Sejarah Asal Usul Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau
Selasa, 25 Desember 2018
Tambah Komentar
Kabupaten Bengkalis adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Wilayahnya mencakup daratan bagian timurPulau Sumatera dan wilayah kepulauan, dengan luas adalah 7.793,93 km² dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 537.142 jiwa.
Ibu kota kabupaten ini berada di Bengkalis tepatnya berada di Pulau Bengkalis yang terpisah dari Pulau Sumatera. Pulau Bengkalis sendiri berada tepat di muara Sungai Siak, sehingga dikatakan bahwa Pulau Bengkalis adalah delta sungai Siak. Kota terbesar di kabupaten ini adalah kota Duri di kecamatan Mandau.
Penghasilan terbesar Kabupaten Bengkalis adalah minyak bumi yang menjadi sumber terbesar APBD-nya bersama dengan gas.
Kabupaten Bengkalis mempunyai letak yang sangat strategis, karena dilalui oleh jalur perkapalan internasional menuju ke Selat Malaka. Bengkalis juga termasuk dalam salah satu program Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT).
SEJARAH AWAL KABUPATEN BENGKALIS
Bengkalis pada masa lalu memegang peranan penting dalam sejarah. Berdasarkan cerita rakyat yang ada , dimulai pada tahun 1645, Bengkalis hanya merupakan Kampung nelayan. Berdasarkan sumber sejarah, pada tahun 1678 daerah ini menjadi tempat pertemuan pedagang-pedagang Melayu, Jawa, Arab yang membawa barang dagangannya bersama dengan pedagang-pedagang dari Palembang, Jambi, Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelong, Johor, Penang, Petani, Siam, Kamboja, Kocin, Cina dan orang-orang Minangkabau yang mendiami Sumatera dan datang ke sana untuk mengambil garam, beras, dan juga ikan (terubuk) yang banyak ditangkap oleh orang-orang Selat.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1717 Bengkalis dijadikan sebagai baris penyerangan terhadap Johor oleh Raja Kecil. Di Bengkalis inilah, Raja Kecil menyusun kekuatan angkatan perang.
Selanjutnya, Raja Kecil mendirikan Kerajaan Buantan yang kemudian disebut Kerajaan Siak pada tahun 1723. Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Daerah kekuasaannya meliputi Perbatinan Gasib, Perbatinan Senapelan, Perbatinan Sejaleh, Perbatinan Perawang, Perbatinan Sakai, Perbatinan Petalang, Perbatinan Tebing Tinggi, Perbatinan Senggoro, Perbatinan Merbau, Perbatinan Rangsang, Kepenghuluan Siak Kecil, Kepenghuluan Siak Besar, Kepenghuluan Rempah dan Kepenghuluan Betung.
Saat didirikannya Kerajaan Siak tersebut Bengkalis dan Bukit Batu dijadikan pos terdepan dalam rangka pertahanannya dengan pimpinan Datuk Laksamana Raja Di Laut. Datuk Laksamana Raja Dilaut membangun armada yang kuat serta membuat kapal-kapal perang yang dilengkapi dengan senjata yang didatangkan dari negara-negara Islam.
Selanjutnya, saat Bengkalis berada pada kekuasaan Belanda, Bengkalis dijadikan ibukota Keresidenan Sumatera Timur. Namun demikian, Belanda kemudian memindahkan ibukota keresidenan dari Bengkalis ke Medan. Sesudah perpindahan tersebut Bengkalis dijadikan ibukota Afdeling Bengkalis sampai akhir kekuasaan Belanda di Indonesia.
Sedangkan saat pendudukan Jepang, Bengkalis dijadikan ibukota Bengkalis Bun. Sementara itu, perjuangan masyarakat Bengkalis untuk mempertahankan kemerdekaan mencapai puncaknya ketika Belanda berhasil menduduki Bengkalis kembali pada tanggal 30 Desember 1948. Pada saat itu, Belanda mendapat perlawanan yang cukup sengit dari masyarakat Bengkalis
Menurut Jasman K (tt) dari berbagai versi oral yang dikumpulkannya dan menurutnya dari sebuah buku Kisah Pelayaran Raja Kecil Ke Johor dan sebuah naskah yang berjudul "Asal –muasal Nama Terubuk" dan sebuah naskah Syair Ikan Terubuk huruf Jawi, maka dibuatnyalah sebuah kisah sejarah seperti berikut ini : Bengkalis bermula setelah pudarnya Kerajaan Gasib pada abad ke-17 atau sekitar 1625.
