuni karena Sengkuni tidak meminum minyak tolo,maka dengan mudah dirobek robeknya sampai kedalam leher dan menembus ke jantungnya. Namun Sengkuni masih hidup. Ia mengerang kesakitan. Werkudara menjadi ngeri dan ketakutan. Walaupun sudah luka berat, Sengkuni tidak mati mati.
Prabu Kresna meminta Werkudara bisa menyempurnakan kematiannya. Werkudara akhirnya mengerti
keadaan ini dikarenakan kesaktian Lengo tolo yang dioleskan kesekujur tubuh Sengkuni. Setelah terkelupas kulitnya, akhirnya Sengkuni pun Gugur.
Dalam kisah lain Perang Baratayudha dikisahkan bahwa Sadewalah yang pertama kali melawan Sengkuni.
Dan Sadewa akhirnya berhasil mengalahkannya.
Di tengah-tengah pertempuran tersebut, Bima meminta Sadewa agar ia diperkenankan untuk melanjutkan pergulatannya dengan Sangkuni. Ya, tentu saja bukan lawan yang sepadan. Sangkuni pun langsung tak berkutik.
Di tengah ketidakberdayaannya inilah Bima menyobek mulut Sangkuni selebar-lebarnya hingga ke ujung telinganya.
Ada juga sebuah versi cerita menyebutkan, Bima juga menguliti Sangkuni dan dibiarkan sekarat. Ia baru mati ketika tubuhnya disandingkan dengan Duryudana yang sama-sama sekarat. Kalau di versi terakhir berarti ia sekarat sehari lebih.
KEMATIAN DURYUDANA
Pada akhir Perang Baratayudha dan Setelah kematian Prabu Salya ditangan Yudistira, tentara Hastina telah kehilangan panglima perangnya. Duryudana dengan ketakutan melarikan diri kedalam hutan dan menghilang. Kubu Kurawa kini tanpa pemimpin dan mengundurkan diri ke perkemahannya. Berhari2 tidak tampak kegiatan dari kubu Hastina untuk melanjutkan pertempuran, selama Kubu Pendawa selalu siap sedia dengan tentaranya, dengan Bima memimpin tentara penggempur, Arjuna di sebelah kanan dan Nakula Sadewa di sisi kiri.
Setelah lewat seminggu, banyak raja dan adipati pendukung Hastina telah pulang kembali ke tempat asal mereka sementara beberapa tentara telah menyerah kepada Pendawa. Melalui tentara yang menyerah diketahui bahwa Duryudana telah menghilang kedalam hutan selama seminggu. Sri Kresna mengerti bahwa inilah saatnya untuk mengakhiri Bharatayuda. Bersama Pendawa, Sri Kresna datang ke perkemahan Hastina. Terlihat tentara2 Hastina sudah tidak ada niat untuk perang dan patah semangat. Dengan mudahnya Sri Kresna menemukan Duryudana yang sedang berendam di dalam sebuah danau di hutan. Ketika disapa, Duryudana terlihat seperti orang linglung. Ketika ditanya apa yang sedang dilakukannya, Duryudana menjawab, “Aku sedang merenungkan saudara2ku yang telah gugur”.

Sri Kresna kemudian bertanya apa yang akan dilakukan oleh Duryudana, “Aku akan menyerahkan tahta Hastina kepada Yudistira dan akan membuang diriku ke dalam rimba seperti yang dilakukan oleh para Pendawa”. Yudistira yang adil dan bijaksana kemudian berkata bahwa dirinya tidak ingin Hastina, yang diminta hanyalah Indrapasta. Duryudana dipersilahkan memilih salah satu diantara kelima Pendawa sebagai lawan tandingnya, jika Duryudana menang maka dirinya tetap berkuasa di Hastina sementara Pendawa akan menetap di Indrapasta. Setelah berkata itu, Pendawa dan Sri Kresna meninggalakan Duryudana. Duryudana kemudian mulai berpikir siapa yang akan dipilih sebagai lawannya, Yudistira orangnya sabar dan mempunyai ilmu yang aneh, bisa2 dirinya berakhir seperti Prabu Salya. Bima memang Duryudana dendam kepada Bima dan walau kekuatan mereka hampir seimbang, Bima mempunyai ajian2 kekuatan yang berbahaya. Arjuna tidak mungkin karena orangnya sangat sakti dan mempunyai banyak senjata pusaka, dalam sekejap dirinya bisa habis. Nakula Sadewa keduanya amat lincah dan pintar menggunakan pedang dan panah, dirinya bisa diiris2 atau dijadikan sate dengan panah.
Keesokan harinya para Pendawa telah siap di Kuruserta, lengkap dengan senjatanya kecuali Yudistira yang tidak bersenjata tapi tampak tenang2 saja. Kemudian tampak Duryudana dengan gagahnya datang bersenjatakan sebuah gada. Sebagai wasit ialah Prabu Baladewa, orangnya jujur dan menjunjung tinggi keadilan sementara pendiriannya tidak memihak Kurawa maupun Pendawa walau dirinya masih bersaudara dengan Pendawa. Baladewa kemudian bertanya siapakah yang ditantang oleh Duryudana, jawaban Duryudana “Aku memilih Bima yang telah paling banyak membantai saudara2 Kurawa, menghirup darah Durasana dan merobek mulut paman Sangkuni!” Bima yang juga mengharapkan dirinya mendapat kesempatan untuk melawan Duryudana segera maju kedepan membawa gadanya yang sebesar kepala.

