Kisah Asal usul dan Silsilah Jayakatwang, Pemusnahan Kerajaan Singasari
Senin, 25 Desember 2017
Tambah Komentar
Jayakatwang adalah bupati Gelang-Gelang yang pada tahun 1292 memberontak dan meruntuhkan Kerajaan Singhasari. Ia kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan sampai tahun 1293.
SILSILAH RAJA JAYAKATWANG
Jayakatwang juga sering kali disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Dalam berita Cina ia disebut Ha-ji-ka-tang.
Nagarakretagama dan Kidung Harsawijaya menyebutkan Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya raja terakhir Kadiri. Dikisahkan pada tahun 1222 Ken Arok mengalahkan Kertajaya. Sejak itu Kadiri menjadi bawahan Singhasari di mana sebagai bupatinya adalah Jayasabha putra Kertajaya.
Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Sastrajaya menikah dengan saudara perempuan Wisnuwardhana, karena dalam prasasti Mula Malurung Jayakatwang disebut sebagai keponakan Seminingrat (nama lain Wisnuwardhana).Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Dalam prasasti Mula Malurung, Maharaja Tumapel Seminingrat menyebut Sri Jayakatwang sebagai menantu juga kemenakannya. Sebagai menantu karena Sri Jayakatwang berpermaisuri putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali, rajamuda Gelang-Gelang sejak 1255M. Sebagai kemenakan karena ibu Sri Jayakatwang adalah adik Seminingrat.
Ketegasan Seminingrat menyebutan kemenakan kepada Jayakatwang dalam Prasasti Mula Malurung cenderung mengartikan bahwa Jayakatwang putra kandung dari adik kandung perempuan Seminingrat atau Ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Seminingrat atau putri kandung Sang Anusapati sehingga sangat layak disebut dengan tegas dalam prasasti Mula Malurung.
Karena merupakan putra dari adik kandung perempuannya, maka kelak Seminingrat tidak ragu menjodohkan Jayakatwang dengan putri bungsunya Nararya Turukbali, yuwaraja Gelang-Gelang. Sekali lagi ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Maharaja Seminingrat.
Sebagaimana telah dipaparkan, adik kandung Seminingrat adalah Dewi Seruni. Dari prasasti Kudadu diketahui Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Kertanagara.
Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan.
Hal ini sangatlah wajar ketika seorang raja mengikat tali keluarga dengan menjodohkan keturunannya dengan keturunan saudara kandungnya sendiri. Hal itu dilakukan supaya darah keturunan raja tidak pergi kemana-mana, masih tetap dalam satu keluarga atau setidaknya garis keturunan seorang raja tetap utuh menurun sampai bawah.
Ini pula yang kemudian dilakukan Maharaja Seminingrat ketika menduduki tahta Tumapel yang kemudian berbesanan dengan adik kandung perempuannya. Terjadi pernikahan sesama cucu Sang Anusapati. Putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali menikah dengan Jayakatwang, putra adik kandung perempuan Seminingrat.
Nararya Turukbali dan Jayakatwang saudara sepupu juga. Pernikahan seperti itu pernah pula dilakukan moyangnya Erlangga yang menikah dengan kakak sepupunya atau dengan Dewi Laksmi, putri kedua Dharmawangsa, raja Medang Watan. Pernikahan antar saudara sepupu juga dilakukan Seminingrat sendiri.
Seminingrat menikah dengan adik sepupunya bernama Waning Hyun, putri sulung Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah paman Seminingrat. Dapat dikatakan Seminingrat mengikuti langkah yang ditempuh ayahnya Sang Anusapati yang berbesanan dengan adik seibunya Mahisa Wonga Teleng.
Jika ayahnya berbesanan dengan adik sepupu seibu beda ayah, Seminingrat berbesanan dengan adik kandung sendiri, menjodohkan putrinya Nararya Turukbali dengan kemenakannya Sri Jayakatwang. Tetapi bagaimanapun juga semua perkawinan antar saudara itu bertujuan untuk menjaga keaslian darah keluarga raja.
Sangat pantas pula ketika mengeluarkan piagam kerajaan pemganugerahan desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja, Sri Maharaja Seminingrat menyebut dengan tegas bahwa Sri Jayakatwang adalah menantu sekaligus kemenakannya.