Kerajaan Gasib ini terletak di hulu Sungai Gasib di sebelah Selatan Buatan. Muara Sungai Gasib menuju ke Sungai Jantan Siak. Sesudah keruntuhan Kerajaan Gasib, daerah ini seperti ditimpa bala bencana. Daerah ini tidak lagi punya pemimpin, dan berlakulah "hukum rimba", siapa yang kuat maka dialah yang menjadi raja. Kekosongan pucuk kekuasaan kerajaan ini kemudian diisi oleh datuk-datuk yang menjadi tempat berpegang. Tersebutlah Datuk Bandar di Bengkalis dan Datuk Bandar di Sabak Aur.
Para datuk ini diceritakan konon datang dari Johor. Bengkalis ketika itu belumlah bernama Bengkalis, seperti halnya kejadian sebuah negeri Melayu dalam tradisi Melayu. Disebut orang Kuala Batanghari namanya. Di hulu Kuala Batanghari ini terdapat tanah busut di sebuah tasik kecil. Karena itu pulaulah orang di daerah ini mengenal tanah tumpukan ini dengan sebutan "Pulau Sembilan".
Menurut Jasman K (tt) seorang guru SR dan ditulisnya pada 27 September 1980 lagi – tanpa menyebutkan sumber – nama Kuala Batanghari dan Pulau Sembilan kemudian kelak berganti nama menjadi Bengkalis. Peristiwa pergantian nama ini bermula setelah menghilirnya perangkat Raja Kecil yang diiringi dengan empatpuluh orang awak lancang dan empat orang kepala suku, yaitu suku Limapuluh, suku Tanah Datar, suku Pesisir, dan ditambah satu suku lagi dari suku Limapuluh juga.
Konon dalam Sejarah Melayu Raja Kecil memang dibesarkan di Ranah Minang.
Perangkatan Raja Kecil menghiliri sungai Jantan yang kemudian nama sungai ini bernama Sungai Siak. Rombongan Raja Kecil ini singgah di Sabak Aur (Sungai Apit sekarang ini) kemudian singgah pula di Kuala Batanghari. Di Sabak Aur ini konon pernah terjadi perselisihan antara rombongan Raja Kecil dengan Datuk Bandar Sabak Aur.
Perselisihan berawal dari Datuk Sabak Aur meminta cukai lalu lintas sungai kepada rombongan – yang tidak diketahuinya itu yang ternyata – Raja Kecil yang telah merapatkan lancangnya di jembatan di Sabak Aur. Raja Kecil mau tidak mau memotong puntel pundi-pundinya yang terbuat dari emas. Lalu puntel pundi-pundi itu diterima oleh pengawal Datuk Sabak Aur. Sambil menyerahkan puntel pundi-pundinya konon Raja Kecil berkata "akan kucucup juga darahnya di kemudian hari nanti".
Ternyata konon apa yang diucapkannya itu berlaku dan menurut Jasman K mempunyai kisah tersendiri. Kisah ini masih gelap untuk diteroka. Lancang pembawa perangkatan rombongan Raja Kecil terus menghilir ke muara sungai. Awak lancang menyebut sejumlah nama hutan, nama tanjung, nama pulau, dan nama sungai-sungai yang dilalui. Tersebutlah Selat Pulau Padang.
Selain itu juga disebut Sungai Selari, Tanjung Ja dan banyak lagi nama lain. Jasman K (tt) selanjutnya mengisahkan, menurut adat kebiasaan setempat, bahwa setiap orang yang datang ke suatu tempat baru yang dituju di wilayah ini harus tunduk pada adat tuan rumah. Peraturan adat itu antara lain belum boleh menyauk air sungai atau naik ke darat, sebelum terlebih dahulu mengadakan surah-bersurah dan memperoleh izin dari penguasa di tempat ini. Rupanya tanpa disangka adat masyarakat ini juga diberlakukan terhadap rombongan Raja Kecil ini, yaitu belum boleh menyauk air sungai apalagi naik ke darat, sebelum surah-bersurah dan keizinan dari tuan rumah.