Baladewa memberi ketentuan bahwa pertarungan ini adalah antara dua ksatria dan tidak boleh ada pihak ketiga. Ketika mulai, tampak pertarungan berlangsung dengan seimbang, Duryudana yang biasanya pengecut kali ini bertarung mati2an karena menaruh harap untuk menjadi raja di Hastina. Lama kelamaan terlihat bahwa Bima lebih unggul, mahkota Duryudana telah hancur terhantam oleh gada bima kemudian tubuh Duryudana terkena pukulan langsung sehingga terpental. Semua orang mengira Duryudana telah kalah tapi anehnya, Duryudana bangun kembali seperti tidak kesakitan oleh pukulan Bima. Hal ini terjadi berkali2 sehingga akhirnya Bimapun mulai lelah karena pertarungan yang berkepanjangan. Suatu ketika Bima agak lengah sehingga mahkutanyapun hancur dihantam oleh gada Duryudana. Arjuna yang cemas akan keselamatan saudaranya mendekati Sri Kresna dan bertanya kenapa Duryudana tak jatuh2.

Oleh Sri Kresna dijelaskan bahwa ketika bayi Duryudana dimandikan oleh air suci, sehingga kini badannya keras bagaikan besi jika dipukul akan sakit tapi segera sembuh kembali. Arjuna menjadi cemas dan menanyakan bagaimana cara mengalahkannya. Sri Kresna menjawab, “Ketika dimandikan, paha kirinya tertutup oleh sehelai daun, itulah kelemahannya. Sekarang adik Arjuna dekati Bima sambil pura2 menonton dan tepuk paha kiri untuk memberi tanda pada adik Bima”. Arjuna segera melaksanakan perintah Sri Kresna, dan mendekati pertarungan sambil menepuk paha kirinya.
Bima yang otaknya encer segera mengerti maksud Arjuna segera mengeluarkan aji Bayubraja dan dihantamkan sekuat tenaga ke paha kiri Duryudana. Pukulan Bima kena tepat pada paha kiri Duryudana dan Duryudana segera terjatuh sambil berteriak kesakitan. Bima kemudian menghentikan serangannya karena Duryudana sudah tidak berdaya. Duryudana tapi berteriak minta dihabisi karena dirinya sudah tak berdaya, namun sebagai ksatria Bima pantang menyerang orang yang tidak berdaya.
Sri Kresna kemudian menjelaskan bahwa Bima harus mengakhiri nyawa Duryudana karena dalam keadaan seperti itu Duryudana akan menjadi cacat dan selamanya tidak berguna lagi. Sebagai sesama ksatria Bima harus menghormati lawannya dan mengakhiri hidup Duryudana. Bima kemudian mendekati Duryudana dan mengayunkan gadanya ke kepala Duryudana. Baladewa kemudian menghentikan pertarungan dan menyatakan kemenangan Bima. Dengan begitu berakhirlah perang Bharatayuda dengan kemenangan bagi pihak Pendawa.
KEMATIAN ASWATAMA
Aswatama baru muncul setelah mengetahui Kurawa telah hampir ludas dan Duryudana sedang sekarat menghadapi ajal. Lebih-lebih setelah mengetahui bahwa ayahnya telah ajal di tangan Drestajumena. Timbul niatnya ingin membalas. Tapi untuk secara terang-terangan berhadapan dengan pandawa ia merasa tak mampu. Jalan satu-satunya mengadakan gerakan di bawah tanah membuat terowongan yang arahnya menuju ke Pesanggrahan Pandawa dan harus dikerjakan di malam hari untuk tidak diketahui pihak Pandawa. Tapi waktu itu bulan sedang gelap.
Tiba-tiba ia teringat ibunya seorang bidadari dari khayangan untuk dimintai tolong memberi penerangan selama ia bekerja. Dipanggilnya melalui semadi dan seketika itu sang ibu telah berada di hadapannya seraya berkata: “Anakku, ibu mengerti engkau kesulitan membuat jalan di bawah tanah. Tetapi perang telah berakhir lebih baik engkau menyerah supaya engkau selamat,” pintanya.
“Menyerah? Oh tidak. hamba tidak akan menyerah sebelum dapat membalas kematian resi dan raja hamba Duryudana yang sedang sekarat menghadapi ajal,” tolaknya tegas.
“Baiklah jika itu pilihanmu. Ibu akan menerangi dengan cahaya yang terang benderang selama engkau bekerja jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Jika kau langgar, selain cahaya akan lenyap seketika, kau pun akan tercatat sebagai anak durhaka dan akan menerima hukuman yang amat berat,” Aswatama menyanggupi karena pikirnya, apa susahnya tidak menoleh ke belakang.
