Sejarah Awal Mula Masuknya Agama Buddha di Indonesia
Selasa, 03 April 2018
Tambah Komentar
Agama buddha berasal dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup baik di daerah Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha kemudian juga masuk ke nusantara(sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama tertua yang ada di Indonesia saat ini.
Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik, dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha.
Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun bisa bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.
Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke tahun 1377.
Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsingyang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengahsekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon.
Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada.
Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatera.
Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir.
Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.
Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit.
Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.
Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diadakan acara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.
Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Agung Indonesia yang berasal dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI(Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 sebagai organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang berasal dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan sebagainya.
Aliran Buddha Mahayana diduga datang di antara abad 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada kira – kira abad ke 2 M, ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan – tulisan.
Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zendan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat).
Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), yaitu budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Di mana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.
Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia.
Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.
Aliran Buddha Vajrayana atau juga disebut Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsonodan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut Kasogatan. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit.
Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata "sugata", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.
Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono).
Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan sebuah vihara di daerah Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.
Pada bulan Oktober 1988, semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.
Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha menjadi anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.
Perkembangan aliran Buddha Theravadadipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn(Bhante Vin). Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.
Dengan adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin.
Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia (STI).
SUMBER : Wikipedia
Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik, dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha.
Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun bisa bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.
Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.
Masa Kerajaan Hindu-Buddha
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke tahun 1377.
Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsingyang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengahsekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon.
Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada.
Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatera.
Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir.
Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.
Perkembangan aliran Buddha di Indonesia
Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit.
Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.
Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diadakan acara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.
Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Agung Indonesia yang berasal dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI(Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 sebagai organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang berasal dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan sebagainya.
Perkembangan Mahayana
Aliran Buddha Mahayana diduga datang di antara abad 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada kira – kira abad ke 2 M, ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan – tulisan.
Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zendan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat).
Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), yaitu budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Di mana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.
Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia.
Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.
Perkembangan Vajrayana
Aliran Buddha Vajrayana atau juga disebut Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsonodan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut Kasogatan. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit.
Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata "sugata", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.
Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono).
Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan sebuah vihara di daerah Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.
Pada bulan Oktober 1988, semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.
Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha menjadi anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.
Perkembangan Theravada
Perkembangan aliran Buddha Theravadadipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn(Bhante Vin). Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.
Dengan adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin.
Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia (STI).
SUMBER : Wikipedia
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Awal Mula Masuknya Agama Buddha di Indonesia"
Posting Komentar