Ketibaan macang perangkatan Raja Kecil menjadikan pembicaraan orang ramai di Bandar Kuala Batanghari. Karena orang di dalam lancang itu berbahasa sekerat-kerat yang tak dapat dipahami oleh pengawal pantai. Apa yang didengar oleh pengawal pantai (bahasa orang di dalam lancang itu) dihafal baik-baik, supaya mudah menyampaikannya kepada Tuk Bandar.
Setelah dapat disimak ucapan bahasa atau kata-kata orang yang di dalam lancang itu lalu disampaikan oleh pengawal kepada Datuk Bandar Jamal, orang yang memegang tampuk kekuasaan di Kuala Batanghari. Terjadilah surah-surahan antara Datuk Bandar Jamal dengan Raja Kecil dan orang-orang besar di dalam lancang. Raja Kecil memperkenalkan dirinya lalu menyebutkan namanya.
Mendengar nama Raja Kecil itu tak syak lagi bagi Datuk Bandar Jamal, bahwa itulah keturunan Sultan Johor. Datuk Bandar pun mempersilahkan Raja Kecil dan orang-orang besar dalam lancang untuk sudi naik ke darat dan tinggal beberapa lamanya di Kuala Batanghari.
Konon setelah beberapa lama lancang perangkatan Raja Kecil berada di Kuala Batanghari banyak sekali hal-hal yang timbul dan ditanyakan kepada Raja Kecil. Seperti ketika mandi di kuala sungai banyak ikan-ikan berebut makanan. Lalu ditanyakan nama ikan itu. Dijawab oleh Raja Kecil dengan singkat, bahwa ikan itu bernama ikan "teru" menangkapnya harus dengan tali "pu", sisiknya tidak boleh dikikis.
Jika ingin dikikis juga hendaklah jangan dipaksakan. Kemudian, ditanyakan lagi nama tanjung di seberang, di sebelah Barat Laut Kuala Batanghari. Dijawab oleh Raja, bahwa tanjung itu bernama Tanjung "ja". Raja Kecil menyarankan, supaya tepat sebaiknya ditanyakan lagi kepada Bunda Dalam di Johor, orang yang dikenal pandai menafsirkan makna-makna yang tersirat.
Kelak, setelah Raja Kecil menjadi Sultan Johor, maka semua yang tumbuh dan setiap peristiwa yang terjadi di sepanjang pelayaran yang pernah dialami di Kualabatanghari, ditanyakan kepada Bunda Dalam. Satu per satu dieja dan diartikan oleh Bunda Dalam, misalnya tentang "ikan teru" berarti "ikan terubuk". Ikan terubuk asal-usul induknya dari ikan Bengkalis hidup di sungai, begitu juga bentuknya tidak besar.
Konon hanya di daerah ini saja yang ada ikan ini di tempat lain (mungkin ada tapi) lain pula namanya. Menangkap ikan terubuk ini hendaklah dengan tali purun dan itulah disebut tali "Pu" (dan nama "Pu" juga nama pukat). Menangkap terubuk itu hendaklah dengan pukat yang menggunakan tali purun. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, ikan tersebut tidak boleh diperdagangkan.
Adapun nama kayu "beng" berasal dari nama kayu Bengkalis. Kayu itu konon cuma ada hidup di tempat itu. Batangnya hampir mirip dengan batang manggis, tetapi tidak berbuah. Dan begitu juga tentang nama Tanjung "ja" itu artinya Tanjung Jati letaknya di ujung pulau di sebelah matahari turun.
Setelah mendapat arti makna dan tunjuk-ajar dari Bunda Dalam, lalu Sultan Johor yang ketika itu dipegang oleh Raja Kecil, mengirim utusan ke Kuala Batanghari menyampaikan kepada Datuk Bandar Jamal bahwa sejak perutusan itu sampai memberi khabar hendaklah berubah nama Kuala Batanghari menjadi Bengkalis, di dalam sungai itu ada hidup Ikan Bengkalis dan ditepi sungai itu ada juga hidup batang Bengkalis yang berasal dari sungai itu juga. Begitu juga nama pulau itu sekaligus diberi pula nama selatnya dengan sebutan yang sama yaitu Pulau Bengkalis dan Selat Bengkalis. Demikian penjelasan Djasman K.
Mulai Disebut Dalam Sejarah
Hanya beberapa tahun setelah tahun 1511, terbit sebuah buku tentang Melaka, yaitu The Suma Oriental. Penulisnya, Tome Pires, yang berbangsa Portugis, memberikan suatu gambaran yang jelas, khusus tentang masyarakat masyarakat Melaka dari tahun 1400 sehingga tahun 1515, walaupun tulisannya berorientasi dari sudut pandangannya.