Maka seketika menggebyarlah cahaya yang amat terang benderang di sekitar itu dan Aswatama pun mulai bekerja membuat lubang. lalu dari mana datangnya cahaya itu? Ternyata cahaya yang terang benderang itu datangnya dari tubuh sang bidadari setelah menanggalkan seluruh busananya kecuali penutup aurat.
Itulah sebabnya Aswatama dilarang menoleh kebelakang. Mula-mula ia bekerja seperti biasa. Tapi lama-lama badan dan kepalanya merasa pegal karena tak bergerak bebas. Di samping itu timbul keingintahuan cahaya dari mana yang diberikan ibunya. Cahaya dari swarga atau lampu dunia. Maka seketika itu ia nekad menoleh ke belakang dan… terdengar suara jerit sang bidadari seiring dengan itu keadaan menjadi gelap gulita. Sang Dewi terbang kembali ke khayangan seraya berkata: “Kau anak durhaka Aswatama.”
Tapi Aswatama tidak menyesal dengan kejadian itu, karena jarak menuju pesanggrahan Pandawa sudah amat dekat dan dalam tempo yang tidak lama, ia telah muncul di permukaan pesanggrahan Pandawa.
Waktu itu para satria sedang tidur lelap tak seorang pun yang terjaga. Maka dengan tenang si anak resi itu membunuh satu persatu para satria Pandawa seperti Drestajumena, Pancawala, Srikandi dan lain-lain. Ketika melangkah ke sebuah kamar, dilihatnya seorang anak bayi yang tak lain Parikesit anak Abimanyu, generasi penerus keturunan Pandawa yang harus segera di lenyapkan. Namun tiba-tiba Dewi Utari terjaga dan menjerit minta tolong sehingga si pembunuh bertangan dingin itu langsung kabur. Sebelum masuk ke hutan ia sempat memberitahu Duryudana yang sedang sekarat, bahwa sakit hatinya telah terbalas dan raja Astina merasa puas kemudian menghembuskan nafasnya.

Keadaan menjadi gempar, Bima, Arjuna dan Kresna segera mengejar si pembunuh ke dalam hutan. Akhirnya Aswatama tak berdaya dihajar Bima walau dapat meloloskan diri. Namun sebuah panah yang dilepas Arjuna tidak dapat dihindari menancap di dadanya. Sewaktu sukmanya akan berpisah dari raganya, Kresna mengutuknya hingga sukmanya amblas ke dasar bumi bersatu dengan binatang-binatang kotor merana salam tiga ribu tahun lamanya.
Pada suatu hari Dretarastra Marah atas kekalahan pasukan Kurawa, dan ingin membunuh Bima. Namun Sri Krishna tidak tinggal diam. Dengan kesaktiannya, Krishna mampu mengelabui Dretarastra yang ingin menghabisi Bima diganti dengan Patung menyerupai Bima. Patung tersebut hancur seketika jadi debu, karena kesaktiannya. Sedangkan Bima tetap selamat atas bantuan dari Sri Krishna.
Saat Perang Baratayudha berlangsung, Bima tidak segan untuk melenyapkan Kurawa, karena sakit hati yang dialami oleh Pandawa. Seperti Penindasan pada pandwa, direbutnya kerajaan Pandawa dan yang paling menyakitkan adalah Penghinaan terhadap Drupadi yang ditelanjangi oleh Dursasana di depan banyak orang. Dari peristiwa itu lah Bima mengucapkan Sumpahnya "Keturunan Dretarastra akan lenyap di tangan Bima".
Berikut kami sajikan Peristiwa Perang Baratayudha, Kematian dan Kekalahan dari pihak Kurawa :
KEMATIAN KAKEK BISMA
Pada hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan Srikandi di depan kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia adalah seorang wanita yang berganti kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi.Disamping itu, Srikandi adalah reinkarnasi Amba, wanita yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.
Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap di dagingnya.
Bisma terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya.Setelah Bisma jatuh, pasukan Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk menempatkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma meminta dibawakan air.
Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah, lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma.Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang melakukan peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.
KEMATIAN JAYADRATA
Setalah Kematian Abimanyu, Arjuna bersumpah untuk membunuh Jayadrata. Namun waktu yang dibutuhkan Arjuna sangat sedikit, karena Jayadrata bersembunyi. Hal ini membuat Yudhistira cemas, tidak mungkin terompet kerang Kresna dibunyikan tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna. Pasti Arjuna terkena malapetaka, pikir Yudhistira.
Ia memanggil Satyaki dan berkata kepadanya, “Satyaki, engkau sahabat Arjuna yang terdekat. Tak ada yang tak dapat kaulakukan untuk menolong Arjuna. Pergilah engkau segera, bantulah Arjuna!”
