Sejarah Asal Usul Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat
Senin, 01 Oktober 2018
Tambah Komentar
Kabupaten Sanggau adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara provinsi Kalimantan Barat dengan luas daerah 12.857,70 km² dengan kepadatan 29 jiwa per km². Dilihat dari letak geografisnya kabupaten sanggau terletak di antara 1° 10" Lintang Utara dan 0° 35" Lintang Selatan serta di antara 109° 45", 111° 11" Bujur Timur. Daerah ini merupakan tempat kelahiran Gubernur Kalimantan Barat saat ini, Cornelis M.H.
SEJARAH AWAL MULA SANGGAU
Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga.
Kerajaan Sanggau
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai.
Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau.
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut.
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini.
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinanKerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong.
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan riwayatKerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau.
Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten (Lontaan, 1975:172). Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu.
Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi.
Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari KerajaanMatan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga KerajaanSanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita (Lontaan, 1975:172).
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.
Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki.
Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau (Lontaan, 1975:173).
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau.
Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehatkesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut.
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya.
Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari.
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi KesultananSanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya.
Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan denganKerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau (Lontaan, 1975:174). Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, KesultananSanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau.
Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan KesultananBrunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah KesultananSanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,. Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di KesultananSanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau dengan Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanahKesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda.
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915 (Faturrahman, et.al., tt:98). Pemangku tahtaKesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin).
Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang.
Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang.
Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya diKesultanan Sanggau.
Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai pengganti Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir. Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayatKesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin.
SEJARAH AWAL MULA SANGGAU
Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga.
Kerajaan Sanggau
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai.
Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau.
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut.
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini.
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinanKerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong.
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan riwayatKerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau.
Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten (Lontaan, 1975:172). Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu.
Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi.
Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari KerajaanMatan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga KerajaanSanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita (Lontaan, 1975:172).
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.
Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki.
Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau (Lontaan, 1975:173).
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau.
Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehatkesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut.
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya.
Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari.
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi KesultananSanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya.
Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan denganKerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau (Lontaan, 1975:174). Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, KesultananSanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau.
Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan KesultananBrunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah KesultananSanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,. Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di KesultananSanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau dengan Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanahKesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda.
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915 (Faturrahman, et.al., tt:98). Pemangku tahtaKesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin).
Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang.
Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang.
Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya diKesultanan Sanggau.
Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai pengganti Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir. Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayatKesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat"
Posting Komentar