Kisah sejarah tersebut dibuat ketika beliau berada di kota kosmopolitan Melaka dari tahun 1512 hingga tahun 1515, yaitu tahun-tahun awal penaklukan dan pendudukan (bangsa Portugis Eropah yang pertama ini di Melaka). Mungkin disebabkan Tome Pires menyaksikan sendiri suasana pada periode awal zaman peralihan, yaitu dari pendudukan Melayu ke pendudukan Portugis, maka beliau bersikap condong ke arah Portugis, dengan mengedepankan nilai-nilai asli keportugisannya, dari segi etos, agama, kepercayaan dan pandangannya tentang dunia.
Sumber Cina pada abad ke-5 dan abad ke-6 Masehi (daripada Dinasti Sung dan Dinasti Liang) menyebutkan bahwa sebuah tempat yang bernama Kan-t'o-li yang terletak di tenggara Sumatera (tempatnya dikatakan terdapat di sekitar Jambi, bermuarakan Sungai Batang Hari.
Untuk keperluan jalur perdagangan di Selat Malaka serta kemunculan pola perdagangan yang baru ini, Kan-t'o-li dipastikan berhasil untuk menguasai sebagian besar dari muara-muara sungai di sepanjang pantai timur Sumatera, hingga ke Pantai Timur dan Pantai Barat Semenanjung Tanah Melayu. Kan-t'o-li merupakan sebuah pusat kekuasaan laut Melayu yang muncul secara langsung dari peluang sosioekonomi dan jalan perdagangan laut yang muncul ketika itu.
Kelahiran Kan-t'o-li menandakan wibawa politik dan keunggulan ekonomi Funan dan Langkasuka. Kan-t'o-li menggantikan kedua kekuasaan ini. Kan-t'o-lilah yang dianggap memberi jalan kea rah kemunculan Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya kemudian menjadi sebuah empayar Melayu. Pada zaman puncak kekuasaannya pada abad ke-11, Sriwijaya disebut menguasai jalan perdgangan dan jalan laut yang cukup luas, yaitu dari kawasan Gerahi di timur Teluk Benggala hingga ke Selat Sunda di selatan, lalu menguasai seluruh geopolitik tradisional pantai timur Sumatera, seluruh Thai Selatan, Semenanjung Tanah Melayu dan barat laut Gugusan Kepulauan Melayu.
Sriwijaya yang berpusat di Palembang, kemudian berpindah ke Jambi juga berhasil menundukkan kekuasaan setempat dan bandar-bandar pelabuhan yang lebih kecil. Proses dan pola politik serta penguasaan jalan perdagangan laut oleh Sriwijaya ini berlangsung hingga abad ke-13. Kawasan-kawasan lain yang tidak menjadi daerah takluk (jajahan) di pantai barat dan timur Sumatera adakalanya mempunyai hubungan perdagangan dengan Melaka.
Bahan-bahan eksport dari kawasan ini dihantar ke Melaka melalui pelabuhan yang menjadi daerah takluk (jajahan). Pedir contohnya, menghantar lada dan beras menerusi Pasai ke Melaka. Bengkalis membekalkan ikan kering dan ikan terubuk.
Pada tahun 1678 digambarkan oleh Tuan Bort tempat tersebut sebagai berikut : Bengkalis, sebagaimana telah dihuraikan, termasuk dalam wilayah Kerajaan Johor, terletak di suatu pulau kira-kira satu mil dari pantai Sumatera, hanya merupakan perkampungan nelayan , dipimpin oleh seorang syahbandar yang mengurus semua kepentingan Johor.
Meskipun hanya merupakan perkampungan nelayan, disana terdapat pelayaran yang ramai terdiri dari orang Melayu, Jawa dan Arab yang berkumpul untuk melakukan pembelian barang-barang dari Pantai Jawa, Palembang, Jambi, Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelang, Johor, Pahang, Patani, Siam, Kamboja, dan Kocin Cina. Bahkan, orang Minangkabau yang tinggal di Sumatera datang ke sana beramai-ramai membeli garam, beras dan juga ikan, yang banyak ditangkap pada musim-musim tertentu disana oleh orang-orang Selat, yang dengan anak istrinya tinggal di pulau-pulau dan mengembara kesana kemari-ikan tersebut mempunyai telur yang bersih, dikeringkan dan digarami serta sangat digemari oleh penduduk.