Satyaki menjawab, “Wahai Raja yang tak pernah berbuat dosa, aku akan lakukan perintahmu. Apa yang tidak kulakukan demi Arjuna? Tetapi ijinkan aku mengatakan bahwa Kresna dan Arjuna telah berpesan: sesaat pun aku tidak boleh meninggalkanmu sebelum mereka kembali dari menghabisi Jayadrata. Kata mereka, ‘Waspadalah dalam menjaga Yudhistira. Kami percayakan keselamatannya padamu. Durna berniat menculiknya.’ Kalau aku pergi, kepada siapa aku dapat mempercayakan keselamatanmu, Dharmaputra? Tak seorang pun di sini yang dapat menahan serangan Durna kalau ia datang menculikmu. Pikirkanlah masak-masak!”
Yudistira: "Satyaki, aku telah pikirkan masak-masak. Pergilah engkau dengan ijinku. Jangan khawatir, di sini ada Bhima, Drestajumena dan yang lain".
Satyaki: "Bima, jagalah Dharmaputra. Hati-hatilah engkau".
Mengetahui Satyaki pergi, Durna kembali menyerang Yudhistira dengan serangan yang lebih hebat dan pasukan lebih kuat.
Sudah lewat tengah hari, tetapi Arjuna belum juga kembali. Demikian pula Satyaki. Yudhistira cemas dan bingung, lebih-lebih karena pasukan Kurawa yang dipimpin Durna semakin dekat.
Yudistira: "Yayi Bima, aku khawatir Arjuna telah tewas dibunuh musuh. Bunyi trompet Kresna tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna membuatku bingung. Mungkin Kresna sudah mengangkat senjata, padahal ia telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata. Pergilah engkau, bergabunglah dengan mereka dan Satyaki. Lakukan apa yang harus kaulakukan dan kembalilah segera. Jika bertemu mereka dalam keadaaan hidup, mengaumlah seperti singa auman yang biasa engkau perdengarkan".
Bima berangkat memenuhi perintah kakaknya. Saat dihadang Durna, Bima melemparkan gada ke kereta Durna. Kereta itu hancur. Ksatria Jodipati itu maju sampai ke dekat tempat Arjuna bertarung melawan Jayadrata. Segera setelah melihat Arjuna, Bima mengaum bagai singa lapar. Suaranya berkumandang di udara. Kresna dan Arjuna mendengar Bima mengaum, lalu membalas dengan isyarat penuh kegembiraan.
Sayup-sayup Yudistira mendengar auman Bima. Maka hilanglah segala kecemasan dan keraguannya. Serta merta ia memanjatkan doa dan mengucapkan mantra demi keselamatan Arjuna. Mantra ini bersamaan dengan mantra Kresna yang membuat alam menjadi gulita. Jayadrata lengah, dipikirnya senja telah tiba dan Arjuna tidak berhasil melaksanakan sumpahnya, saat lehernya mendongak menatap awan hitam yang bergulung-gulung lepaslah anak panah dari Gandiwa Arjuna, detik itu juga terpenggallah kepala Jayadrata.
KEMATIAN GURU DRONA
Setelah Raja Drupada dan Raja Wirata dibunuh oleh Drona, Bima dan Drestadyumna bertarung dengannya di hari kelima belas.
Karena Drona amat kuat dan memiliki brahamastra (senjata ilahi) yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila Aswatama putranya gugur dalam perang tersebut.
Kemudian Bima membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur.
Drona mendekati Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian putranya. Yudistira mengatakan "Ashwathama Hatha Kunjara", namun dua kata terakhir "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat rencana sehingga Drona tidak mendengar kata "gajah").
Sebelum peristiwa tersebut, kendaraan perang Yudistira, yang disebut Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang beberapa inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretannya menyentuh tanah.
Setelah menduga bahwa putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan sumpahnya.
KEMATIAN DURSASANA
Dursasana tewas pada perang baratayuda pada hari ke 16. Dia tewas dibunuh oleh Bima (pandawa). Sebelum dibunuh, dia disiksa terlebih dahulu dengan cara dipotong kedua tangannya, dan kemudian diminum darah nya. Tak hanya itu saja, drupadi juga menyusul ke medan pertempuran untuk mandi darahnya dursasana. Sangat mengerikan dan sadis.
Bima meminum darah dursasana
Pada versi lain pertempuran Barata Yuda Bima berhasil bertemu tanding dengan Dursasana, setelah beberapa saat mereka bertarung, terlihatlah bahwa Bima lebih unggul. Dursasana sudah mulai merasakan kesakitan pada badannya yang melemah.
Bima memandang dengan penuh dendam, teringat perbuatan si Dursasana yang mempermalukan Dewi Drupadi isteri kakaknya Yudistira. Sesaat kemudian berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi di sekitarnya, ia menyeret si Dursasana.
”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang menjelma di dunia ini! Lihat inilah Bima yang sedang akan memenuhi janjinya di tengah medan pertempuran. Darah Dursasana inilah yang akan aku minum. Lihatlah!
”Dan untuk dewi Drupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai rambutnya.”
“Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dursasana dan rasakan pahalamu untuk membuat kejahatan yang terus menerus. bah !”
“bahwa kau ini tetap meronta-ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akankah kau lanjutkan perbuatanmu yang jahat itu? ”
“Mengapa, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”
Demikianlah ucapan Bima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus Dursasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, dia merobek perut itu dengan kukunya yang sangat tajam, pada saat Dursasana masih hidup.