Menegaskan kembali bahwa Nararya Turukbali dan Sri Jayakatwang adalah sama-sama cucu sang Anusapati, ayahanda Seminingrat, yang sepantasnya mendapat kedudukan bagus di dalam keluarga raja.
PEMERINTAHAN JAYAKATWANG
Nagarakretagama, Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Jayakatwang adalah raja bawahan di Kadiri yang memberontak terhadap Kertanagara di Singhasari.
Naskah prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan menyebut Jayakatwang pada saat memberontak masih menjabat sebagai bupati Gelang-Gelang . Setelah Singhasari runtuh, baru kemudian ia menjadi raja di Kadiri.
Sempat muncul pendapat bahwa Gelang-Gelang merupakan nama lain dari Kadiri. Namun gagasan tersebut digugurkan oleh naskah prasasti Mula Malurung (1255).
Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan Kadiri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti itu menyebutkan kalau saat itu Kadiri diperintah Kertanagara sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang.
Lagi pula lokasi Kadiri berada di daerah Kediri, sedangkan Gelang-Gelang ada di daerah Madiun. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
PEMBERONTAKAN JAYAKATWANG
Pararaton dan Kidung Harsawijaya menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok pendiri Singhasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Singhasari sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa.
Adapun Aria Wiraraja adalah mantan pejabat Singhasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanagara.
Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Daha pada 1293M dan pendirian Kerajaan Majapahit. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari.
Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel.
Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa.
Jayakatwang melaksanakan saran Aria Wiraraja. Ia mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Goyang menyerbu Singhasari dari utara atau dari arah Hering. Jadi melalui lembah timur gunung Penanggungan.
Pasukan Jaran Guyang berderap riuh merajalela di sepanjang perjalanan menuju kotaraja Singasari. Sudah barang tentu para penduduk di sepanjang perjalanan itu gemetar kocar-kacir, mengungsi dan sebagian mencari perlindungan ke Singasari sekaligus menyampaikan pesan kepada pihak keraton.
Mendengar kabar penyerbuan itu, Sri Kertanagara memerintahkan Nararya Sanggramawijaya dan Ardharaja memimpin pasukan menghadang laju pasukan musuh dari utara.
Nararya Sanggramawijaya diiringi para kesatria terkemuka Tumapel seperti Arya Adikara, Banyak Kapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Ki Ageng Gajah Pagon, serta tiga putra Arya Wiraraja yaitu Nambi, Peteng, dan Wirot. Semua prajurit terbaik itu melawan pasukan Daha di bagian utara serentak mengamuk dan pasukan Jaran Guyang terpukul mundur.
Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singhasari kosong. Tanpa diduga bergeraklah pasukan besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Laksa menuju daerah Lawor, diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan, tanpa mengibarkan panji-panji. Kedatangnya di Sidhabuwana langsung berderap menuju kota Singasari. Yang menjadi pemimpin adalah Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot, dan Bawong.
Ardharaja putra Jayakatwang, tentu saja berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan pasukan Raden Wijaya, bergabung dengan pasukan Daha atau Gelang-Gelang.
Saat itu Sri Kertanagara sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu ritual agamanya. Dengan gagah keluar menghadapi serangan musuh. Sang maharaja Tumapel itu akhirnya gugur di Balai Manguntur sebagai kesatria bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Tumenggung Wirakreti.
Kotaraja Singasari jatuh. Peristiwa kehancuran Singhasari terjadi tahun 1292.Tumapel dikuasai sepenuhnya oleh Jayakatwang. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Daha sebagai pusat pemerintahannya.
Sementara Nararya Sanggramawijaya melarikan diri ke Terung di utara Singhasari. Karena terus dikejar musuh rombongan memilih pergi ke timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, Nararya Sanggramawijaya menyeberangi Selat Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja penguasa Songeneb.