Ibu kota kabupaten ini berada di Bengkalis tepatnya berada di Pulau Bengkalis yang terpisah dari Pulau Sumatera. Pulau Bengkalis sendiri berada tepat di muara Sungai Siak, sehingga dikatakan bahwa Pulau Bengkalis adalah delta sungai Siak. Kota terbesar di kabupaten ini adalah kota Duri di kecamatan Mandau.
Penghasilan terbesar Kabupaten Bengkalis adalah minyak bumi yang menjadi sumber terbesar APBD-nya bersama dengan gas.
Kabupaten Bengkalis mempunyai letak yang sangat strategis, karena dilalui oleh jalur perkapalan internasional menuju ke Selat Malaka. Bengkalis juga termasuk dalam salah satu program Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT).
SEJARAH AWAL KABUPATEN BENGKALIS
Bengkalis pada masa lalu memegang peranan penting dalam sejarah. Berdasarkan cerita rakyat yang ada , dimulai pada tahun 1645, Bengkalis hanya merupakan Kampung nelayan. Berdasarkan sumber sejarah, pada tahun 1678 daerah ini menjadi tempat pertemuan pedagang-pedagang Melayu, Jawa, Arab yang membawa barang dagangannya bersama dengan pedagang-pedagang dari Palembang, Jambi, Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelong, Johor, Penang, Petani, Siam, Kamboja, Kocin, Cina dan orang-orang Minangkabau yang mendiami Sumatera dan datang ke sana untuk mengambil garam, beras, dan juga ikan (terubuk) yang banyak ditangkap oleh orang-orang Selat.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1717 Bengkalis dijadikan sebagai baris penyerangan terhadap Johor oleh Raja Kecil. Di Bengkalis inilah, Raja Kecil menyusun kekuatan angkatan perang.
Selanjutnya, Raja Kecil mendirikan Kerajaan Buantan yang kemudian disebut Kerajaan Siak pada tahun 1723. Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Daerah kekuasaannya meliputi Perbatinan Gasib, Perbatinan Senapelan, Perbatinan Sejaleh, Perbatinan Perawang, Perbatinan Sakai, Perbatinan Petalang, Perbatinan Tebing Tinggi, Perbatinan Senggoro, Perbatinan Merbau, Perbatinan Rangsang, Kepenghuluan Siak Kecil, Kepenghuluan Siak Besar, Kepenghuluan Rempah dan Kepenghuluan Betung.
Saat didirikannya Kerajaan Siak tersebut Bengkalis dan Bukit Batu dijadikan pos terdepan dalam rangka pertahanannya dengan pimpinan Datuk Laksamana Raja Di Laut. Datuk Laksamana Raja Dilaut membangun armada yang kuat serta membuat kapal-kapal perang yang dilengkapi dengan senjata yang didatangkan dari negara-negara Islam.
Selanjutnya, saat Bengkalis berada pada kekuasaan Belanda, Bengkalis dijadikan ibukota Keresidenan Sumatera Timur. Namun demikian, Belanda kemudian memindahkan ibukota keresidenan dari Bengkalis ke Medan. Sesudah perpindahan tersebut Bengkalis dijadikan ibukota Afdeling Bengkalis sampai akhir kekuasaan Belanda di Indonesia.
Sedangkan saat pendudukan Jepang, Bengkalis dijadikan ibukota Bengkalis Bun. Sementara itu, perjuangan masyarakat Bengkalis untuk mempertahankan kemerdekaan mencapai puncaknya ketika Belanda berhasil menduduki Bengkalis kembali pada tanggal 30 Desember 1948. Pada saat itu, Belanda mendapat perlawanan yang cukup sengit dari masyarakat Bengkalis
Menurut Jasman K (tt) dari berbagai versi oral yang dikumpulkannya dan menurutnya dari sebuah buku Kisah Pelayaran Raja Kecil Ke Johor dan sebuah naskah yang berjudul "Asal –muasal Nama Terubuk" dan sebuah naskah Syair Ikan Terubuk huruf Jawi, maka dibuatnyalah sebuah kisah sejarah seperti berikut ini : Bengkalis bermula setelah pudarnya Kerajaan Gasib pada abad ke-17 atau sekitar 1625.
