Sejarah Awal Terbentuknya Kabupaten Toli-toli Sulawesi Tengah
Rabu, 09 Januari 2019
Tambah Komentar
Kabupaten Tolitoli atau Toli-Toli merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Tolitoli.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.079,6 km² dan berpenduduk sebanyak 225.875 Jiwa (2017). Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Toli-Toli, pada tahun 2000 berdasarkan UU No. 51 Tahun 1999, daerah ini dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai kabupaten indukdan Kabupaten Buol sebagai kabupaten hasil pemekaran.
ASAL USUL KABUPATEN TOLI-TOLI
Mengenai asal usul nama Tolitoli, menurut legenda, berasal dari kata Totolu yang artinya tiga. Maksudnya, suku bangsa Tolitoli berasal dari 3 manusia kayangan yang menjelma ke bumi ini masing-masing melalui: Olisan Bulan (bambu Emas), Bumbung Lanjat (puncak pohon Langsat), dan Ue saka (sejenis Rotan). Yang menjelma Olisan Bulan di Kenal sebagai Tau Dei Baolan atau Tamadika Baolan.
Sepanjang sejarah yang diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang dibawa mubalig dari kesultanan ternate.
Kemudian nama Totolu ( Tau Tolu ) berubah menjadi Tontoli sebagaimana yang tertulis dalam Lange-Contrack 5 juli 1858 yang ditandatangani antara Dirk Francois dari pihak belanda dengan Raja Bantilan Syafiuddin. Tahun 1918 berubah menjadi Tolitoli, seperti yang terlihat dalam penulisan Korte verklaring yang di tandatangi Raja Haji Mohammad Ali dengan pemerintah Hindia Belanda, yang ketika itu ibukota kerajaan berpusat di Nalu.
Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah Bahasa Geiga. Bahasa ini menurut Ahli Bahasa
AC Kruyt dan DR Adriani termasuk dalam kelompok Bahasa Tomini, yang daerah sebarnya
antara Desa Towera didaerah Kabupaten Donggala sampai dengan Desa Molosipat
diperbatasan Gorontalo.
Akan tetapi banyak warga asli tolitoli yang mengklaim bahwa keturunan raja pada awalnya bernama Raja Datuamas.
Sepanjang sejarah yang diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang dibawa mubalig dari kesultanan ternate. Pada waktu itu masyarakat benar-benar merasakan keamanan dan ketentraman dalam wilayah kerajaan.
Sejak itu hubungan kerajaan Tolitoli dengan Kesultanan Ternate terjalin baik, hingga kerjaan Tolitoli masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Mulai saat itu Raja yang berkuasa di Tolitoli sudah di nobatkan di Ternate.
Salah satu Raja yang mendapat kehormatan untuk dilantik dan dinobatkan di ternateadalah Raja Imbaisug yang dengan kebesaran berlayar dengan perahu Banggakasaan menuju Ternate. Namun sayang sekali pada waktu kembali ke Tolitoli meninggal dalam perjalanan, kemudian dimakamkan di Tuweley.
Raja Imbaisug dan saudaranya Djamalul Alam dipilih bersama-sama di Ternate tahun 1773, dengan suatu ketentuan bahwa apabila Imbaisug meninggal dunia harus digantikan oleh Djamalul Alam.
Setelah pengakuan kerjaan Tolitoli terhadap kesultanan Ternate, pada saat itu pula untuk pertma kalinya raja dari kerajaan Tolitoli bergelar “ Tamadikanilantik “ yang untuk selanjutnya bergelar Sultan.
Kesultanan adalah suatu bentuk pemerintahan islam, maka dengan sindirinya kerajaan Tolitoli menjadi sebuah kerajaan islam dengan nama Kesultanan Tolitoli. Pada saat itu mulai terjadi perubahan hukum adat serta adat-istiadat lainnya yang kesemuanya disesuaikan denganajaranislam.
Disini Agama Islam yang mewarnai corak kehidupan masyarakat sekaligus sebagai sendi-sendi adatnya. Maka tidak mengherankan manakala unsur-unsur agama islam melatarbelakangi upacara-upacara tertentu, seperti upacara mandisafar, mauludan, khitanan, dan perkawinan.
Setelah Sultan Djamalul Alam mangkat, digantikan putra sulungnya: Sultan Mirfaka, Tetapi memerintah di wilayah Dondo. Untuk Tolitoli diserahkan kepada Putra Keduanya, Muhiddin yang tidak lagi bergelar Sultan,melainkan bergelar Raja yang diberi julukan Tau Dei Beanna.