GUGURNYA JAYAKATWANG
Arya Wiraraja hanya menyimpan dendam pribadi pada Kertanegara, berhubungan dengan sikap sang raja yang antara lain menggabungkan tiga agama yaitu Siwa Buda dan Jawa menjadi agama Siwa Boja. Arya Wiraraja menganut Siwa seperti Raden Wijaya. Sedangkan Jayakatwang penganut Wisnu sebagaimana
leluhur Panjalu, agama warisan Erlangga. Setelah dendam pribadi pada Kertanegara terbalas, Arya Wiraraja berniat menyingkirkan pengaruh Jayakatwang yang menganut Wisnu, Arya Wiraraja cenderung mendukung Raden Wijaya yang menganut Siwa.
Maka setelah menerima kedatangan rombongan nararya Sanggramawijaya, Arya Wiraraja berbalik haluan membantu putra Dyah Lembu Tal itu merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Nararya Sanggramawijaya berjanji jika kelak berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja.
Siasat pertama pun dijalankan. Langkah pertama Arya Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Nararya Sanggramawijaya dan seluruh pengikutnya siap menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Panjalu Daha menerimanya dengan senang hati. Sri Jayakatwang segera mengirim utusan menjemput rombongan Nararya Sanggramawijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Nararya Sanggramawijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Arya Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb membantu Wijaya membuka hutan tersebut yang kemudian diberi nama Majapahit.
Sampai kemudian, berdasarkan catatan Dinasti Yuan, pada 1293M pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa berniat menghukum Kertanagara lantaran pada 1289M telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia lalu mengundang Ike Mese ke Desa majapahit dan memberi tahu jika dirinya ahli waris Raja Kertanagara yang sudah wafat.
Nararya Sanggramawijaya meminta bantuan pihak Mongol untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang. Setelah itu baru bersedia menyatakan tunduk pada kekuasaan Kubilai Khan.
Mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese, Sri Jayakatwang segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha.
Berita Cina menyebutkan perang terjadi pada 20 Maret 1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Daha sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang Daha menjadi korban. Kota Daha benar-benar Dahanapura, kota api. Daha lautan api. Pasukan besar Mongol membungihangus keraton Jayakatwang.
Akhirnya pada sore harinya, Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol. Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit diusir dari tanah Jawa. Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Setelah Jayakatwang hancur, Nararya Sanggramawijaya meminta izin kembali ke Majapahit, mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampai di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya.
Ia kemudian memimpin serangan balik ke Daha di mana pasukan Mongol berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
SILSILAH RAJA JAYAKATWANG
Jayakatwang juga sering kali disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Dalam berita Cina ia disebut Ha-ji-ka-tang.
Nagarakretagama dan Kidung Harsawijaya menyebutkan Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya raja terakhir Kadiri. Dikisahkan pada tahun 1222 Ken Arok mengalahkan Kertajaya. Sejak itu Kadiri menjadi bawahan Singhasari di mana sebagai bupatinya adalah Jayasabha putra Kertajaya.
Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Sastrajaya menikah dengan saudara perempuan Wisnuwardhana, karena dalam prasasti Mula Malurung Jayakatwang disebut sebagai keponakan Seminingrat (nama lain Wisnuwardhana).Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Dalam prasasti Mula Malurung, Maharaja Tumapel Seminingrat menyebut Sri Jayakatwang sebagai menantu juga kemenakannya. Sebagai menantu karena Sri Jayakatwang berpermaisuri putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali, rajamuda Gelang-Gelang sejak 1255M. Sebagai kemenakan karena ibu Sri Jayakatwang adalah adik Seminingrat.
Ketegasan Seminingrat menyebutan kemenakan kepada Jayakatwang dalam Prasasti Mula Malurung cenderung mengartikan bahwa Jayakatwang putra kandung dari adik kandung perempuan Seminingrat atau Ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Seminingrat atau putri kandung Sang Anusapati sehingga sangat layak disebut dengan tegas dalam prasasti Mula Malurung.
Karena merupakan putra dari adik kandung perempuannya, maka kelak Seminingrat tidak ragu menjodohkan Jayakatwang dengan putri bungsunya Nararya Turukbali, yuwaraja Gelang-Gelang. Sekali lagi ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Maharaja Seminingrat.
Sebagaimana telah dipaparkan, adik kandung Seminingrat adalah Dewi Seruni. Dari prasasti Kudadu diketahui Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Kertanagara.
Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan.
