Kisah Kehidupan Pandawa Lima Setelah Perang Baratayudha
Minggu, 08 Oktober 2017
Tambah Komentar
Setelah perang besar Baratayudha berakhir dengan kemenangan di pihak Pendawa lima, maka mereka pun boyongan kembali ke singgasana kerajaan Astina pura.
Saat itu seluruh Korawa yang berjumlah 100 orang sudah tamat riwayatnya tewas dalam perang besar tersebut. Mereka sebagai simbol angkara murka/ketamakan. Sedangkan Pendawa lima sebagai simbol kebaikan/keutamaan tetap utuh lima. Saat itu para pendawa lima sudah mulai memasuki usia senja.
Habis perang bukannya mereka pesta pora mereyakan kemenangan, tetapi malah prihatin bahkan menagis dalam hati, karena seluruh anak-anak pendawa gugur dalam perang besar itu. Padahal merekalah yang diharapkan sebagai penerus dan pewaris negara astina yang luas sekali wilayahnya.
Ketika mereka dalam suatu pertemuan dan membahas masalah masa depan negara tersebut, dan dalam puncak kesedihannya, maka Kresna sebagai konsultan Pandawa mengingatkan bahwa itu semua sudah kodrat yang memang harus terjadi.
Ia menceritakan ulang peristiwa ketika Arjuna dengan gelar Begawan Cipto Wening sedang bertapa, kemudian didatangi oleh Dewa Bethara Guru dan Narada. Saat itu ke dua Dewa tersebut menawarkan kepada Harjuna untuk minta apa saja dan akan dituruti/dikabulkan semuanya.
Maka saat Arjuna sbg ksatria pinadhita minta TIGA HAL:
1. Pendawa menang dalam Perang Baratayudha
2. Pendawa UTUH LIMA, tidak ada yang gugur dalam perang itu.
3. Kerajaan astina pura kembali ke tangan Pendawa
Ketika tiga hal itu selesai disampaikan, maka kedua dhewa tersebut masih menwarkan, apa masih ada permintaan lain lagi, sampai 3 kali. Arjuna menjawab: tidak, cukup tiga itu saja. Kemudian ke dua Dhewa tersebut kembali ke Kahyangan.
Sontak Semar menjerit menangis, mengapa Harjuna tidak minta agar seluruh anak-anak pendawa selamat dan utuh semua. padahal kesempatan minta selalu ditawarkan. Tetapi malah Arjuna tanya kepada Semar, apakah kelak anak-anak Pandawa pada gugur di dalam perang baratayudha?
Maka Semar pun malah tambah menagis, mengapa Arjuna tanya itu, padahal ia baru saja bertapa yang ucapannya pasti akan terwujud.
Dalam kitab Mahabharata dikisahkan tentang beberapa kutukan dari orang yang merasa dianiaya, dan demikian pula dalam kitab Srimad Bhagavatam. Rupanya sang penulis, Bhagawan Abyasa memberikan peringatan agar manusia berhati-hati dalam menapaki kehidupan, karena bisa saja orang teraniaya oleh tindakan kita dan hukum sebab-akibat akan mengejar kita.
Dikisahkan bahwa Dewi Gendari mengutuk Sri Krishna, mengapa membiarkan perang Bharatayuda terjadi dan tidak membuat skenario agar para Korawa sadar dan tidak semakin berlarut-larut berkubang dalam perbuatan adharma sehingga perang Bharatayuda tidak terjadi.
Perang Bharatayuda tidak memberi keuntungan bagi Korawa dan Pandawa. Korawa punah, di pihak Pandawa juga tinggal Pandawa sendiri yang sudah tua-tua dan seorang cucu Pandawa yang selamat yaitu Parikesit. Konon Dewi Gendari yang kehilangan semua putranya, mengutuk agar kejadian serupa terjadi pada Dinasti Yadawa.
Bagaimana pun ada banyak faktor yang mempengaruhi terlaksananya sebuah kutukan dan faktor utama adalah Hukum Alam dan Ridha Ilahi, Kehendak Hyang Widhi. Dan, perang Bharatayuda memang bukan merupakan kemenangan mutlak Pandawa, tetapi kemenangan mutlak dharma mengalahkan adharma.
Setelah perang Bharatayuda, Dinasti Yadawa mengalami masa jaya selama 36 tahun dibawah kepemimpinan Sri Krishna, Sang Wisnu yang mewujud di dunia untuk menegakkan dharma dan mengalahkan adharma yang merajalela. Kala sebuah bangsa atau seorang manusia mengalami penderitaan, maka semangatnya bangkit untuk berjuang melepaskan diri dari kesengsaraan.