Sesudah Raja Muhiddin mangkat digantikan Oleh Mohammad Yusuf Syaiful Muluk Muidjuddin, yang bergelar Malatuang ( artinya yang patut disembah ). Oleh rakyatnya diberi julukan Tau Dei Buntuna.Dengan demikian jelas bahwa sebelum bangsa belanda masuk wilayah ini, kerajaan Tolitoli sidah ada dan diperintah oleh seorang Raja yang disebut Gaukan.
Menurut sejarah Raja Mohammad Yusuf “Malatuang” Syaiful Muluk Muidjuddin adalah Raja yang sudah diadatkan oleh Rakyat jauh sebelum kedatangan bangsa belanda, karena tercatat masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1781-1812. Makamnya di Buntuna, Desa Tambun, Kecamatan Baolan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan yang diserahi tugas-tugas tertentu. Oleh karena pada waktu itu rakyat belum begitu banyak, maka perangkat kerajaan juga sangat sederhana.
Menurut cerita bahwa Raja Mohammad Yusuf Malatuang, pada masa pemerintahannya cukup arifbijaksana, sangat adil, serta cukup memperhatikan kehidupan rakyanya, sehingga walau Raja telah wafat, namanya tetap dikenang oleh Rakyat.
Pengagungan rakyat terhadap Raja, sampai sekarang masih terdengartuk Syair yang sering didendangkan oleh rakyat Tolitoli yang berbunyi :
"Sadang ilaeng Bona
Gaukan Dei Buntuna
Mau namo bukuna
Impong suang lipuna"
Yang artinya :
"Daun pohon Bona
Raja di Buntuna
Walaupun tinggal Tulangnya
Tetap diingat oleh isi negerinya"
Begitu banyak Raja yang menangani pemerintahan pada jamannya sehingga tidaklah mengherankan manakala rakyat menunjukkan rasa patuh terhadap Raja. Hari ini nampak terlihat bilamana rakyat berbicara tidak akan menyebut nama Raja tetapi mereka menggantinya dengan sebutan “KALANGAN” yang artinya mengandung pengertian sesuatu yang sangat di agungkan.
Selanjutnya sikap rakyat bilamana akan berjabat tangan dengan Raja maka mereka terlebih dahulu memegang kepalanya masing-masing sebagai suatu isyarat bahwa kepala adalah bagian tubuh yang dimuliakan manusia sehingga kaitannya begitu pulalah rasa kemuliaan mereka terhadap Raja.
Raja mohammad Yusuf Malatuang waktu itu berkedudukan di Kalangkangan pada tahun 1812. Raja ini mendirikan sebuah istana di kampung Nalu.istana itu kemudian di berinama BALE DAKO ( istana besar ) atau BALE MASIGI ( Istana yang puncaknya seperti kubah masjid ). Disinilah pusat kegiatan pelayaran kerajaan Tolitoli.
Kini bekas Istana Raja di kampung Nalu dekat Tolitoli itu hanya tinggal sebuah PUTUU ( Tiang Agung ) yang tetap berdiri sampai sekarang dekat sebuah pertigaan jalan.
Setelah Raja Malatuang mangkat maka pimpinan kerajaan diserahkan kepada putranya bernama BANTILAN SYAFIUDDIN di mana pada masa pemerintahan Raja inilah bangsa belanda masuk ke Kerajaan Tolitoli.
KEDATANGAN BANGSA BELANDA
1. Raja Bantilan Syafiuddin (1859-1867)
Menurut sejarah, orang belanda yang pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah kerajaan Tolitoli adalah Piet Broogh ditahun 1856 yang pada waktu itu Kerajaan Tolitoli telah dipegang oleh Raja Bantilan Syafiuddin yang sudah diangkat “Adat” oleh rakyatnya.
Pada umumnya Raja Bantilan Syafiuddin dalam menghadapi kedatangan Belanda senantiasa menunjukkan sikap tidak bersahabat karena pada dasarnya Raja merasa tidak rela atas kehadiran bangsa belanda dalam Kerajaannya sebab merasa akan mengadakan penjajahan terhadap rakyatnya.
Namun bujuk rayu Belanda terhadap Raja terus dilakukan dalam setiap kesempatan sehingga dua tahun kemudian Belanda berhasil menciptakan suasana bersahabat yang dilanjutkan dengan penandatanganan Lange Contract ( kontrak Panjang ), pada tanggal 5 juli 1858 antara Dirk Francois dari pihak Belanda dan Raja Bantilan Syafiuddin.
