Sejarah Asal Usul Berdirinya Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh
Minggu, 22 April 2018
Tambah Komentar
Kabupaten Aceh Tamiang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur dan terletak di perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Istilah "Tamiang" berasal dari kata Da Miang.
Sejarah menunjukkan tentang eksistensi wilayah Tamiang seperti prasasti Sriwijaya, kemudian ada riwayat dari Tiongkok karya Wee Pei Shih yang mencatat keberadaan negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), atau Tumihang dalam Kitab Nagarakretagama.
Daerah ini juga dikenal dengan nama Bumi Muda Sedia, sesuai dengan nama Raja Muda Sedia yang memerintah wilayah ini selama 6 tahun (1330-1336). Raja ini mendapatkan Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Acehatas wilayah Karang dan Kejuruan Muda pada masa itu.
Sedangkan Hari jadi kabupaten Aceh Tamiang yaitu pada tanggal 10 April tahun 2002 M.
Sejarah Aceh Tamiang
Kesultanan Benua Tamiang merupakan kerajaan Islam di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses yang berkembang, hingga terbentuknya Kesultanan Benua Tamiang yang telah ditemukan oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Inilah yang akan mencerahkan masa awal pembentukan Negara Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang .
Awal Pembentukan Tamiang
Bukti Pengadaan Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang ada di situs Tamiang.
Pada tahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja di Negeri Tamiang Disebut Tan Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar Serangjaya. Bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda Ganda. Anak Raja Tan Ganda, Tan Penuh berhasil dari serangan itu.
Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman, ia menempatkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan.Pada saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190).
Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak memiliki anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh Dibutuhkan sebagai raja yang mengangkat dirinya. Pada saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan rara-rajanya sebagai berikut:
Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da'i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da'i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang rombongan yang menyebabkan dirinya mati di medan perang. Sejak saat itu, Islam mulai berkembang di Tamiang.
Kesultanan Benua Tamiang
Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan da'i ke Tamiang dan melakukan dakwah, banyak orang Tamiang yang kemudian memeluk Islam.
Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah Sultan Muda Setia sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352).Dengan demikian, kesultanan ini mulai berdiri pada tahun 1330. Pusat pemerintahan kesultanan ini membuat kini di Kota Kualasimpang.
Pada akhir pemerintahan Sultan Muda Setia (1352), Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit. Mangkubumi Muda Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan-serangan tersebut, meskipun demikian, Kesultanan Benua Tamiang berhasil menguasai porak-poranda.
Atas kemampuannya tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya mengeluarkan kedudukan Sultan Muda Sedia pada tahun 1352, namun tidak dalam kedudukannya sebagai sultan, hanya sebagai pemangku sultan saja.
Pada masa pemerintahan Muda Sedinu ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini berkeliling daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan pertahanan. Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.
Tahta kekuatan kesultanan kemudian beralih ke Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412). Pada masanya, serangan Majapahit masih berlanjut hingga menghasilkan kegiatan-kegiatan Islam di kesultanan ini tidak berjalan sesuai mestinya.
Penggantinya, Sultan Po Tunggal atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan baru dan mengombinasikan pemerintahan kembali.
Keadaan baru dapat kembali stabil di masa pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV (1454-1490). Pada masanya, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota Menanggini (kini bernama Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam dapat dilakukan di masa ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan Islam dan pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam sebagai program utama pemerintahannya.
Sultan Po Kandis digantikan oleh sendiri, Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena tidak memiliki anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558).
Peristiwa penting yang terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530).
Saat itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, yang dilibatkan sebagai strategi yang penting untuk menghadapi serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI ini dapat digunakan sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.
Silsilah
Urutan sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut:
Periode Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang dapat eksis selama dua abad lebih (1320-1558).Selama rentang waktu yang panjang itu, kesultanan ini pernah menjadi masa pasang surut. Kesultanan ini telah dimasukkan ke dalam sistem masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang.
Terbentuknya kabupaten ini pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, tertanggal 10 April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah utama Kesultanan Benua Tamiang Tiga wilayah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu: Bendahara, Karangbaru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak Dibayar, Rantau, Seruway, dan Tamiang Hulu.
Struktur Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang diperintah oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang memberikan wawasan untuk pemerintahan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan.
Dalam bidang hukum, Dibutuhkan Qadhi Besar yang melahirkan, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu:
Dalam bidang dan keamanan kesultanan, juga membentuk laskar-laskar rakyat yang menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu :
Kehidupan Sosial-Budaya
Data kehidupan sosio-budaya berikut ini merupakan data pada masa modern, yaitu pada masa Kabupaten Aceh Tamiang. Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh istilah Melayu. Di samping istilah Melayu, di kabupaten ini juga terdiri dari jenis-jenis dari Aceh, Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.
Sektor pertanian masih sangat penting dalam ekonomi masyarakat Tamiang sebab penduduk di kabupaten ini berprofesi sebagai petani. Sekitar 29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan Kejuruan Muda (7.093 rumah tangga).
Tanaman pangan yang biasa ditanam adalah padi, palawija, sayur mayur, dan buah-buahan.Sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk.Dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 40 persen lebih, dan lebih besar dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen.
Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai / Krueng Kaloy. Keberadaan sungai-sungai bagi Masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai bahan bangunan, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, dan juga untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.
Sumber : AcehTamiangkab.go.id
Sejarah menunjukkan tentang eksistensi wilayah Tamiang seperti prasasti Sriwijaya, kemudian ada riwayat dari Tiongkok karya Wee Pei Shih yang mencatat keberadaan negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), atau Tumihang dalam Kitab Nagarakretagama.