Pada ketika itu Dursasana menjadi tidak sadarkan diri dari rasa sakit yang tak tertahankan; kemudian setelah perut yang sudah robek itu, dada Dursasana juga di sudet lebih lebar lagi.
Kelihatannya seolah-olah Dursasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit.
Dan saat itu tiba ketika Bima minum darah orang yang masih hidup itu, Dursasana dengan gelap mata memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, meronta-ronta dan mencoba memegang Bima, padahal badannya sedang berkelojotan sekarat.
Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bima minum darah dan dengan ketetapan hati dan mata merah dan marah, menarik usus Dursasana keluar dari perutnya.
Kelihatannya seolah-olah ia akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.
Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega merah yang kena sinar matahari. Bima yang berjalan dengan angkuhnya itu dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjulang ke atas. Dengan segera ia melempar-lemparkan mayat Dursasana ke atas, dan jatuh ketempat Suyudana berdiri disertai oleh kata-kata seperti guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!”
Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya. Telah bertahun-tahun dia menunggu saat ini. Saat penggenapan sumpahnya ketika dia dipermalukan oleh Dursasana. Bahwa dia tidak akan menggelung lagi rambutnya hingga dia bisa keramas dengan darah Dursasana.
”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya kepada perempuan abdinya, yang segera membawa bokor itu ke arah Bima. Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu.
Drupadi ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya berisi kekejaman. Benar dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?
”Inilah air kutukan itu, Dewi.” Bima menyerahkan bokor itu kepada Drupadi yang sedang berada didalam tenda.
Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas itu ke atas kepalanya. Maka terjadilah penggenapan sumpahnya dia berkeramas dengan darah Dursasana.
KEMATIAN RAJA ANGGA KARNA
Pada perang Bharatayudha yang ke 17 hari, Karna menyuruh Raja Salya yang menjadi kusir keretanya untuk memacu kencang keretanya agar bisa mendekat kereta yang ditumpangi oleh Arjuna.
Namun baru berjalan beberapa meter, roda kereta kuda yang dikusiri Raja Salya terjerembab dalam sebuah lubang berlumpur. Karna menyuruh Raja Salya untuk mengangkat roda kereta yang masuk dalam lubang tersebut. Namun Salya menolak karena menurutnya ia hanya bertugas menjadi sais kereta saja bukan seorang pesuruh dan menyuruh Karna sendiri yang memperbaiki roda keretanya itu.
Untuk sementara Karna menatap Arjuna dan berharap agar Arjuna mau menahan diri sebelum dirinya benar-benar siap bertarung kembali. Karna pun turun dari keretanya itu, lalu menyimpan busurnya dan mencoba mengangkat sendiri roda kereta yang terjerembab dalam lubang yang penuh lumpur.
Sebagai seorang ksatria, Arjuna faham betul seperti apa tindakan seorang ksatria ketika menghadapi musuhnya yang belum siap, Ia pun hanya memandang Karna dari kejauhan.
Krishna yang bertugas menjadi kusir kereta yang ditumpangi Arjuna berkata, " Inilah waktunya untuk membalaskan kematian Abimanyu, angkat panahmu sekarang, Arjuna. " Tidak, bhatin Arjuna menjerit, ia tidak sampai hati harus menjadi seorang pengecut dengan membunuh musuh yang belum siap untuk bertempur.
Namun, Krishna tetap mengingatkan Arjuna akan sumpahnya, dan bagaimana Karna dengan teganya membunuh Abimanyu. Hati Arjuna bergolak, namun karena ia masih memikirkan tentang Abimanyu anaknya yang mati muda akhirnya Arjuna pun mengangkat busurnya dan mengarahkan panahnya pada Karna yang masih sibuk mengangkat roda keretanya itu.
Karna sadar, bahwa ia tidak memiliki waktu untuk mengambil senjatanya sehingga ia pun memilih untuk diam menunggu, meski dalam versi lain disebutkan bahwa ia lupa bagaimana memanggil senjata Bramastra. Akhirnya dengan sekelebat panah yang dilepaskan dari busur Arjuna pun menembus leher Karna yang membuatnya terpental menjauh dari keretanya.
KEMATIAN SENGKUNI
Setelah gugurnya Prabu Salya di medan Kurusetra, kini ganti Patih Sengkuni dengan kereta perangnya memasuki Medan Kurusetra, menuju pertahanan Pandawa. Ternyata Patih Sengkuni betul betul mahir dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang, juga gada.
Berkali kali senjata senjata Pandawa mengenai tubuh Sengkuni namun, tidak satupun bisa melukai Sengkuni. Bahkan Sengkuni melepaskan berbagai panah ke arah Arjuna dan Patih Sengkuni berhasil mematahkan serangan panah Arjuna.
Werkudara mencegat kereta perang Sengkuni. Werkudara memaksa Sengkuni turun dari Kereta perang Sengkuni pun turun. Terjadi perkelahian antara Werkudara dan Sengkuni Berkali-kali Werkudara memukul tubuh Sengkuni dengan Gada Rujakpolo. Namun Sengkuni hanya ketawa-ketawa, ia tidak merasakan kesakitan.