Akan tetapi kala, sudah tidak ada tantangan, hidup terasa nyaman, sebuah bangsa atau seorang manusia sering lalai dan terbuai oleh kenyamanan dan kenikmatan pancaindera. Demikianlah, setelah perang Bharatayuda dinasti Yadawa menjadi sombong, arogan dan gemar berpesta pora.
KEMATIAN KRISNHA DAN MUSNAHNYA BANGSA YADAWA
Pada suatu ketika beberapa resi mengunjungi Kota Dwaraka untuk menemui Sri Krishna. Beberapa pemuda mendandani Samba, putra Sri Krishna dari istri Dewi Jembawati sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan para resi diminta meramalkan jenis kelamin bayi yang akan lahir. Merasa dipermalukan, salah seorang Resi mengutuk bahwa Samba akan melahirkan gada besi yang akan memusnahkan dinasti Yadawa.
Para pemuda Dwaraka takut karena setelah Samba melepaskan “tumpukan kain” pakaian hamilnya betul-betul ada sebuah gada besi di dalam tumpukan kain tersebut. Mereka menghancurkan gada tersebut menjadi serbuk dan membuangnya ke laut. Akan tetapi beberapa minggu kemudian, serbuk tersebut terbawa arus kembali kepantai. Dan, dari serbuk tersebut tumbuh ribuan alang-alang besi semacam bilah-bilah logam yang tajam.
Beberapa bulan kemudian, kala para pria Dwaraka mengadakan pesta mabuk-mabukan di pantai, Setyaki dan Kertamarma saling mengolok tentang perang Bharatayuda. Setyaki dikatakan membunuh Burisrawa yang sedang bermeditasi memulihkan ketenangan setelah tangannya dipanah Arjuna, sedangkan Kertamarma dikatakan membantu Aswatama membunuh Drestayumna, Srikandi dan anak-anak Pandawa yang sedang tidur lelap.
Olok-olok tersebut berbuntut perkelahian. Dan, perkelahian tersebut merembet ke seluruh warga pria Dwarka. Mereka pada mengambil bilah-bilah logam di pantai sebagai senjata. Akhirnya, semuanya tewas saling bunuh, tak ada satu pun yang selamat.
Baladewa datang ke tempat kejadian dan melihat semua dinasti Yadawa telah binasa dan ia pun segera pergi ke hutan. Sri Krishna kemudian berpesan kepada pelayannya agar melaporkan kejadian tersebut ke Pandawa di Hastina dan dia mengikuti Baladewa ke hutan. Sri Krishna melihat Baladewa duduk dalam posisi yoga dan tak lama kemudian dari mulutnya keluar asap putih berbentuk Nagasesa yang menuju ke arah samudera. Baladewa telah mengakhiri hidupnya.
Sri Krishna duduk dalam posisi yoga, dan seorang pemburu bernama Jara dari kejauhan melihat Sri Krishna seperti rusa emas yang sedang beristirahat. Jara memanah kaki rusa emas yang ternyata adalah Sri Krishna. Panah tersebut menyebabkan kematian Sri Krishna.
Sebagian orang bercerita bahwa Sri Krishna sebagai titisan Wisnu, kala menjadi Sri Rama pernah memanah Subali dan kini menerima akibatnya. Sebagian orang lainnya bercerita, bahwa Jara mempunyai makna usia tua, dan Sri Krishna meninggal karena usia tua. Bagaimana pun tubuh yang terbuat dari materi alam akan kembali ke alam, sedangkan ruhnya kembali ke Hyang Widhi. Seminggu setelah meninggalnya Sri Krishna Negeri Dwaraka mengalami bencana tsunami dan tenggelam ke laut.
Lalu Arjuna pergi ke Madura menengok Prabu Basudewa, kakak ibundanya, dan Sang Prabu meninggal dunia setelah kedatangan Arjuna. Kemudian, Arjuna melanjutkan pergi ke Dwaraka mengumpulkan para wanita dan anak-anak yang selamat untuk dibawa ke Hastina. Dalam perjalanan rombongan tersebut dirampok dan Arjuna tidak dapat berbuat banyak karena kesaktiannya mendadak sirna.
Sesampai di Hastina, Arjuna menyampaikan hasil perjalanannya, yang membuat semua Pandawa berduka. Setelah menobatkan Parikesit sebagai raja Hastina, Pandawa beserta Drupadi dan seekor anjing melakukan tirtayatra, perjalanan ke tempat-tempat suci dan akhirnya ke naik ke gunung Himalaya mempersiapkan kematian mereka.