Daerah ini juga dikenal dengan nama Bumi Muda Sedia, sesuai dengan nama Raja Muda Sedia yang memerintah wilayah ini selama 6 tahun (1330-1336). Raja ini mendapatkan Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Acehatas wilayah Karang dan Kejuruan Muda pada masa itu.
Sedangkan Hari jadi kabupaten Aceh Tamiang yaitu pada tanggal 10 April tahun 2002 M.
Sejarah Aceh Tamiang
Kesultanan Benua Tamiang merupakan kerajaan Islam di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses yang berkembang, hingga terbentuknya Kesultanan Benua Tamiang yang telah ditemukan oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Inilah yang akan mencerahkan masa awal pembentukan Negara Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang .
Awal Pembentukan Tamiang
Bukti Pengadaan Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang ada di situs Tamiang.
Pada tahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja di Negeri Tamiang Disebut Tan Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar Serangjaya. Bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda Ganda. Anak Raja Tan Ganda, Tan Penuh berhasil dari serangan itu.
Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman, ia menempatkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan.Pada saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190).
Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak memiliki anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh Dibutuhkan sebagai raja yang mengangkat dirinya. Pada saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan rara-rajanya sebagai berikut:
- Raja Pucook Sulooh (1190-1256);
- Raja Po Pala (1256-1278);
- Raja Po Dewangsa (1278-1300);
- Raja Po Dinok (1300-1330).
Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da'i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da'i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang rombongan yang menyebabkan dirinya mati di medan perang. Sejak saat itu, Islam mulai berkembang di Tamiang.
Kesultanan Benua Tamiang
Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan da'i ke Tamiang dan melakukan dakwah, banyak orang Tamiang yang kemudian memeluk Islam.
Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah Sultan Muda Setia sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352).Dengan demikian, kesultanan ini mulai berdiri pada tahun 1330. Pusat pemerintahan kesultanan ini membuat kini di Kota Kualasimpang.
Pada akhir pemerintahan Sultan Muda Setia (1352), Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit. Mangkubumi Muda Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan-serangan tersebut, meskipun demikian, Kesultanan Benua Tamiang berhasil menguasai porak-poranda.
Atas kemampuannya tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya mengeluarkan kedudukan Sultan Muda Sedia pada tahun 1352, namun tidak dalam kedudukannya sebagai sultan, hanya sebagai pemangku sultan saja.
Pada masa pemerintahan Muda Sedinu ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini berkeliling daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan pertahanan. Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.
Tahta kekuatan kesultanan kemudian beralih ke Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412). Pada masanya, serangan Majapahit masih berlanjut hingga menghasilkan kegiatan-kegiatan Islam di kesultanan ini tidak berjalan sesuai mestinya.
Penggantinya, Sultan Po Tunggal atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan baru dan mengombinasikan pemerintahan kembali.
Keadaan baru dapat kembali stabil di masa pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV (1454-1490). Pada masanya, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota Menanggini (kini bernama Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam dapat dilakukan di masa ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan Islam dan pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam sebagai program utama pemerintahannya.
Sultan Po Kandis digantikan oleh sendiri, Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena tidak memiliki anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558).
Peristiwa penting yang terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530).
Saat itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, yang dilibatkan sebagai strategi yang penting untuk menghadapi serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI ini dapat digunakan sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.
Silsilah
Urutan sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut:
- Sultan Muda Setia (1330-1352)
- Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)
- Sultan Po Malat (1369-1412)
- Sultan Po Kandis (1454-1490)
- Sultan Po Garang (1490-1528)
- Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558)
Periode Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang dapat eksis selama dua abad lebih (1320-1558).Selama rentang waktu yang panjang itu, kesultanan ini pernah menjadi masa pasang surut. Kesultanan ini telah dimasukkan ke dalam sistem masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang.
Terbentuknya kabupaten ini pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, tertanggal 10 April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah utama Kesultanan Benua Tamiang Tiga wilayah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu: Bendahara, Karangbaru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak Dibayar, Rantau, Seruway, dan Tamiang Hulu.
Struktur Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang diperintah oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang memberikan wawasan untuk pemerintahan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan.
Dalam bidang hukum, Dibutuhkan Qadhi Besar yang melahirkan, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu:
- Datuk-datuk Besar yang bergerak daerah-daerah kedatuan;
- Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman;
- Raja-raja Imam yang memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum di daerah.
Dalam bidang dan keamanan kesultanan, juga membentuk laskar-laskar rakyat yang menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu :
- Panglima Birin,
- Panglima Gempal Alam,
- Panglima Nayan,
- Panglima Kuntum Menda,
- Panglima Ranggas,
- Penglima Megah Burai,
- Panglima Nakuta Banding (khusus untuk di laut). Tingkat peminjaman yang paling bawah di kelaskini adalah Panghut yang ada di setiap kampung di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang.
Kehidupan Sosial-Budaya
Data kehidupan sosio-budaya berikut ini merupakan data pada masa modern, yaitu pada masa Kabupaten Aceh Tamiang. Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh istilah Melayu. Di samping istilah Melayu, di kabupaten ini juga terdiri dari jenis-jenis dari Aceh, Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.
Sektor pertanian masih sangat penting dalam ekonomi masyarakat Tamiang sebab penduduk di kabupaten ini berprofesi sebagai petani. Sekitar 29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan Kejuruan Muda (7.093 rumah tangga).
Tanaman pangan yang biasa ditanam adalah padi, palawija, sayur mayur, dan buah-buahan.Sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk.Dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 40 persen lebih, dan lebih besar dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen.
Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai / Krueng Kaloy. Keberadaan sungai-sungai bagi Masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai bahan bangunan, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, dan juga untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.
Sumber : AcehTamiangkab.go.id
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Berdirinya Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh"
Posting Komentar