Hal ini sangatlah wajar ketika seorang raja mengikat tali keluarga dengan menjodohkan keturunannya dengan keturunan saudara kandungnya sendiri. Hal itu dilakukan supaya darah keturunan raja tidak pergi kemana-mana, masih tetap dalam satu keluarga atau setidaknya garis keturunan seorang raja tetap utuh menurun sampai bawah.
Ini pula yang kemudian dilakukan Maharaja Seminingrat ketika menduduki tahta Tumapel yang kemudian berbesanan dengan adik kandung perempuannya. Terjadi pernikahan sesama cucu Sang Anusapati. Putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali menikah dengan Jayakatwang, putra adik kandung perempuan Seminingrat.
Nararya Turukbali dan Jayakatwang saudara sepupu juga. Pernikahan seperti itu pernah pula dilakukan moyangnya Erlangga yang menikah dengan kakak sepupunya atau dengan Dewi Laksmi, putri kedua Dharmawangsa, raja Medang Watan. Pernikahan antar saudara sepupu juga dilakukan Seminingrat sendiri.
Seminingrat menikah dengan adik sepupunya bernama Waning Hyun, putri sulung Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah paman Seminingrat. Dapat dikatakan Seminingrat mengikuti langkah yang ditempuh ayahnya Sang Anusapati yang berbesanan dengan adik seibunya Mahisa Wonga Teleng.
Jika ayahnya berbesanan dengan adik sepupu seibu beda ayah, Seminingrat berbesanan dengan adik kandung sendiri, menjodohkan putrinya Nararya Turukbali dengan kemenakannya Sri Jayakatwang. Tetapi bagaimanapun juga semua perkawinan antar saudara itu bertujuan untuk menjaga keaslian darah keluarga raja.
Sangat pantas pula ketika mengeluarkan piagam kerajaan pemganugerahan desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja, Sri Maharaja Seminingrat menyebut dengan tegas bahwa Sri Jayakatwang adalah menantu sekaligus kemenakannya.
Menegaskan kembali bahwa Nararya Turukbali dan Sri Jayakatwang adalah sama-sama cucu sang Anusapati, ayahanda Seminingrat, yang sepantasnya mendapat kedudukan bagus di dalam keluarga raja.
PEMERINTAHAN JAYAKATWANG
Nagarakretagama, Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Jayakatwang adalah raja bawahan di Kadiri yang memberontak terhadap Kertanagara di Singhasari.
Naskah prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan menyebut Jayakatwang pada saat memberontak masih menjabat sebagai bupati Gelang-Gelang . Setelah Singhasari runtuh, baru kemudian ia menjadi raja di Kadiri.
Sempat muncul pendapat bahwa Gelang-Gelang merupakan nama lain dari Kadiri. Namun gagasan tersebut digugurkan oleh naskah prasasti Mula Malurung (1255).
Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan Kadiri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti itu menyebutkan kalau saat itu Kadiri diperintah Kertanagara sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang.
Lagi pula lokasi Kadiri berada di daerah Kediri, sedangkan Gelang-Gelang ada di daerah Madiun. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
PEMBERONTAKAN JAYAKATWANG
Pararaton dan Kidung Harsawijaya menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok pendiri Singhasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Singhasari sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa.
Adapun Aria Wiraraja adalah mantan pejabat Singhasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanagara.
Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Daha pada 1293M dan pendirian Kerajaan Majapahit. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari.
Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel.
Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa.
Jayakatwang melaksanakan saran Aria Wiraraja. Ia mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Goyang menyerbu Singhasari dari utara atau dari arah Hering. Jadi melalui lembah timur gunung Penanggungan.
Pasukan Jaran Guyang berderap riuh merajalela di sepanjang perjalanan menuju kotaraja Singasari. Sudah barang tentu para penduduk di sepanjang perjalanan itu gemetar kocar-kacir, mengungsi dan sebagian mencari perlindungan ke Singasari sekaligus menyampaikan pesan kepada pihak keraton.
Mendengar kabar penyerbuan itu, Sri Kertanagara memerintahkan Nararya Sanggramawijaya dan Ardharaja memimpin pasukan menghadang laju pasukan musuh dari utara.