Kerajaan Gasib ini terletak di hulu Sungai Gasib di sebelah Selatan Buatan. Muara Sungai Gasib menuju ke Sungai Jantan Siak. Sesudah keruntuhan Kerajaan Gasib, daerah ini seperti ditimpa bala bencana. Daerah ini tidak lagi punya pemimpin, dan berlakulah "hukum rimba", siapa yang kuat maka dialah yang menjadi raja. Kekosongan pucuk kekuasaan kerajaan ini kemudian diisi oleh datuk-datuk yang menjadi tempat berpegang. Tersebutlah Datuk Bandar di Bengkalis dan Datuk Bandar di Sabak Aur.
Para datuk ini diceritakan konon datang dari Johor. Bengkalis ketika itu belumlah bernama Bengkalis, seperti halnya kejadian sebuah negeri Melayu dalam tradisi Melayu. Disebut orang Kuala Batanghari namanya. Di hulu Kuala Batanghari ini terdapat tanah busut di sebuah tasik kecil. Karena itu pulaulah orang di daerah ini mengenal tanah tumpukan ini dengan sebutan "Pulau Sembilan".
Menurut Jasman K (tt) seorang guru SR dan ditulisnya pada 27 September 1980 lagi – tanpa menyebutkan sumber – nama Kuala Batanghari dan Pulau Sembilan kemudian kelak berganti nama menjadi Bengkalis. Peristiwa pergantian nama ini bermula setelah menghilirnya perangkat Raja Kecil yang diiringi dengan empatpuluh orang awak lancang dan empat orang kepala suku, yaitu suku Limapuluh, suku Tanah Datar, suku Pesisir, dan ditambah satu suku lagi dari suku Limapuluh juga.
Konon dalam Sejarah Melayu Raja Kecil memang dibesarkan di Ranah Minang.
Perangkatan Raja Kecil menghiliri sungai Jantan yang kemudian nama sungai ini bernama Sungai Siak. Rombongan Raja Kecil ini singgah di Sabak Aur (Sungai Apit sekarang ini) kemudian singgah pula di Kuala Batanghari. Di Sabak Aur ini konon pernah terjadi perselisihan antara rombongan Raja Kecil dengan Datuk Bandar Sabak Aur.
Perselisihan berawal dari Datuk Sabak Aur meminta cukai lalu lintas sungai kepada rombongan – yang tidak diketahuinya itu yang ternyata – Raja Kecil yang telah merapatkan lancangnya di jembatan di Sabak Aur. Raja Kecil mau tidak mau memotong puntel pundi-pundinya yang terbuat dari emas. Lalu puntel pundi-pundi itu diterima oleh pengawal Datuk Sabak Aur. Sambil menyerahkan puntel pundi-pundinya konon Raja Kecil berkata "akan kucucup juga darahnya di kemudian hari nanti".
Ternyata konon apa yang diucapkannya itu berlaku dan menurut Jasman K mempunyai kisah tersendiri. Kisah ini masih gelap untuk diteroka. Lancang pembawa perangkatan rombongan Raja Kecil terus menghilir ke muara sungai. Awak lancang menyebut sejumlah nama hutan, nama tanjung, nama pulau, dan nama sungai-sungai yang dilalui. Tersebutlah Selat Pulau Padang.
Selain itu juga disebut Sungai Selari, Tanjung Ja dan banyak lagi nama lain. Jasman K (tt) selanjutnya mengisahkan, menurut adat kebiasaan setempat, bahwa setiap orang yang datang ke suatu tempat baru yang dituju di wilayah ini harus tunduk pada adat tuan rumah. Peraturan adat itu antara lain belum boleh menyauk air sungai atau naik ke darat, sebelum terlebih dahulu mengadakan surah-bersurah dan memperoleh izin dari penguasa di tempat ini. Rupanya tanpa disangka adat masyarakat ini juga diberlakukan terhadap rombongan Raja Kecil ini, yaitu belum boleh menyauk air sungai apalagi naik ke darat, sebelum surah-bersurah dan keizinan dari tuan rumah.
Ketibaan macang perangkatan Raja Kecil menjadikan pembicaraan orang ramai di Bandar Kuala Batanghari. Karena orang di dalam lancang itu berbahasa sekerat-kerat yang tak dapat dipahami oleh pengawal pantai. Apa yang didengar oleh pengawal pantai (bahasa orang di dalam lancang itu) dihafal baik-baik, supaya mudah menyampaikannya kepada Tuk Bandar.
