Sejarah Asal Usul Kabupaten Malaka Nusa Tenggara Timur
Rabu, 10 Oktober 2018
Tambah Komentar
Kabupaten Malaka adalah salah satu kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ibu kotanya berada di Betun. Malaka merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Belu yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru (DOB).
Kabupaten Malaka saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai sekitar 190.561 jiwa dengan luas wilayah sekitar 1.160,63 km².
Pada tanggal 9 Januari 2018 Presiden Joko Widodo meresmikan proyek infrastruktur Bendungan Raknamo yang berada di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, serta dua Pos Lintas Batas Negara (PLBN), yaitu PLBN Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara dan PLBN Motamasin di Kabupaten Malaka.
SEJARAH KABUPATEN MALAKA
Dari berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah Malaka, bahwa sebelum orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka sebelumnya ada sebuah suku yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu Umumnya adalah "Suku Melus". Orang Melus di kenal dengan sebutan "Emafatuk oan ai oan", (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek.
Selain suku melus yang menghuni daerah tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka" yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya.
Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Terdapat cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan. Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin).
Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di Malaka.
Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Menurut para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal - usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
PEMBENTUKAN KABUPATEN MALAKA
Selain itu juga akan dikemukakan prospek dari terbentuknya suatu Daerah Otonom baru disebut dengan “Kabupaten Malaka”.
Semua elemen dalam masyarakat dapat memahami, menyiapkan diri dan merencanakan bentuk-bentuk partisipasi apa saja yang dapat ia sumbangkan demi memajukan Daerah Otonomi baru tersebut jika pada saatnya terbentuk secara defenitif. Dengan demikian, isu negatif bahwa ide memekarkan suatu wilayah hanya semata-mata untuk mengakomodir kepentingan elit-elit politik dan aparat birokrasi dapat dimengerti sebagai suatu isu destruktif yang sebetulnya tidak memiliki kebenaran secara keseluruhan.
Pertanyaan makro yang dapat dianalisis berikut ini adalah untuk apa dan mengapa suatu daerah perlu dimekarkan sebagai suatu Daerah Otonomi? Refleksi ini lebih difokuskan pada pemekaran Kabupaten Belu agar ada pemahaman yang ideal tentang pemekaran suatu daerah.
Sesuai amanat yuridis-formal, pembentukan suatu Daerah Otonom baru dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengoptimalkan berbagai potensi wilayah dan memperpendek Rentang Kendali Birokrasi yang memiliki fungsi memerintah dan yang melayani. Berbagai maksud diatas bertujuan akhir agar rakyat dapat menjadi sejahtera setidaknya ada pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas bawah.
Paradigma ini diimplementasikan oleh semua “Stakeholder” berbasiskan pada pusat-pusat kekuasaan yang dibentuk dalam Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yaitu Pemerintah Daerah (Birokrasi dan DPRD) bersama semua elemen dan civil society seperti Perguruyan Tinggi, LSM, Parpol dan Lembaga Pers.
Dalam tataran ini, terbentuknya Daerah Otonom baru “Kabupaten Malaka” diharapkan tidak saja memenuhi kebutuhan elit birokrasi karena adanya posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang juga dianggap “berwibawa” dan “terhormat” tetapi juga daerah otonom baru tersebut harus dipersiapkan dan didorong untuk optimalisasi potensi wilayah seperti sector peternakan, pertanian, industri kecil dan pengembangan pendidikan yang berbasiskan sekolah-sekolah kejuruan.
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, Kabupaten Malaka dapat direncanakan sebagai daerah “Transit” yang menghubungkan mobilisasi barang dan manusia dari Timor Leste ke Kupang dan wilayah-wilayah lain di NTT.
Konsekwensi logisnya adalah adanya infrastruktur yang memadai dan industri-industri jasa yang sesuai kebutuhan. Momentum inilah sebetulnya yang diharapkan dapat memberi kontribusi yang realistis bagi masyarakat pada umumnya karena terbukanya lapangan kerja baru dan adanya daya beli yang signifikan atas hasil-hasil produksi yang melibatkan warga kedua negara di kawasan perbatasan.