Nararya Sanggramawijaya diiringi para kesatria terkemuka Tumapel seperti Arya Adikara, Banyak Kapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Ki Ageng Gajah Pagon, serta tiga putra Arya Wiraraja yaitu Nambi, Peteng, dan Wirot. Semua prajurit terbaik itu melawan pasukan Daha di bagian utara serentak mengamuk dan pasukan Jaran Guyang terpukul mundur.
Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singhasari kosong. Tanpa diduga bergeraklah pasukan besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Laksa menuju daerah Lawor, diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan, tanpa mengibarkan panji-panji. Kedatangnya di Sidhabuwana langsung berderap menuju kota Singasari. Yang menjadi pemimpin adalah Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot, dan Bawong.
Ardharaja putra Jayakatwang, tentu saja berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan pasukan Raden Wijaya, bergabung dengan pasukan Daha atau Gelang-Gelang.
Saat itu Sri Kertanagara sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu ritual agamanya. Dengan gagah keluar menghadapi serangan musuh. Sang maharaja Tumapel itu akhirnya gugur di Balai Manguntur sebagai kesatria bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Tumenggung Wirakreti.
Kotaraja Singasari jatuh. Peristiwa kehancuran Singhasari terjadi tahun 1292.Tumapel dikuasai sepenuhnya oleh Jayakatwang. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Daha sebagai pusat pemerintahannya.
Sementara Nararya Sanggramawijaya melarikan diri ke Terung di utara Singhasari. Karena terus dikejar musuh rombongan memilih pergi ke timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, Nararya Sanggramawijaya menyeberangi Selat Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja penguasa Songeneb.
GUGURNYA JAYAKATWANG
Arya Wiraraja hanya menyimpan dendam pribadi pada Kertanegara, berhubungan dengan sikap sang raja yang antara lain menggabungkan tiga agama yaitu Siwa Buda dan Jawa menjadi agama Siwa Boja. Arya Wiraraja menganut Siwa seperti Raden Wijaya. Sedangkan Jayakatwang penganut Wisnu sebagaimana
leluhur Panjalu, agama warisan Erlangga. Setelah dendam pribadi pada Kertanegara terbalas, Arya Wiraraja berniat menyingkirkan pengaruh Jayakatwang yang menganut Wisnu, Arya Wiraraja cenderung mendukung Raden Wijaya yang menganut Siwa.
Maka setelah menerima kedatangan rombongan nararya Sanggramawijaya, Arya Wiraraja berbalik haluan membantu putra Dyah Lembu Tal itu merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Nararya Sanggramawijaya berjanji jika kelak berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja.
Siasat pertama pun dijalankan. Langkah pertama Arya Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Nararya Sanggramawijaya dan seluruh pengikutnya siap menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Panjalu Daha menerimanya dengan senang hati. Sri Jayakatwang segera mengirim utusan menjemput rombongan Nararya Sanggramawijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Nararya Sanggramawijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Arya Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb membantu Wijaya membuka hutan tersebut yang kemudian diberi nama Majapahit.
Sampai kemudian, berdasarkan catatan Dinasti Yuan, pada 1293M pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa berniat menghukum Kertanagara lantaran pada 1289M telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia lalu mengundang Ike Mese ke Desa majapahit dan memberi tahu jika dirinya ahli waris Raja Kertanagara yang sudah wafat.
Nararya Sanggramawijaya meminta bantuan pihak Mongol untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang. Setelah itu baru bersedia menyatakan tunduk pada kekuasaan Kubilai Khan.
Mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese, Sri Jayakatwang segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha.
Berita Cina menyebutkan perang terjadi pada 20 Maret 1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Daha sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang Daha menjadi korban. Kota Daha benar-benar Dahanapura, kota api. Daha lautan api. Pasukan besar Mongol membungihangus keraton Jayakatwang.
Akhirnya pada sore harinya, Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol. Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit diusir dari tanah Jawa. Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Setelah Jayakatwang hancur, Nararya Sanggramawijaya meminta izin kembali ke Majapahit, mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampai di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya.
Ia kemudian memimpin serangan balik ke Daha di mana pasukan Mongol berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Belum ada Komentar untuk "Kisah Asal usul dan Silsilah Jayakatwang, Pemusnahan Kerajaan Singasari"
Posting Komentar