Werkudara terus memukul Sengkuni dari kepala, dada, perut, sampai paha,betis dan telapak kaki, namun kelihatannya tidak merasakan apa apa Werkudara tidak patah semangat. Gada Rujakpolo ditinggalkan, Werkudara maju menghadapi Sengkuni, terjadilah perkelahian, berkali-kali Werkudara menangkap Sengkuni, namun kulit Sengkuni licin bagaikan belut, sehingga selalu lepas.
Werkudara terus melawan Sengkuni. Werkudara, teringat masa lalu, kejadian Bale Sigolo golo, yang hampir membawa korban para Pendawa, itu karena perbuatan Sengkuni.
Perang dadu, itu ide Sengkuni yan mencurangi Pandawa, hingga Pandawa sengsara 13 tahun di hutan. Sedangkan Sengkuni merasa kecewa ketemu Prabu Pandu di Mandura, waktu sayembara memperebutkan Dewi Kunti, Sengkuni menyerahkan Dewi Gendari, kakaknya pada Pandu, dengan harapan agar kakaknya bisa berbahagia bersama Pandu. tetapi ternyata kakaknya di berikan pada Drestarastra.
Andaikata Dewi Gendari tidak diberikan pada Drestarastra, Kurawa itu menjadi anak Pandu. Sehingga Pandu akan memiliki 105 anak. Pastilah Astina sangat kuat. Dan tidak ada perang Barata Yudha. Semua ini gara-gara Pandu. Maka Sengkuni ingin membunuh anak-anak Pandu, yang telah membikin sengsara.
Werkudara capek menghadapi Sengkuni. Tiba-tiba Werkudara ingat, bahwa kulit Sengkuni amat licin, dan peluhnya berbau minyak tolo (sejenis minyak tanah), pasti ada hubungannya waktu Kurawa dan Pendawa masih kecil bermain di sumur tua menemukan cupu minyak tolo milik kakek Abiyasa yang berisi minyak kesaktian. Yang akhirnya minyak tersebut diambil Sengkuni dan dilumurkan keseluruh tubuhnya.
Werkudara langsung meraih leher Sengkuni, lalu dihimpitnya dengan lengannya kuat kuat, sehingga lehernya tercekik, dan mulutnya pun membuka lebar kehabisan napas.
Werkudara memasukkan kuku Pancanaka kedalam mulut Sengkuni karena Sengkuni tidak meminum minyak tolo,maka dengan mudah dirobek robeknya sampai kedalam leher dan menembus ke jantungnya. Namun Sengkuni masih hidup. Ia mengerang kesakitan. Werkudara menjadi ngeri dan ketakutan. Walaupun sudah luka berat, Sengkuni tidak mati mati.
Prabu Kresna meminta Werkudara bisa menyempurnakan kematiannya. Werkudara akhirnya mengerti
keadaan ini dikarenakan kesaktian Lengo tolo yang dioleskan kesekujur tubuh Sengkuni. Setelah terkelupas kulitnya, akhirnya Sengkuni pun Gugur.
Dalam kisah lain Perang Baratayudha dikisahkan bahwa Sadewalah yang pertama kali melawan Sengkuni.
Dan Sadewa akhirnya berhasil mengalahkannya.
Di tengah-tengah pertempuran tersebut, Bima meminta Sadewa agar ia diperkenankan untuk melanjutkan pergulatannya dengan Sangkuni. Ya, tentu saja bukan lawan yang sepadan. Sangkuni pun langsung tak berkutik.
Di tengah ketidakberdayaannya inilah Bima menyobek mulut Sangkuni selebar-lebarnya hingga ke ujung telinganya.
Ada juga sebuah versi cerita menyebutkan, Bima juga menguliti Sangkuni dan dibiarkan sekarat. Ia baru mati ketika tubuhnya disandingkan dengan Duryudana yang sama-sama sekarat. Kalau di versi terakhir berarti ia sekarat sehari lebih.
KEMATIAN DURYUDANA
Pada akhir Perang Baratayudha dan Setelah kematian Prabu Salya ditangan Yudistira, tentara Hastina telah kehilangan panglima perangnya. Duryudana dengan ketakutan melarikan diri kedalam hutan dan menghilang. Kubu Kurawa kini tanpa pemimpin dan mengundurkan diri ke perkemahannya. Berhari2 tidak tampak kegiatan dari kubu Hastina untuk melanjutkan pertempuran, selama Kubu Pendawa selalu siap sedia dengan tentaranya, dengan Bima memimpin tentara penggempur, Arjuna di sebelah kanan dan Nakula Sadewa di sisi kiri.