Setelah dapat disimak ucapan bahasa atau kata-kata orang yang di dalam lancang itu lalu disampaikan oleh pengawal kepada Datuk Bandar Jamal, orang yang memegang tampuk kekuasaan di Kuala Batanghari. Terjadilah surah-surahan antara Datuk Bandar Jamal dengan Raja Kecil dan orang-orang besar di dalam lancang. Raja Kecil memperkenalkan dirinya lalu menyebutkan namanya.
Mendengar nama Raja Kecil itu tak syak lagi bagi Datuk Bandar Jamal, bahwa itulah keturunan Sultan Johor. Datuk Bandar pun mempersilahkan Raja Kecil dan orang-orang besar dalam lancang untuk sudi naik ke darat dan tinggal beberapa lamanya di Kuala Batanghari.
Konon setelah beberapa lama lancang perangkatan Raja Kecil berada di Kuala Batanghari banyak sekali hal-hal yang timbul dan ditanyakan kepada Raja Kecil. Seperti ketika mandi di kuala sungai banyak ikan-ikan berebut makanan. Lalu ditanyakan nama ikan itu. Dijawab oleh Raja Kecil dengan singkat, bahwa ikan itu bernama ikan "teru" menangkapnya harus dengan tali "pu", sisiknya tidak boleh dikikis.
Jika ingin dikikis juga hendaklah jangan dipaksakan. Kemudian, ditanyakan lagi nama tanjung di seberang, di sebelah Barat Laut Kuala Batanghari. Dijawab oleh Raja, bahwa tanjung itu bernama Tanjung "ja". Raja Kecil menyarankan, supaya tepat sebaiknya ditanyakan lagi kepada Bunda Dalam di Johor, orang yang dikenal pandai menafsirkan makna-makna yang tersirat.
Kelak, setelah Raja Kecil menjadi Sultan Johor, maka semua yang tumbuh dan setiap peristiwa yang terjadi di sepanjang pelayaran yang pernah dialami di Kualabatanghari, ditanyakan kepada Bunda Dalam. Satu per satu dieja dan diartikan oleh Bunda Dalam, misalnya tentang "ikan teru" berarti "ikan terubuk". Ikan terubuk asal-usul induknya dari ikan Bengkalis hidup di sungai, begitu juga bentuknya tidak besar.
Konon hanya di daerah ini saja yang ada ikan ini di tempat lain (mungkin ada tapi) lain pula namanya. Menangkap ikan terubuk ini hendaklah dengan tali purun dan itulah disebut tali "Pu" (dan nama "Pu" juga nama pukat). Menangkap terubuk itu hendaklah dengan pukat yang menggunakan tali purun. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, ikan tersebut tidak boleh diperdagangkan.
Adapun nama kayu "beng" berasal dari nama kayu Bengkalis. Kayu itu konon cuma ada hidup di tempat itu. Batangnya hampir mirip dengan batang manggis, tetapi tidak berbuah. Dan begitu juga tentang nama Tanjung "ja" itu artinya Tanjung Jati letaknya di ujung pulau di sebelah matahari turun.
Setelah mendapat arti makna dan tunjuk-ajar dari Bunda Dalam, lalu Sultan Johor yang ketika itu dipegang oleh Raja Kecil, mengirim utusan ke Kuala Batanghari menyampaikan kepada Datuk Bandar Jamal bahwa sejak perutusan itu sampai memberi khabar hendaklah berubah nama Kuala Batanghari menjadi Bengkalis, di dalam sungai itu ada hidup Ikan Bengkalis dan ditepi sungai itu ada juga hidup batang Bengkalis yang berasal dari sungai itu juga. Begitu juga nama pulau itu sekaligus diberi pula nama selatnya dengan sebutan yang sama yaitu Pulau Bengkalis dan Selat Bengkalis. Demikian penjelasan Djasman K.
Mulai Disebut Dalam Sejarah
Hanya beberapa tahun setelah tahun 1511, terbit sebuah buku tentang Melaka, yaitu The Suma Oriental. Penulisnya, Tome Pires, yang berbangsa Portugis, memberikan suatu gambaran yang jelas, khusus tentang masyarakat masyarakat Melaka dari tahun 1400 sehingga tahun 1515, walaupun tulisannya berorientasi dari sudut pandangannya.