Dalam masa pemerintahan Raja Bantilan Syafiuddin ini, pemerintahan boleh dikatakan berjalan dengan baik sesuai dengan keadaan pada waktu itu. Rakyat dianjurkan untuk berladang dan menanam pohon kelapa.
Hubungan dagang dengan pihak luar sering juga terjadi walaupun hanya melalui / mempergunakan perahu layar yang datang dari makassar dan Ternate serta lain-lain daerah dengan maksud berdagang yang diselingi dengan pekerjaan dakwah menyebarkan agama Islam pada watu itu.
Raja Bantilan Syafiuddin setelah wafat dimakamkan di Pulau Lutungan yang dikenal dengan sebutan Lobong Tau Dei Tando Kanau artinya kuburan Orang di Tanjung PohonEnau. Hal ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu di pulau Lutungan yang terletak di depan kota Tolitoli, banyak sekali pohon Enau.
Menurut Hikayat yang ada, di saat jenazah almarhum Raja Bantilan Syafiuddin diusung dari Kampung Nali ke Pulau Lutungan maka seluruh perahu yang ada dalam Kawasan Kerajaan Tolitoli pada waktu itu dikerahkan untuk dijadikan jembatan penghubung dari kampung Nalu menuju kepulau Lutungan yang selanjutnya dimakamkan. Setelah Raja ini wafat maka tampuk pimpinan kerajaan diserahkan kepada puteranya yang tertua yakni Haji Abdul Hamid.
2. Raja Haji Abdul Hamid Bantilan (1869-1901)
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata urusan pemerintahan nampak semakin baik dan lancar. Petugas-petugas yang mengurusi kegiatan di Istana, yang mengurusi bidang ekonomi maupun yang mengurus pelabuhan kesemuanya melaksanakan pekerjaannya dengan rapi dan teratur sebagaimana yang diharapkan.
Kapal-kapal dagang sudah seringkali berlabuh dipelabuhan Tolitoli dan bahkan pada waktu itu sudah ada kapal dagang yang membuat trayek tetap antara Makassar-Donggala-Tolitoli dimanapara penumpang terdapat pula orang-orang Cina. Dalam sejarah tercatat bahwa orang Cina pertama masuk ke Wilayah Kerajaan Tolitoli bernama Hong Bie.
Setelah Raja Haji Abdul Hamid Bantilan wafat. Jenazahnya dimakamkan dipulau Lutungan berdampingan dengan makam ayahnya yakni Raja Bantilan Syafiuddin. Tampak pimpinan Kerajaan kemudian diserahkan kepada adiknya yakni Haji Ismail Bantilan.
3. Pemerintahan Raja Haji Ismail Bantilan (1908-1918)
Raja Haji Ismail Bantilan mulai memerintah kerajaan setelah menandatangi Korte Verklaring no.1 tgl 12 Februari 1908 dengan pihak belanda.
Raja Haji Ismail Bantilan dalam masa pemerintahannya dikenal dengan gelar TAU DEI BABO KASO artinya Orang diatas kasur. Meskipun telah menandatangi Korte Verklaring namun dalam sikapnya Raja ini selalu menunjukkan rasa tidak bersahabatnya dengan Belanda, sehingga terkenal sebagai raja yang keras dalam pendirian.
Hal ini terbukti dalam tahun 1911 Raja secara terang-terangan melawan belanda karena rakyatnya dipaksa bekerja heerendienst ( kerja rodi ) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Akibatnya Raja Haji Ismail Bantilan diinternir oleh belanda selama 6 tahun (enam) bulan di Donggala, namun akhirnya juga dikembalikan lagi ke Tolitoli.
4. Pemerintahan Raha Haji Muhammad Ali Bantilan (1918-1919)
Pada tahun 1917 seorang tokoh Sarekat Islam (SI) bernama Sastro Kardono sebagai utusan langsung H.O.S. Cokroaminoto datang ke Tolitoli untuk membentuk Ssarekat Islam dan sekaligus menetapkan Haji Mohammad Ali sebagai Presiden S.I. yang pertama.
Sementara itu dalam buku sejarah juga tercantum bahwa dalam tahun 1917 tokoh pejuang Abdul Muis juga berkunjung ke Tolitoli dan kunjungan inilah yang kemudian dikaitkan telah menyebabkan timbulnya pemberontakan di Salumpaga bulan juni 1919 yang dicatat sebagai pemberontakan Tolitoli. Sebetulnya pemberontakan di Salumpaga tersebut merupakan Klimaks dari pada antipati rakyat terhadap penjajah belanda.
