Sejarah Asal Usul Kabupaten Bungo Provinsi Jambi
Sabtu, 29 September 2018
Tambah Komentar
Kabupaten Bungo adalah sebuah kabupaten yang terletak dibagian barat Provinsi Jambi. Muara Bungo adalah ibu kota dari kabupaten ini.
Kabupaten Bungo memiliki luas wilayah sekitar 4.659 km². Wilayah ini secara geografis terletak pada posisi 101º 27’ sampai dengan 102º 30’ Bujur Timur dan di antara 1º 08’ hingga 1º 55’ Lintang Selatan. Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Bungo berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Dharmasraya di sebelah Utara, Kabupaten Tebo di sebelah Timur, Kabupaten Merangin di sebelah Selatan, dan Kabupaten Kerinci di sebelah Barat.
Secara administratif, Kabupaten Bungo yang berpenduduk 332.881 jiwa (hasil sensus tahun 2017), yang tersebar di 17 kecamatan yang meliputi 12 kelurahan dan 141 desa. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Pasar Muara Bungo, Rimbo Tengah, Bungo Dani, Bathin III, Tanah Tumbuh, Rantau Pandan, Jujuhan, Tanah Sepenggal, Limbur Lubuk Mengkuang, Pelepat Ilir, Muko-Muko Bathin VII, Pelepat, Bathin II Babeko, Tanah Sepenggal Lintas, Jujuhan Ilir, Bathin III Uludan Bathin II Pelayang.
SEJARAH KABUPATEN BUNGO
Dahulu, saat Kesultanan Jambi masih berkuasa, daerah Muara Bungo juga merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Jambi. Saat itu wilayah Muara Bungo terdiri dari beberapa negeri yang disebut Bathin.
Seperti Bathin Batang Bungo, Bathin Jujuhan, Bathin Batang Tebo dan Bathin Batang Pelepat. Pada awalnya pemimpin Muara Bungo adalah Sultan Mangkubumi yang berkedudukan di Balai Panjang atau di wilayah Dusun Tanah Periuk saat ini.
Sultan Mangkubumi dan juga pemimpin-pemimpin setelahnya adalah Wakil Rajo Jambi di Muara Bungo yang sudah ditetapkan oleh Rajo atau Sultan Jambi waktu itu untuk memimpin Muara Bungo.
Pada 1904 Sultan Thaha Syaifudin selaku Sultan Jambi wafat dalam pertempuran di Betung Bedarah saat perang menghadapi Belanda, sehingga Kesultanan Jambi takluk dibawah pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1906 semua wilayah Kesultanan Jambi termasuk Muara Bungo berada dibawah jajahan pemerintahan kolonial Belanda. Pada 1926, Belanda membagi wilayah Muara Bungo menjadi wilayah-wilayah yang disebut dengan Marga, diantaranya Tanah Sepenggal Jujuhan Bilangan V dan VII Bathin VII Bathin III Ilir Bathin III Ulu Bathin II Pelepat
Sistem pemerintahan Marga ini sebetulnya mirip dengan pemerintahan Bathin sebelumnya. Yaitu dimana Marga/Bathin membawahi beberapa dusun. Pemerintahan Marga ini dipimpin oleh seseorang yang disebut 'Pasirah'.
Sedangkan Dusun dipimpin oleh seseorang yang disebut 'Rio'. Dan tiap-tiap dusun terbagi lagi atas beberapa Kampung.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Muara Bungo menjadi bagian dari Kabupaten Merangin yang beribukota di Bangko. Dan bersama Kabupaten Batanghari berada di bawah Karesidenan Jambi.
Berdasarkan UU No.10/1948, Karesidenan Jambi termasuk ke dalam provinsi Sumatera Tengah. Selanjutnya berdasarkan UU No.12/1956, Ibu Kota Kabupaten Merangin yang pada awalnya berkedudukan di Bangko dipindahkan ke Muara Bungo.
Berdasarkan UU No.81/1958, Provinsi Jambi dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Merangin, Kerinci dan Batanghari.
Pemekaran ini mendorong DPRD Peralihan dan DPR-GR Kabupaten Merangin mendesak Pemerintah Pusat untuk memekarkan Kabupaten Merangin menjadi dua kabupaten.
Diusulkan Kewedanaan Muara Bungo dan Kewedanaan Tebo menjadi Kabupaten Muara Bungo Tebo, dengan Muara Bungo sebagai ibukotanya.
Sedangkan kewedanaan Sarolangun dan Kewedanaan Bangko menjadi Kabupaten Bangko dengan kedudukan ibukota di Bangko.
Setelah mengirimkan delegasi ke Jakarta hingga beberapa kali, maka pada 12 September 1965 dilaksanakan pelantikan M. Saidi sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo.
Pada 19 Oktober 1965 DPR-GR Kabupaten Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo mengubah nama Kabupaten Muara Bungo Tebo menjadi Kabupaten Bungo Tebo dengan julukan "Bumi Sepucuk Bulat Seurat Tunggang" serta menjadikan 19 Oktober 1965 sebagai hari jadi kabupaten.
Perubahan terus berlanjut, reformasi bergema dimana-mana. Pada 1999, Kabupaten Bungo Tebo dimekarkan menjadi Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo.
Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada 12 Oktober 1999 oleh Menteri Dalam Negeri. Sejak saat itulah berdiri Kabupaten Bungo dengan ibu kota di Muara Bungo dan mendapat julukan 'Langkah Serentak Limbai Seayun'.
Suku Melayu adalah penduduk asli Kabupaten Bungo, mereka menetap di sepanjang aliran sungai yang ada di Kabupaten Bungo seperti di sepanjang aliran Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan dan Batang Pelepat. Selain itu di Kabupaten Bungo juga terdapat suku-suku pendatang seperti dari Minang, Jawa, Batak, Tionghoa, Arab, India, dll.