Kisah sejarah tersebut dibuat ketika beliau berada di kota kosmopolitan Melaka dari tahun 1512 hingga tahun 1515, yaitu tahun-tahun awal penaklukan dan pendudukan (bangsa Portugis Eropah yang pertama ini di Melaka). Mungkin disebabkan Tome Pires menyaksikan sendiri suasana pada periode awal zaman peralihan, yaitu dari pendudukan Melayu ke pendudukan Portugis, maka beliau bersikap condong ke arah Portugis, dengan mengedepankan nilai-nilai asli keportugisannya, dari segi etos, agama, kepercayaan dan pandangannya tentang dunia.
Sumber Cina pada abad ke-5 dan abad ke-6 Masehi (daripada Dinasti Sung dan Dinasti Liang) menyebutkan bahwa sebuah tempat yang bernama Kan-t'o-li yang terletak di tenggara Sumatera (tempatnya dikatakan terdapat di sekitar Jambi, bermuarakan Sungai Batang Hari.
Untuk keperluan jalur perdagangan di Selat Malaka serta kemunculan pola perdagangan yang baru ini, Kan-t'o-li dipastikan berhasil untuk menguasai sebagian besar dari muara-muara sungai di sepanjang pantai timur Sumatera, hingga ke Pantai Timur dan Pantai Barat Semenanjung Tanah Melayu. Kan-t'o-li merupakan sebuah pusat kekuasaan laut Melayu yang muncul secara langsung dari peluang sosioekonomi dan jalan perdagangan laut yang muncul ketika itu.
Kelahiran Kan-t'o-li menandakan wibawa politik dan keunggulan ekonomi Funan dan Langkasuka. Kan-t'o-li menggantikan kedua kekuasaan ini. Kan-t'o-lilah yang dianggap memberi jalan kea rah kemunculan Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya kemudian menjadi sebuah empayar Melayu. Pada zaman puncak kekuasaannya pada abad ke-11, Sriwijaya disebut menguasai jalan perdgangan dan jalan laut yang cukup luas, yaitu dari kawasan Gerahi di timur Teluk Benggala hingga ke Selat Sunda di selatan, lalu menguasai seluruh geopolitik tradisional pantai timur Sumatera, seluruh Thai Selatan, Semenanjung Tanah Melayu dan barat laut Gugusan Kepulauan Melayu.
Sriwijaya yang berpusat di Palembang, kemudian berpindah ke Jambi juga berhasil menundukkan kekuasaan setempat dan bandar-bandar pelabuhan yang lebih kecil. Proses dan pola politik serta penguasaan jalan perdagangan laut oleh Sriwijaya ini berlangsung hingga abad ke-13. Kawasan-kawasan lain yang tidak menjadi daerah takluk (jajahan) di pantai barat dan timur Sumatera adakalanya mempunyai hubungan perdagangan dengan Melaka.
Bahan-bahan eksport dari kawasan ini dihantar ke Melaka melalui pelabuhan yang menjadi daerah takluk (jajahan). Pedir contohnya, menghantar lada dan beras menerusi Pasai ke Melaka. Bengkalis membekalkan ikan kering dan ikan terubuk.
Pada tahun 1678 digambarkan oleh Tuan Bort tempat tersebut sebagai berikut : Bengkalis, sebagaimana telah dihuraikan, termasuk dalam wilayah Kerajaan Johor, terletak di suatu pulau kira-kira satu mil dari pantai Sumatera, hanya merupakan perkampungan nelayan , dipimpin oleh seorang syahbandar yang mengurus semua kepentingan Johor.
Meskipun hanya merupakan perkampungan nelayan, disana terdapat pelayaran yang ramai terdiri dari orang Melayu, Jawa dan Arab yang berkumpul untuk melakukan pembelian barang-barang dari Pantai Jawa, Palembang, Jambi, Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelang, Johor, Pahang, Patani, Siam, Kamboja, dan Kocin Cina. Bahkan, orang Minangkabau yang tinggal di Sumatera datang ke sana beramai-ramai membeli garam, beras dan juga ikan, yang banyak ditangkap pada musim-musim tertentu disana oleh orang-orang Selat, yang dengan anak istrinya tinggal di pulau-pulau dan mengembara kesana kemari-ikan tersebut mempunyai telur yang bersih, dikeringkan dan digarami serta sangat digemari oleh penduduk.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau"
Posting Komentar