Dengan diangkatnya Haji Mohammad Ali Bantilan sebagai Raja dan Juga sebagai
Presiden Sarekat Islam yang pertama, maka dengan sendirinya keanggotaan Sarekat Islam di kerajaan Tolitoli semakin tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Hal ini dapat dimaklumi karena yang menjadi Presiden Sarekat Islam adalah Raja yang sangat dipatuhi oleh rakyatnya.
5. Pemerintahan Raja Haji Mohammad Saleh Bantilan (1920-1922)
Setelah pemberontakan Salumpaga tahun 1919, maka selama kurang lebih satu tahun tidak pernah terdengar lagi Heerendients gemeentedients, istilah tersebut dianggap sangat berbahaya dan berbau politik. Namun, setelah Residen Menado F.J Kroon diganti oleh penggantinya yang baru J.R Logeman maka pekerjaan kerja paksa (kerja Rodi) itupun dimulai kembali.
Peristiwa Salumpaga merupakan salah satu kegigihan dan kepahlawanan dari bangsa kita untuk mengusir penjajah. Masuk dalam sejarah Nasional Indonesia dan terkenal dengan pemberontakan Tolitoli.
Hubungan dagang dengan daerah-daerah lain semakin maju karena pelabuhan Tolitoli sering disinggahi kapal-kapal besar sehingga tidak mengherankan bila pada waktu itu mulai berdatangan suku-suku bangsa yang lain, seperti Bugis, Manado, Sangir, Jawa, dan tak ketinggalan Orang-orang Cina dengan maksud untuk berdagang.
B. KEDATANGAN BANGSA JEPANG
Menjelang kedatangan tentara jepang ke indonesia , saat itu di Tolitoli ditempatkan satu Kompi Tentara Belanda dibawah Pimpinan Letnan HAERBERTS. Penempatan tentara Belanda waktu itu karena Tolitoli dinilai sebagai daerah yang berbahaya yang harus diperintah oleh Militer sehubungan dengan kejadian/peristiwa SALUMPAGA yang menewaskan Controleur belanda.
Dan itu pula sebabnya selain sebagai Komandan Tentara Letnan Haerberts juga sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Sipil (GEZAGHEBBER-tahun1940 sampai dengan akhir tahun 1941).
Ketika jepang mulai menggempur Pearl Harbour di Hawai, maka pihak Belanda siap-siap untuk menghadapi Tentara jepang. Konsolidasi pasukan mulai dilakukan, demikian juga yang ada di Tolitolidikonsolidasikan di Poso di bawah Pimpinan Kapten DE JONG. Oleh karena itu pengamanan di Tolitoli diserahkan kepada satu peleton Polisi dibawah Pimpinan Inspektur BOERTJE.
Ketika tentara jepang mulai membanjir ke daerah selatan, maka pemerintah Hindia Belanda mulai Kalang kabut sehingga kehilangan Koordinasi dengan daerah-daerah.Demikian juga di Tolitoli, pihak polisi di Tolitoli sendiri waktu itu telah mulai banyak bergaul dengan tokoh-tokoh politik terutama dari partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Karena melihat situasi makin tidak menentu , sedangkan perasaan anti Belanda masih membara , maka beberapa anggota polisi merencanakan mengadakan kudeta terhadap pimpinannya yang mencapai klimaksnya pada tanggal 25 januari 1942. Inspektur Boertje terbunuh sementara Controleur BRUKEL di Tolitoli dan Controleur de Vries dari Leok/Buol ditahan dirumah Controleur Tolitoli (rumah kediaman Bupati Kepala Daerah yang sekarang).
Namun rupanya kudeta tersebut kurang terencana sehingga dua orang dari sembilan orang polisi yang membentrok itu melarikan diri ke Palu dan melaporkan kejadian tersebut kepada Letnan Haerberts yang kebetulan masih ada di Palu. Keadaan rakyat maupun pemerintahan di Tolitoli makin kacau sementara berita tentang segera mendaratnya pasukan jepang makin Senter.
Sehingga bisa dimaklumi pihak polisi yang ada tidak lagi memikirkan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum namun berpikir bagaimana menyelamatkan diri sendiri seaman mingkin andaikata ada serangan balasan dari pihak belanda atau kalau tentara jepang mendarat.