Setelah lewat seminggu, banyak raja dan adipati pendukung Hastina telah pulang kembali ke tempat asal mereka sementara beberapa tentara telah menyerah kepada Pendawa. Melalui tentara yang menyerah diketahui bahwa Duryudana telah menghilang kedalam hutan selama seminggu. Sri Kresna mengerti bahwa inilah saatnya untuk mengakhiri Bharatayuda. Bersama Pendawa, Sri Kresna datang ke perkemahan Hastina. Terlihat tentara2 Hastina sudah tidak ada niat untuk perang dan patah semangat. Dengan mudahnya Sri Kresna menemukan Duryudana yang sedang berendam di dalam sebuah danau di hutan. Ketika disapa, Duryudana terlihat seperti orang linglung. Ketika ditanya apa yang sedang dilakukannya, Duryudana menjawab, “Aku sedang merenungkan saudara2ku yang telah gugur”.

Sri Kresna kemudian bertanya apa yang akan dilakukan oleh Duryudana, “Aku akan menyerahkan tahta Hastina kepada Yudistira dan akan membuang diriku ke dalam rimba seperti yang dilakukan oleh para Pendawa”. Yudistira yang adil dan bijaksana kemudian berkata bahwa dirinya tidak ingin Hastina, yang diminta hanyalah Indrapasta. Duryudana dipersilahkan memilih salah satu diantara kelima Pendawa sebagai lawan tandingnya, jika Duryudana menang maka dirinya tetap berkuasa di Hastina sementara Pendawa akan menetap di Indrapasta. Setelah berkata itu, Pendawa dan Sri Kresna meninggalakan Duryudana. Duryudana kemudian mulai berpikir siapa yang akan dipilih sebagai lawannya, Yudistira orangnya sabar dan mempunyai ilmu yang aneh, bisa2 dirinya berakhir seperti Prabu Salya. Bima memang Duryudana dendam kepada Bima dan walau kekuatan mereka hampir seimbang, Bima mempunyai ajian2 kekuatan yang berbahaya. Arjuna tidak mungkin karena orangnya sangat sakti dan mempunyai banyak senjata pusaka, dalam sekejap dirinya bisa habis. Nakula Sadewa keduanya amat lincah dan pintar menggunakan pedang dan panah, dirinya bisa diiris2 atau dijadikan sate dengan panah.
Keesokan harinya para Pendawa telah siap di Kuruserta, lengkap dengan senjatanya kecuali Yudistira yang tidak bersenjata tapi tampak tenang2 saja. Kemudian tampak Duryudana dengan gagahnya datang bersenjatakan sebuah gada. Sebagai wasit ialah Prabu Baladewa, orangnya jujur dan menjunjung tinggi keadilan sementara pendiriannya tidak memihak Kurawa maupun Pendawa walau dirinya masih bersaudara dengan Pendawa. Baladewa kemudian bertanya siapakah yang ditantang oleh Duryudana, jawaban Duryudana “Aku memilih Bima yang telah paling banyak membantai saudara2 Kurawa, menghirup darah Durasana dan merobek mulut paman Sangkuni!” Bima yang juga mengharapkan dirinya mendapat kesempatan untuk melawan Duryudana segera maju kedepan membawa gadanya yang sebesar kepala.

Baladewa memberi ketentuan bahwa pertarungan ini adalah antara dua ksatria dan tidak boleh ada pihak ketiga. Ketika mulai, tampak pertarungan berlangsung dengan seimbang, Duryudana yang biasanya pengecut kali ini bertarung mati2an karena menaruh harap untuk menjadi raja di Hastina. Lama kelamaan terlihat bahwa Bima lebih unggul, mahkota Duryudana telah hancur terhantam oleh gada bima kemudian tubuh Duryudana terkena pukulan langsung sehingga terpental. Semua orang mengira Duryudana telah kalah tapi anehnya, Duryudana bangun kembali seperti tidak kesakitan oleh pukulan Bima. Hal ini terjadi berkali2 sehingga akhirnya Bimapun mulai lelah karena pertarungan yang berkepanjangan. Suatu ketika Bima agak lengah sehingga mahkutanyapun hancur dihantam oleh gada Duryudana. Arjuna yang cemas akan keselamatan saudaranya mendekati Sri Kresna dan bertanya kenapa Duryudana tak jatuh2.

Oleh Sri Kresna dijelaskan bahwa ketika bayi Duryudana dimandikan oleh air suci, sehingga kini badannya keras bagaikan besi jika dipukul akan sakit tapi segera sembuh kembali. Arjuna menjadi cemas dan menanyakan bagaimana cara mengalahkannya. Sri Kresna menjawab, “Ketika dimandikan, paha kirinya tertutup oleh sehelai daun, itulah kelemahannya. Sekarang adik Arjuna dekati Bima sambil pura2 menonton dan tepuk paha kiri untuk memberi tanda pada adik Bima”. Arjuna segera melaksanakan perintah Sri Kresna, dan mendekati pertarungan sambil menepuk paha kirinya.
Bima yang otaknya encer segera mengerti maksud Arjuna segera mengeluarkan aji Bayubraja dan dihantamkan sekuat tenaga ke paha kiri Duryudana. Pukulan Bima kena tepat pada paha kiri Duryudana dan Duryudana segera terjatuh sambil berteriak kesakitan. Bima kemudian menghentikan serangannya karena Duryudana sudah tidak berdaya. Duryudana tapi berteriak minta dihabisi karena dirinya sudah tak berdaya, namun sebagai ksatria Bima pantang menyerang orang yang tidak berdaya.