Setelah Satu per satu Drupadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, Bhima meninggal di perjalanan dan tinggal Yudistira dan anjingnya. Sampai di Puncak Gunung, Yudistira bertemu Bathara Indra yang mengajaknya naik kereta ke kahyangan, akan tetapi anjingnya tidak diperbolehkan ikut. Yudistira bersikeras tidak mau pergi ke kahyangan bila anjingnya tidak ikut.
Akhirnya sang anjing diperbolehkan naik kereta dan segera menghilang di perjalanan. Dikisahkan bahwa anjing tersebut merupakan simbol dari dharma manusia. Hanya dharma yang mendampingi ke kahyangan, saudara dan istri pun ditinggalkan di dunia.
Kala setelah sampai di surga, Yudistira kaget karena yang nampak hanya Duryudana dan para Korawa. Yudistira minta dipertemukan dengan para saudaranya dan Bathara Yama mengajaknya ke Neraka. Yudistira melihat semua saudaranya di neraka dan memilih berada di neraka.
Setelah sepertiga belas hari di Neraka, Bathara Yama dan Indra datang menjelaskan bahwa neraka maupun surga adalah maya, ilusi dari pikiran Yudistira sendiri, yang percaya bahwa para kesatria harus masuk neraka dulu sebentar sebelum masuk surga. Wujud manusia Yudistira kemudian lenyap dan berubah menjadi dewa. Demikian pula para Pandawa dan semua kerabatnya.
Setelah Bhagawan Abyasa menutup kisah Mahabharata, beliau merenung, teringat saat Bathara Narada datang dan memberi nasehat seminggu setelah Sri Krishna wafat. Kisah kepahlawanan Mahabharata akan memberi semangat umat manusia masa depan untuk menegakkan dharma.
Akan tetapi Bathara Narada mengatakan bahwa Abyasa tak akan puas, masih merasa ada yang kurang. Hal tersebut terjadi karena Abyasa belum menulis tentang kitab tentang pustaka keilahian, the book of God, kisah bhakti manusia terhadap Hyang Widhi Sang Bhagawan duduk hening dan larut dalam meditasinya. Beliau melihat kejadian masa lampau saat banyak Avatara turun ke dunia. Sejak saat itu, Bhagawan Abyasa mulai menulis kitab Bhagavata Puran.
Saat itu seluruh Korawa yang berjumlah 100 orang sudah tamat riwayatnya tewas dalam perang besar tersebut. Mereka sebagai simbol angkara murka/ketamakan. Sedangkan Pendawa lima sebagai simbol kebaikan/keutamaan tetap utuh lima. Saat itu para pendawa lima sudah mulai memasuki usia senja.
Habis perang bukannya mereka pesta pora mereyakan kemenangan, tetapi malah prihatin bahkan menagis dalam hati, karena seluruh anak-anak pendawa gugur dalam perang besar itu. Padahal merekalah yang diharapkan sebagai penerus dan pewaris negara astina yang luas sekali wilayahnya.
Ketika mereka dalam suatu pertemuan dan membahas masalah masa depan negara tersebut, dan dalam puncak kesedihannya, maka Kresna sebagai konsultan Pandawa mengingatkan bahwa itu semua sudah kodrat yang memang harus terjadi.
Ia menceritakan ulang peristiwa ketika Arjuna dengan gelar Begawan Cipto Wening sedang bertapa, kemudian didatangi oleh Dewa Bethara Guru dan Narada. Saat itu ke dua Dewa tersebut menawarkan kepada Harjuna untuk minta apa saja dan akan dituruti/dikabulkan semuanya.
Maka saat Arjuna sbg ksatria pinadhita minta TIGA HAL:
1. Pendawa menang dalam Perang Baratayudha
2. Pendawa UTUH LIMA, tidak ada yang gugur dalam perang itu.
3. Kerajaan astina pura kembali ke tangan Pendawa
Ketika tiga hal itu selesai disampaikan, maka kedua dhewa tersebut masih menwarkan, apa masih ada permintaan lain lagi, sampai 3 kali. Arjuna menjawab: tidak, cukup tiga itu saja. Kemudian ke dua Dhewa tersebut kembali ke Kahyangan.
Sontak Semar menjerit menangis, mengapa Harjuna tidak minta agar seluruh anak-anak pendawa selamat dan utuh semua. padahal kesempatan minta selalu ditawarkan. Tetapi malah Arjuna tanya kepada Semar, apakah kelak anak-anak Pandawa pada gugur di dalam perang baratayudha?
