Sejarah Penyebab Kematian Pandu Dalam Kisah Mahabharata
Kamis, 17 Agustus 2017
Tambah Komentar
Dikisahkan dalam Mahabharata bahwa pada saat Raja Pandu pergi berburu di hutan. Di dalam hutan itu ada seorang resi yang sedang asyik bercengkerama dengan istrinya dan menyamar sebagai sepasang kijang. Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak menyangka bahwa mereka adalah jelmaan seorang resi dan istrinya.
Dia mengangkat panahnya, membidik mereka. Dan… meluncurlah anak panah dari tangan Pandu, melesat cepat, tepat menancap pada tubuh si kijang jantan.
Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap Pandu, “Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.”
Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas yang terakhir.
Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan putus asa ia memikirkan akibat kutukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan kepada Bhisma dan Widura. Pandu memutuskan untuk hidup mengembara di hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa.
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk pastu. Ia tahu, sebenarnya suaminya ingin sekali mempunyai keturunan tetapi tak kuasa mewujudkannya karena kutukan itu. Sebagai istri yang mencintai dan setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan rahasia mantra gaib yang diterimanya dari Resi Durwasa.
Pandu mendesak kedua istrinya untuk menggunakan mantra itu guna memanggil dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi permintaan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan mantra itu dan memohon agar mereka dikaruniai anak.
Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucapkan mantra dan permohonan mereka dikabulkan. Lima dewa turun dari kahyangan menemui kedua wanita itu. Kemudian, dengan cara gaib Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu.
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya ‘yang teguh hati dan teguh iman di medan perang’. Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya.
Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada manusia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur.
Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih bersih bagaikan perak’ disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan kehormatan.
Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi pengaruh sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, setelah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan bermacam-macam binatang hidup damai bersama manusia yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. Memang demikianlah seharusnya, karena Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di musim semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri duduk termangu memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih merasakan gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalurkan, padahal alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara musim semi yang segar.
Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madri yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana musim semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madri dan mencumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera tenggelam dalam olah asmara yang menggebu-gebu.
Tetapi… tiba-tiba Pandu roboh dan seketika itu juga menghembuskan napas yang penghabisan. Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang menjelma dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, menunjukkan kesaktiannya.
Dewi Madri sangat sedih, lebih-lebih karena ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. Ia segera menghadap Dewi Kunti, memohon agar wanita itu bersedia mengasuh anak-anaknya sebab ia akan menyusul suaminya dengan melakukan satya. Tak ada yang dapat mencegahnya. Dewi Madri melakukan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar jenazah suaminya.
Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, baru berusia belasan tahun. Sampai di Hastinapura, rombongan itu menghadap Bhisma.
Para resi dan pertapa itu mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kerajaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman kekal abadi.
Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, “Masa lampau telah berlalu bersama suka dukanya, tetapi masa depan akan datang membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegairahan orang muda yang terbuai mimpi-mimpi.
Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang bisa menghindarinya. Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jika kau meninggalkan Hastinapura dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.”
Satyawati menerima nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan hari-hari mereka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa agar anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai mereka mencapai moksha.
Dia mengangkat panahnya, membidik mereka. Dan… meluncurlah anak panah dari tangan Pandu, melesat cepat, tepat menancap pada tubuh si kijang jantan.
Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap Pandu, “Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.”
Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas yang terakhir.
Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan putus asa ia memikirkan akibat kutukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan kepada Bhisma dan Widura. Pandu memutuskan untuk hidup mengembara di hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa.
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk pastu. Ia tahu, sebenarnya suaminya ingin sekali mempunyai keturunan tetapi tak kuasa mewujudkannya karena kutukan itu. Sebagai istri yang mencintai dan setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan rahasia mantra gaib yang diterimanya dari Resi Durwasa.
Pandu mendesak kedua istrinya untuk menggunakan mantra itu guna memanggil dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi permintaan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan mantra itu dan memohon agar mereka dikaruniai anak.
Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucapkan mantra dan permohonan mereka dikabulkan. Lima dewa turun dari kahyangan menemui kedua wanita itu. Kemudian, dengan cara gaib Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu.
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya ‘yang teguh hati dan teguh iman di medan perang’. Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya.
Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada manusia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur.
Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih bersih bagaikan perak’ disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan kehormatan.
Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi pengaruh sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, setelah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan bermacam-macam binatang hidup damai bersama manusia yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. Memang demikianlah seharusnya, karena Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di musim semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri duduk termangu memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih merasakan gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalurkan, padahal alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara musim semi yang segar.
Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madri yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana musim semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madri dan mencumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera tenggelam dalam olah asmara yang menggebu-gebu.
Tetapi… tiba-tiba Pandu roboh dan seketika itu juga menghembuskan napas yang penghabisan. Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang menjelma dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, menunjukkan kesaktiannya.
Dewi Madri sangat sedih, lebih-lebih karena ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. Ia segera menghadap Dewi Kunti, memohon agar wanita itu bersedia mengasuh anak-anaknya sebab ia akan menyusul suaminya dengan melakukan satya. Tak ada yang dapat mencegahnya. Dewi Madri melakukan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar jenazah suaminya.
Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, baru berusia belasan tahun. Sampai di Hastinapura, rombongan itu menghadap Bhisma.
Para resi dan pertapa itu mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kerajaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman kekal abadi.
Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, “Masa lampau telah berlalu bersama suka dukanya, tetapi masa depan akan datang membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegairahan orang muda yang terbuai mimpi-mimpi.
Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang bisa menghindarinya. Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jika kau meninggalkan Hastinapura dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.”
Satyawati menerima nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan hari-hari mereka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa agar anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai mereka mencapai moksha.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Penyebab Kematian Pandu Dalam Kisah Mahabharata"
Posting Komentar