Sri Kresna kemudian menjelaskan bahwa Bima harus mengakhiri nyawa Duryudana karena dalam keadaan seperti itu Duryudana akan menjadi cacat dan selamanya tidak berguna lagi. Sebagai sesama ksatria Bima harus menghormati lawannya dan mengakhiri hidup Duryudana. Bima kemudian mendekati Duryudana dan mengayunkan gadanya ke kepala Duryudana. Baladewa kemudian menghentikan pertarungan dan menyatakan kemenangan Bima. Dengan begitu berakhirlah perang Bharatayuda dengan kemenangan bagi pihak Pendawa.
KEMATIAN ASWATAMA
Aswatama baru muncul setelah mengetahui Kurawa telah hampir ludas dan Duryudana sedang sekarat menghadapi ajal. Lebih-lebih setelah mengetahui bahwa ayahnya telah ajal di tangan Drestajumena. Timbul niatnya ingin membalas. Tapi untuk secara terang-terangan berhadapan dengan pandawa ia merasa tak mampu. Jalan satu-satunya mengadakan gerakan di bawah tanah membuat terowongan yang arahnya menuju ke Pesanggrahan Pandawa dan harus dikerjakan di malam hari untuk tidak diketahui pihak Pandawa. Tapi waktu itu bulan sedang gelap.
Tiba-tiba ia teringat ibunya seorang bidadari dari khayangan untuk dimintai tolong memberi penerangan selama ia bekerja. Dipanggilnya melalui semadi dan seketika itu sang ibu telah berada di hadapannya seraya berkata: “Anakku, ibu mengerti engkau kesulitan membuat jalan di bawah tanah. Tetapi perang telah berakhir lebih baik engkau menyerah supaya engkau selamat,” pintanya.
“Menyerah? Oh tidak. hamba tidak akan menyerah sebelum dapat membalas kematian resi dan raja hamba Duryudana yang sedang sekarat menghadapi ajal,” tolaknya tegas.
“Baiklah jika itu pilihanmu. Ibu akan menerangi dengan cahaya yang terang benderang selama engkau bekerja jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Jika kau langgar, selain cahaya akan lenyap seketika, kau pun akan tercatat sebagai anak durhaka dan akan menerima hukuman yang amat berat,” Aswatama menyanggupi karena pikirnya, apa susahnya tidak menoleh ke belakang.
Maka seketika menggebyarlah cahaya yang amat terang benderang di sekitar itu dan Aswatama pun mulai bekerja membuat lubang. lalu dari mana datangnya cahaya itu? Ternyata cahaya yang terang benderang itu datangnya dari tubuh sang bidadari setelah menanggalkan seluruh busananya kecuali penutup aurat.
Itulah sebabnya Aswatama dilarang menoleh kebelakang. Mula-mula ia bekerja seperti biasa. Tapi lama-lama badan dan kepalanya merasa pegal karena tak bergerak bebas. Di samping itu timbul keingintahuan cahaya dari mana yang diberikan ibunya. Cahaya dari swarga atau lampu dunia. Maka seketika itu ia nekad menoleh ke belakang dan… terdengar suara jerit sang bidadari seiring dengan itu keadaan menjadi gelap gulita. Sang Dewi terbang kembali ke khayangan seraya berkata: “Kau anak durhaka Aswatama.”
Tapi Aswatama tidak menyesal dengan kejadian itu, karena jarak menuju pesanggrahan Pandawa sudah amat dekat dan dalam tempo yang tidak lama, ia telah muncul di permukaan pesanggrahan Pandawa.
Waktu itu para satria sedang tidur lelap tak seorang pun yang terjaga. Maka dengan tenang si anak resi itu membunuh satu persatu para satria Pandawa seperti Drestajumena, Pancawala, Srikandi dan lain-lain. Ketika melangkah ke sebuah kamar, dilihatnya seorang anak bayi yang tak lain Parikesit anak Abimanyu, generasi penerus keturunan Pandawa yang harus segera di lenyapkan. Namun tiba-tiba Dewi Utari terjaga dan menjerit minta tolong sehingga si pembunuh bertangan dingin itu langsung kabur. Sebelum masuk ke hutan ia sempat memberitahu Duryudana yang sedang sekarat, bahwa sakit hatinya telah terbalas dan raja Astina merasa puas kemudian menghembuskan nafasnya.

Keadaan menjadi gempar, Bima, Arjuna dan Kresna segera mengejar si pembunuh ke dalam hutan. Akhirnya Aswatama tak berdaya dihajar Bima walau dapat meloloskan diri. Namun sebuah panah yang dilepas Arjuna tidak dapat dihindari menancap di dadanya. Sewaktu sukmanya akan berpisah dari raganya, Kresna mengutuknya hingga sukmanya amblas ke dasar bumi bersatu dengan binatang-binatang kotor merana salam tiga ribu tahun lamanya.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Kematian Kurawa dan Pasukan Kurawa, kisah Mahabharata"
Posting Komentar