Pada tanggal 18 Februari 1942, akibat laporan dua Polisi yang melarikan diri dari Tolitoli, satu regu tentara belanda dibawah pimpinan Letnan Haerberts dan Sersan Welingga mendarat di pantai Kalangkangan. Dengan berjalan kaki ,mereka ini menuju ke Tolitoli.
Polisi-polisi yang melakukan Kudeta yang berada di Tolitoli setelah mendengar ada pendaratan di kalangkangan, mereka kabur sendiri-sendiri menyelamatkan diri di kaki-kaki Gunung Tuweley. Tapi kedua pimpinan mereka yakni AWUy dan WAANI dengan mengendarai se buah jeep menuju ke kalangkangan.
Ditengah perjalanan yakni di KM-3 kedua polisi tersebut bertemu dengan tentara Belanda dan terjadi tembak-menembak.Jeep kena tembak bannya, sementara Awuy terus lari menuju Buol sedangkan Waani lari kebukit-bukit di atas kampung Sidoarjo sekarang. Malam itu juga pasukan Belanda masuk ke kota Tolitoli dan seminggu kemudian polisi-polisi yang memberontak itu tertangkap semuanya, kecuali dua orang yakni J.Habibie dan Kamal yang dapat melarikan diri ke Gorontalo.
Waani, piring, Languyu, Supandi, Mokalu, Siswoyo dihukum mati di Gunung panasakan sedangkan Awuy yang tertangkap di Buol divonis di tempat tersebut. Tahun 1964 tulang-tulang atau kerangka jenazah mereka diangkat dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan.
Setelah dirasa aman, pasukan belanda itu kembali lagi ke Palu dengan membawa
dua orang Controleur yang semula disekap di Tolitoli. Keaman diserahkan kembali kepada
polisi yang masih setia kepada belanda yang dibawah Koordinasi Waarnemend Matata Daeng Masese.
Gerakan dari para polisi yang melakukan Kudeta itu ternyata mendapat simpati massa.
PEMBERONTAKAN MALOMBA
Pejabat pemerintahan Jepang di Tolitoli waktu itu dipegang oleh Imaki Ken Kanrikan. Kemudian awal bulan Juli 1945 seorang rakyat bernama TANTONG MADAYUNI menyebarkan berita dari Tarakan Kalimantan bahwa Jepang sudah bertekuk Lutut yang berarti sudah tidak berkuasa lagi di Indonesia.
Walaupun jepang masih kuat dan berkuasa di Tolitoli, namun karena jepang telah bertekuklutut pada sekutu, Tantong Madayuni bersama kawan-kawannya mencoba merencanakan pemberontakan terhadap jepang. Gerakan dibawah Tanah ini mendapat sambutan dari kepala kampung setempat yang bernama Lagorodi.
Gerakan ini mulai mengadakan aksinya antara lain mencoba menangkap polisi jepang yang sedang bertugas di Malomba yaitu Jos Paslah, Kere dan Manoppo. Dari ketiga orang polisi jepang tersebut Jos Paslah sempat diikat namun berhasil melarikan diri ke Tolitoli dan melaporkan kejadian tersebut Kepada Imaki Ken kanrikan. Adapun Manoppo melarikan diri ke tarakan sedang Kere lari ke jurusan Bambapula tapi akhirnya mati dibunuh oleh rakyat di sana.
Sesudah ada laporan tentang peristiwa tersebut pihak jepang segera menyiapkan rombongan ke malomba, yang terdiri dari : Imaki Ken Kanrikan, Raja Haji Mohammad Saleh Bantilan, Kepala Polisi Jepang, Buco Makalo, serta beberapa anggota polisi jepang. Rombongan ini naik perahu dan turun di Malala kemudian ke Tinabogan. Dari Tinabogan rombongan jepang tersebut bersama-sama kepala Distrik Selatan Haji Ibrahim Nangga menuju kampung Malomba.
Setelah sampai di malomba rombongan tersebut langsung berhadap-hadapan dengan para pemberontak yang pada saat itu belum ada tanda-tanda melakukan gerakan karena telah diisyaratkan oleh raja supaya rakyat tetap berada ditempat masing-masing.
Namun karena Buco Makalo melepaskan tembakan keatas sebagai isyarat aman, namun hal itu dianggapi lain oleh rakyat, terjadi salah paham, sehingga langsung menyebabkan pertumpahan darah dengan terbunuhnya Imaki Ken Kanrikan oleh pemberontak yang bernama Lanoni.
