Sejarah Asal Usul Terbentuknya Kabupaten Purworejo Jawa Tengah
Selasa, 05 September 2017
Tambah Komentar
Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah bagian selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling merupakan wilayah Kerajaan Galuh. Oleh karena itu, menurut Profesor Purbocaraka wilayah itu disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai Pagalihan.
Dari nama Pagalihan ini lama kelamaan berubah menjadi Pagelen, dan terakhir menjadi Bagelen hingga sekarang. Di kawasan tersebut mengalir sungai besar yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama Watukuro sampai sekarang masih ada dan menjadi nama sebuah desa yang terletak dekat muara pantai Congot (Kulon Progo, Yogyakarta). Desa Watukuro sendiri masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Dulu, di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakat hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dibidang pertanian dan memiliki kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Margasira, bertepatan dengan Siva (5 Oktober 901 Masehi), terjadilah suatu peristiwa penting yaitu pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai Prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan dibawah pohon Sono di dusun Boro Tengah tersebut (sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip) disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 sejak tahun 1890. Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro Tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga kuat adalah Rakryan Mahamantri / Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajraprati paksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari naik tahta sebagai raja pengganti iparnya tersebut.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut sebagai tanda bahwa desa Kayu Ara Hiwang telah dijadikan Tanah Perdikan (Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan” atau para Hyang berada. Dalam peristiwa tersebut juga dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang, antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut diduga jika guha yang dimaksud adalah Goa Seplawan, karena di dekat mulut goa Seplawan memang terdapat bangunan suci yaitu Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoni-nya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” seperti yang tertulis dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Perlu diketahui bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen, kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain. Saat itu sejarah mencatat sejumlah tokoh yang disegani, misalnya tokoh Sunan Geseng dalam pengembangan agama Islam di Jawa Tengah bagian selatan yang dikenal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola yang pada saat itu pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelenadalah pasukan andalan dari Sutawijayayang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, yaitu Kedungkebo dan Brengkelan. Pada periode Karesidenan Begelen inilah muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang memiliki pengaruh hingga ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, yaitu dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, wilayah Mataram kemudian dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Hal ini terjadi akibat ikut campur tangannya pihak Belanda. Akibat Perjanjian Giyanti (13 pebruari 1755), Tanah Bagelen yang juga sebagai wilayah Negara Gung dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu dan diumpamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Pada Perang Diponegoro (abad ke XIX), wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pada saat itu Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari masyarakat setempat.
Pada Perang Diponegoro tersebut wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama.
Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesidenan Bagelen dihapus dan digabungkan dengan karesidenan kedu.
Kota Purworejo yang semula Ibu kota Karesidenan Bagelen, statusnya kemudian berubah menjadi Ibukota Kabupaten. Pada tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan,Kabupaten Karanganyar dan Ambaldigabungkan menjadi satu dengan Kebumen dan menjadi Kabupaten Kebumen.
Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk wilayah administrasi Kabupaten Urut Sewu / Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya, Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan juga sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer. Tokoh-tokoh yang muncul antara lain W.R. Supratman (komponis lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”), Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal Ahmad Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri pada jamannya.
Hari JADI KABUPATEN PURWOREJO
Upacara yang diselenggarakan pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi di Boro Tengah dihadiri sekitar 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (Kalongan, Loano).
Kepada para pejabat yang hadir diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa yang terjadi pada 5 Otober 901 Masehi tersebut akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Purworejo melalui sidang DPRD Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Dari nama Pagalihan ini lama kelamaan berubah menjadi Pagelen, dan terakhir menjadi Bagelen hingga sekarang. Di kawasan tersebut mengalir sungai besar yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama Watukuro sampai sekarang masih ada dan menjadi nama sebuah desa yang terletak dekat muara pantai Congot (Kulon Progo, Yogyakarta). Desa Watukuro sendiri masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Dulu, di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakat hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dibidang pertanian dan memiliki kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Margasira, bertepatan dengan Siva (5 Oktober 901 Masehi), terjadilah suatu peristiwa penting yaitu pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai Prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan dibawah pohon Sono di dusun Boro Tengah tersebut (sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip) disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 sejak tahun 1890. Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro Tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga kuat adalah Rakryan Mahamantri / Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajraprati paksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari naik tahta sebagai raja pengganti iparnya tersebut.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut sebagai tanda bahwa desa Kayu Ara Hiwang telah dijadikan Tanah Perdikan (Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan” atau para Hyang berada. Dalam peristiwa tersebut juga dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang, antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut diduga jika guha yang dimaksud adalah Goa Seplawan, karena di dekat mulut goa Seplawan memang terdapat bangunan suci yaitu Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoni-nya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” seperti yang tertulis dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Perlu diketahui bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen, kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain. Saat itu sejarah mencatat sejumlah tokoh yang disegani, misalnya tokoh Sunan Geseng dalam pengembangan agama Islam di Jawa Tengah bagian selatan yang dikenal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola yang pada saat itu pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelenadalah pasukan andalan dari Sutawijayayang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, yaitu Kedungkebo dan Brengkelan. Pada periode Karesidenan Begelen inilah muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang memiliki pengaruh hingga ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, yaitu dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, wilayah Mataram kemudian dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Hal ini terjadi akibat ikut campur tangannya pihak Belanda. Akibat Perjanjian Giyanti (13 pebruari 1755), Tanah Bagelen yang juga sebagai wilayah Negara Gung dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu dan diumpamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Pada Perang Diponegoro (abad ke XIX), wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pada saat itu Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari masyarakat setempat.
Pada Perang Diponegoro tersebut wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama.
Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesidenan Bagelen dihapus dan digabungkan dengan karesidenan kedu.
Kota Purworejo yang semula Ibu kota Karesidenan Bagelen, statusnya kemudian berubah menjadi Ibukota Kabupaten. Pada tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan,Kabupaten Karanganyar dan Ambaldigabungkan menjadi satu dengan Kebumen dan menjadi Kabupaten Kebumen.
Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk wilayah administrasi Kabupaten Urut Sewu / Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya, Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan juga sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer. Tokoh-tokoh yang muncul antara lain W.R. Supratman (komponis lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”), Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal Ahmad Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri pada jamannya.
Hari JADI KABUPATEN PURWOREJO
Upacara yang diselenggarakan pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi di Boro Tengah dihadiri sekitar 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (Kalongan, Loano).
Kepada para pejabat yang hadir diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa yang terjadi pada 5 Otober 901 Masehi tersebut akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Purworejo melalui sidang DPRD Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Terbentuknya Kabupaten Purworejo Jawa Tengah"
Posting Komentar