Kabupaten Bungo memiliki luas wilayah sekitar 4.659 km². Wilayah ini secara geografis terletak pada posisi 101º 27’ sampai dengan 102º 30’ Bujur Timur dan di antara 1º 08’ hingga 1º 55’ Lintang Selatan. Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Bungo berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Dharmasraya di sebelah Utara, Kabupaten Tebo di sebelah Timur, Kabupaten Merangin di sebelah Selatan, dan Kabupaten Kerinci di sebelah Barat.
Secara administratif, Kabupaten Bungo yang berpenduduk 332.881 jiwa (hasil sensus tahun 2017), yang tersebar di 17 kecamatan yang meliputi 12 kelurahan dan 141 desa. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Pasar Muara Bungo, Rimbo Tengah, Bungo Dani, Bathin III, Tanah Tumbuh, Rantau Pandan, Jujuhan, Tanah Sepenggal, Limbur Lubuk Mengkuang, Pelepat Ilir, Muko-Muko Bathin VII, Pelepat, Bathin II Babeko, Tanah Sepenggal Lintas, Jujuhan Ilir, Bathin III Uludan Bathin II Pelayang.
SEJARAH KABUPATEN BUNGO
Dahulu, saat Kesultanan Jambi masih berkuasa, daerah Muara Bungo juga merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Jambi. Saat itu wilayah Muara Bungo terdiri dari beberapa negeri yang disebut Bathin.
Seperti Bathin Batang Bungo, Bathin Jujuhan, Bathin Batang Tebo dan Bathin Batang Pelepat. Pada awalnya pemimpin Muara Bungo adalah Sultan Mangkubumi yang berkedudukan di Balai Panjang atau di wilayah Dusun Tanah Periuk saat ini.
Sultan Mangkubumi dan juga pemimpin-pemimpin setelahnya adalah Wakil Rajo Jambi di Muara Bungo yang sudah ditetapkan oleh Rajo atau Sultan Jambi waktu itu untuk memimpin Muara Bungo.
Pada 1904 Sultan Thaha Syaifudin selaku Sultan Jambi wafat dalam pertempuran di Betung Bedarah saat perang menghadapi Belanda, sehingga Kesultanan Jambi takluk dibawah pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1906 semua wilayah Kesultanan Jambi termasuk Muara Bungo berada dibawah jajahan pemerintahan kolonial Belanda. Pada 1926, Belanda membagi wilayah Muara Bungo menjadi wilayah-wilayah yang disebut dengan Marga, diantaranya Tanah Sepenggal Jujuhan Bilangan V dan VII Bathin VII Bathin III Ilir Bathin III Ulu Bathin II Pelepat
Sistem pemerintahan Marga ini sebetulnya mirip dengan pemerintahan Bathin sebelumnya. Yaitu dimana Marga/Bathin membawahi beberapa dusun. Pemerintahan Marga ini dipimpin oleh seseorang yang disebut 'Pasirah'.
Sedangkan Dusun dipimpin oleh seseorang yang disebut 'Rio'. Dan tiap-tiap dusun terbagi lagi atas beberapa Kampung.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Muara Bungo menjadi bagian dari Kabupaten Merangin yang beribukota di Bangko. Dan bersama Kabupaten Batanghari berada di bawah Karesidenan Jambi.
Berdasarkan UU No.10/1948, Karesidenan Jambi termasuk ke dalam provinsi Sumatera Tengah. Selanjutnya berdasarkan UU No.12/1956, Ibu Kota Kabupaten Merangin yang pada awalnya berkedudukan di Bangko dipindahkan ke Muara Bungo.
Berdasarkan UU No.81/1958, Provinsi Jambi dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Merangin, Kerinci dan Batanghari.
Pemekaran ini mendorong DPRD Peralihan dan DPR-GR Kabupaten Merangin mendesak Pemerintah Pusat untuk memekarkan Kabupaten Merangin menjadi dua kabupaten.
Diusulkan Kewedanaan Muara Bungo dan Kewedanaan Tebo menjadi Kabupaten Muara Bungo Tebo, dengan Muara Bungo sebagai ibukotanya.
Sedangkan kewedanaan Sarolangun dan Kewedanaan Bangko menjadi Kabupaten Bangko dengan kedudukan ibukota di Bangko.
Setelah mengirimkan delegasi ke Jakarta hingga beberapa kali, maka pada 12 September 1965 dilaksanakan pelantikan M. Saidi sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo.
Pada 19 Oktober 1965 DPR-GR Kabupaten Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo mengubah nama Kabupaten Muara Bungo Tebo menjadi Kabupaten Bungo Tebo dengan julukan "Bumi Sepucuk Bulat Seurat Tunggang" serta menjadikan 19 Oktober 1965 sebagai hari jadi kabupaten.
Perubahan terus berlanjut, reformasi bergema dimana-mana. Pada 1999, Kabupaten Bungo Tebo dimekarkan menjadi Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo.
Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada 12 Oktober 1999 oleh Menteri Dalam Negeri. Sejak saat itulah berdiri Kabupaten Bungo dengan ibu kota di Muara Bungo dan mendapat julukan 'Langkah Serentak Limbai Seayun'.
Suku Melayu adalah penduduk asli Kabupaten Bungo, mereka menetap di sepanjang aliran sungai yang ada di Kabupaten Bungo seperti di sepanjang aliran Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan dan Batang Pelepat. Selain itu di Kabupaten Bungo juga terdapat suku-suku pendatang seperti dari Minang, Jawa, Batak, Tionghoa, Arab, India, dll.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Kabupaten Bungo Provinsi Jambi"
Posting Komentar