Itulah sedikit gambaran mengenai sejarah Asal Usul Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia.
Kabupaten Malaka saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai sekitar 190.561 jiwa dengan luas wilayah sekitar 1.160,63 km².
Pada tanggal 9 Januari 2018 Presiden Joko Widodo meresmikan proyek infrastruktur Bendungan Raknamo yang berada di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, serta dua Pos Lintas Batas Negara (PLBN), yaitu PLBN Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara dan PLBN Motamasin di Kabupaten Malaka.
SEJARAH KABUPATEN MALAKA
Selain suku melus yang menghuni daerah tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka" yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya.
Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Terdapat cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan. Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin).
Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di Malaka.
Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Menurut para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal - usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
PEMBENTUKAN KABUPATEN MALAKA
Selain itu juga akan dikemukakan prospek dari terbentuknya suatu Daerah Otonom baru disebut dengan “Kabupaten Malaka”.
Semua elemen dalam masyarakat dapat memahami, menyiapkan diri dan merencanakan bentuk-bentuk partisipasi apa saja yang dapat ia sumbangkan demi memajukan Daerah Otonomi baru tersebut jika pada saatnya terbentuk secara defenitif. Dengan demikian, isu negatif bahwa ide memekarkan suatu wilayah hanya semata-mata untuk mengakomodir kepentingan elit-elit politik dan aparat birokrasi dapat dimengerti sebagai suatu isu destruktif yang sebetulnya tidak memiliki kebenaran secara keseluruhan.
Pertanyaan makro yang dapat dianalisis berikut ini adalah untuk apa dan mengapa suatu daerah perlu dimekarkan sebagai suatu Daerah Otonomi? Refleksi ini lebih difokuskan pada pemekaran Kabupaten Belu agar ada pemahaman yang ideal tentang pemekaran suatu daerah.
Sesuai amanat yuridis-formal, pembentukan suatu Daerah Otonom baru dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengoptimalkan berbagai potensi wilayah dan memperpendek Rentang Kendali Birokrasi yang memiliki fungsi memerintah dan yang melayani. Berbagai maksud diatas bertujuan akhir agar rakyat dapat menjadi sejahtera setidaknya ada pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas bawah.
Paradigma ini diimplementasikan oleh semua “Stakeholder” berbasiskan pada pusat-pusat kekuasaan yang dibentuk dalam Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yaitu Pemerintah Daerah (Birokrasi dan DPRD) bersama semua elemen dan civil society seperti Perguruyan Tinggi, LSM, Parpol dan Lembaga Pers.
Dalam tataran ini, terbentuknya Daerah Otonom baru “Kabupaten Malaka” diharapkan tidak saja memenuhi kebutuhan elit birokrasi karena adanya posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang juga dianggap “berwibawa” dan “terhormat” tetapi juga daerah otonom baru tersebut harus dipersiapkan dan didorong untuk optimalisasi potensi wilayah seperti sector peternakan, pertanian, industri kecil dan pengembangan pendidikan yang berbasiskan sekolah-sekolah kejuruan.
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, Kabupaten Malaka dapat direncanakan sebagai daerah “Transit” yang menghubungkan mobilisasi barang dan manusia dari Timor Leste ke Kupang dan wilayah-wilayah lain di NTT.
Konsekwensi logisnya adalah adanya infrastruktur yang memadai dan industri-industri jasa yang sesuai kebutuhan. Momentum inilah sebetulnya yang diharapkan dapat memberi kontribusi yang realistis bagi masyarakat pada umumnya karena terbukanya lapangan kerja baru dan adanya daya beli yang signifikan atas hasil-hasil produksi yang melibatkan warga kedua negara di kawasan perbatasan.
Itulah sedikit gambaran mengenai sejarah Asal Usul Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Kabupaten Malaka Nusa Tenggara Timur"
Posting Komentar