Maka Semar pun malah tambah menagis, mengapa Arjuna tanya itu, padahal ia baru saja bertapa yang ucapannya pasti akan terwujud.
Dalam kitab Mahabharata dikisahkan tentang beberapa kutukan dari orang yang merasa dianiaya, dan demikian pula dalam kitab Srimad Bhagavatam. Rupanya sang penulis, Bhagawan Abyasa memberikan peringatan agar manusia berhati-hati dalam menapaki kehidupan, karena bisa saja orang teraniaya oleh tindakan kita dan hukum sebab-akibat akan mengejar kita.
Dikisahkan bahwa Dewi Gendari mengutuk Sri Krishna, mengapa membiarkan perang Bharatayuda terjadi dan tidak membuat skenario agar para Korawa sadar dan tidak semakin berlarut-larut berkubang dalam perbuatan adharma sehingga perang Bharatayuda tidak terjadi.
Perang Bharatayuda tidak memberi keuntungan bagi Korawa dan Pandawa. Korawa punah, di pihak Pandawa juga tinggal Pandawa sendiri yang sudah tua-tua dan seorang cucu Pandawa yang selamat yaitu Parikesit. Konon Dewi Gendari yang kehilangan semua putranya, mengutuk agar kejadian serupa terjadi pada Dinasti Yadawa.
Bagaimana pun ada banyak faktor yang mempengaruhi terlaksananya sebuah kutukan dan faktor utama adalah Hukum Alam dan Ridha Ilahi, Kehendak Hyang Widhi. Dan, perang Bharatayuda memang bukan merupakan kemenangan mutlak Pandawa, tetapi kemenangan mutlak dharma mengalahkan adharma.
Setelah perang Bharatayuda, Dinasti Yadawa mengalami masa jaya selama 36 tahun dibawah kepemimpinan Sri Krishna, Sang Wisnu yang mewujud di dunia untuk menegakkan dharma dan mengalahkan adharma yang merajalela. Kala sebuah bangsa atau seorang manusia mengalami penderitaan, maka semangatnya bangkit untuk berjuang melepaskan diri dari kesengsaraan.
Akan tetapi kala, sudah tidak ada tantangan, hidup terasa nyaman, sebuah bangsa atau seorang manusia sering lalai dan terbuai oleh kenyamanan dan kenikmatan pancaindera. Demikianlah, setelah perang Bharatayuda dinasti Yadawa menjadi sombong, arogan dan gemar berpesta pora.
KEMATIAN KRISNHA DAN MUSNAHNYA BANGSA YADAWA
Pada suatu ketika beberapa resi mengunjungi Kota Dwaraka untuk menemui Sri Krishna. Beberapa pemuda mendandani Samba, putra Sri Krishna dari istri Dewi Jembawati sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan para resi diminta meramalkan jenis kelamin bayi yang akan lahir. Merasa dipermalukan, salah seorang Resi mengutuk bahwa Samba akan melahirkan gada besi yang akan memusnahkan dinasti Yadawa.
Para pemuda Dwaraka takut karena setelah Samba melepaskan “tumpukan kain” pakaian hamilnya betul-betul ada sebuah gada besi di dalam tumpukan kain tersebut. Mereka menghancurkan gada tersebut menjadi serbuk dan membuangnya ke laut. Akan tetapi beberapa minggu kemudian, serbuk tersebut terbawa arus kembali kepantai. Dan, dari serbuk tersebut tumbuh ribuan alang-alang besi semacam bilah-bilah logam yang tajam.
Beberapa bulan kemudian, kala para pria Dwaraka mengadakan pesta mabuk-mabukan di pantai, Setyaki dan Kertamarma saling mengolok tentang perang Bharatayuda. Setyaki dikatakan membunuh Burisrawa yang sedang bermeditasi memulihkan ketenangan setelah tangannya dipanah Arjuna, sedangkan Kertamarma dikatakan membantu Aswatama membunuh Drestayumna, Srikandi dan anak-anak Pandawa yang sedang tidur lelap.
Olok-olok tersebut berbuntut perkelahian. Dan, perkelahian tersebut merembet ke seluruh warga pria Dwarka. Mereka pada mengambil bilah-bilah logam di pantai sebagai senjata. Akhirnya, semuanya tewas saling bunuh, tak ada satu pun yang selamat.
Baladewa datang ke tempat kejadian dan melihat semua dinasti Yadawa telah binasa dan ia pun segera pergi ke hutan. Sri Krishna kemudian berpesan kepada pelayannya agar melaporkan kejadian tersebut ke Pandawa di Hastina dan dia mengikuti Baladewa ke hutan. Sri Krishna melihat Baladewa duduk dalam posisi yoga dan tak lama kemudian dari mulutnya keluar asap putih berbentuk Nagasesa yang menuju ke arah samudera. Baladewa telah mengakhiri hidupnya.
Sri Krishna duduk dalam posisi yoga, dan seorang pemburu bernama Jara dari kejauhan melihat Sri Krishna seperti rusa emas yang sedang beristirahat. Jara memanah kaki rusa emas yang ternyata adalah Sri Krishna. Panah tersebut menyebabkan kematian Sri Krishna.
Sebagian orang bercerita bahwa Sri Krishna sebagai titisan Wisnu, kala menjadi Sri Rama pernah memanah Subali dan kini menerima akibatnya. Sebagian orang lainnya bercerita, bahwa Jara mempunyai makna usia tua, dan Sri Krishna meninggal karena usia tua. Bagaimana pun tubuh yang terbuat dari materi alam akan kembali ke alam, sedangkan ruhnya kembali ke Hyang Widhi. Seminggu setelah meninggalnya Sri Krishna Negeri Dwaraka mengalami bencana tsunami dan tenggelam ke laut.
Lalu Arjuna pergi ke Madura menengok Prabu Basudewa, kakak ibundanya, dan Sang Prabu meninggal dunia setelah kedatangan Arjuna. Kemudian, Arjuna melanjutkan pergi ke Dwaraka mengumpulkan para wanita dan anak-anak yang selamat untuk dibawa ke Hastina. Dalam perjalanan rombongan tersebut dirampok dan Arjuna tidak dapat berbuat banyak karena kesaktiannya mendadak sirna.
Sesampai di Hastina, Arjuna menyampaikan hasil perjalanannya, yang membuat semua Pandawa berduka. Setelah menobatkan Parikesit sebagai raja Hastina, Pandawa beserta Drupadi dan seekor anjing melakukan tirtayatra, perjalanan ke tempat-tempat suci dan akhirnya ke naik ke gunung Himalaya mempersiapkan kematian mereka.
Setelah Satu per satu Drupadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, Bhima meninggal di perjalanan dan tinggal Yudistira dan anjingnya. Sampai di Puncak Gunung, Yudistira bertemu Bathara Indra yang mengajaknya naik kereta ke kahyangan, akan tetapi anjingnya tidak diperbolehkan ikut. Yudistira bersikeras tidak mau pergi ke kahyangan bila anjingnya tidak ikut.
Akhirnya sang anjing diperbolehkan naik kereta dan segera menghilang di perjalanan. Dikisahkan bahwa anjing tersebut merupakan simbol dari dharma manusia. Hanya dharma yang mendampingi ke kahyangan, saudara dan istri pun ditinggalkan di dunia.
Kala setelah sampai di surga, Yudistira kaget karena yang nampak hanya Duryudana dan para Korawa. Yudistira minta dipertemukan dengan para saudaranya dan Bathara Yama mengajaknya ke Neraka. Yudistira melihat semua saudaranya di neraka dan memilih berada di neraka.
Setelah sepertiga belas hari di Neraka, Bathara Yama dan Indra datang menjelaskan bahwa neraka maupun surga adalah maya, ilusi dari pikiran Yudistira sendiri, yang percaya bahwa para kesatria harus masuk neraka dulu sebentar sebelum masuk surga. Wujud manusia Yudistira kemudian lenyap dan berubah menjadi dewa. Demikian pula para Pandawa dan semua kerabatnya.
Setelah Bhagawan Abyasa menutup kisah Mahabharata, beliau merenung, teringat saat Bathara Narada datang dan memberi nasehat seminggu setelah Sri Krishna wafat. Kisah kepahlawanan Mahabharata akan memberi semangat umat manusia masa depan untuk menegakkan dharma.
Akan tetapi Bathara Narada mengatakan bahwa Abyasa tak akan puas, masih merasa ada yang kurang. Hal tersebut terjadi karena Abyasa belum menulis tentang kitab tentang pustaka keilahian, the book of God, kisah bhakti manusia terhadap Hyang Widhi Sang Bhagawan duduk hening dan larut dalam meditasinya. Beliau melihat kejadian masa lampau saat banyak Avatara turun ke dunia. Sejak saat itu, Bhagawan Abyasa mulai menulis kitab Bhagavata Puran.
Belum ada Komentar untuk "Kisah Kehidupan Pandawa Lima Setelah Perang Baratayudha"
Posting Komentar