Pristiwa Malomba ini terjadi pada tanggal 18 juli 1945, yakni sebelum indonesiamenyatakan kemerdekaanya. Dalam pemberontakan ini tantong Madayuni sempat melarikan diri sedangkan kawan-kawannya yang tertangkap langsung dibawa Ke Tolitoli dimana mereka sekitar 13 orang mati di kaki Gunung panasakan di Tolitoli.
Pihak jepang memang mengerahkan seluruh kekuatannya baik yangpolisimaupun militer, semua kekuatan yang ada di Tolitoli dikerahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Peristiwa Malomba maupun dihukum matinya pahlawan-pahlawan kemerdekaan itu oleh pihak jepang, bukannya menjadikan rakyat takut, tapi malahan kebalikannya justru rakyat semakin berani mengadakan gerakan dibawah tanah yang apada akhirnya jepang yang masih ada sempat mereka penjarakan di Tolitoli. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945 secara berangsunr-angsur orang-orang jepang tersebut meninggalkan Tolitoli.
Seperti diketahui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak begitu berpengaruh ataukedengaran di Tolitoli karena waktu itu jepang masih menyembunyikan persoalan tersebut sementara tentara jepang sendiri secara berangsur-angsur diangkut oleh kapal-kapalnya yang tersisa ke temapt-tempat yang strategis untuk selanjutnya menuju ke jepang atau ketempat dimana ada induk pasukannya.
Sisanya yang tidak sempat diangkut segera mencari tempat persembuyian sendiri seperti satuan tentara jepang dibawah Tanaka yang bersembunyi di Hulu Sungai Buol yang disebut Air Terang.
SETELAH INDONESIA MERDEKA.
Tepat satu bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, di daerah Tolitoli terjadi pemberontakan rakyat Malomba yang merupakan salah satu dari diantara sekian banyak gerakan perlawanan rakyat yang terjadi di persada Tanah Air Indonesia dalam masa-masa perjuangan mendobrak pintu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Setelah Bangsa Indonesia Mencanagkan Kemerdekaanya, maka rakyat di daerah ini telah mengibarkan berndera Sang Saka Merah Putih. Namun dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya kelihatan bahwa penjajah belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia yang terbukti pada tahun 1946 kembali memasuki wilayah Tolitoli sehingga disambut dengan perlawanan rakyat, tetapi pada akhirnya pihak belanda berhasil juga menguasai daerah ini yang selanjutnya mereka membentuk pemerintahan NICA (Nederlandsch Indische Civiel Administratie ).
Dalam tahun 1964 itu pemerintah belanda dari Morotai di daerah Maluku Utara, dengan melalui tarakan di Kalimantan Timur telah mengirimkan satu pasukan militer dibawah pimpinan Letnan de Vree datang ke Tolitoli. Mereka ini menjajagi keamanan di daerah inidengan maksud untuk mengatur kembali siasat politik Belanda yang akan membagi-bagi indonesia dalam beberapa negara bagian dimana Tolitoli masuk dalam wilayah Negara Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar.
Letnan de Vree hanya sempat tinggal selama 3 bulan menjalankan tugasnya. Namun kepergiannya juga ditandai dengan penemoatan Controleur de Claus yang memegang tampuk pemerintahan di Tolitoli tahun 1946-1948, dan Bestuurs Asisten waktu itu depegang oleh Rajawali Muhammad Pusadan, sedangkan kepala polisinya Vince ( bacanya Vinke ). Selanjutnya Controleur de Klausdiganti oleh de Kleer tahun 1948 sampai penyerahan kedaulatan 27 desember 1949.
Walaupun status daerah Swapraja masih tetap diakui namun Raja Haji Muhammad Saleh Bantilansudah dalam keadaan istirahat sehingga pelaksanaan pemerintahan kerajaan yang disebut “KomisiPemerintahan Swapraja” sudah dirangkap oleh setiap pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda pada waktu itu.
Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah belanda menempatkan pejabat di daerah ini dengan sebutan “Hoofd van Plaatselijke Bestuur” (HPB) yang untuk pertama kalinya dijabat oleh Rajawali Muhammad Pusadan. Sesudah itu jabatan HPB tersebut diserahkan lagi kepada Abdul Rahman Nento dimana saat itu terjadi satu peristiwa yang disebut Gerakan Pemuda yang dipimpin oleh Andi Cabambang dan Beddurangan.
Gerakan pemuda tersebut dimulai dari Soni (Kecamatan Dampal Selatan) yang mengorganisir para pemuda serta menangkapi polisi NICA di Dampal. Begitu digerakkan gerakan ini berhasil merebut senjata dari tangan polisi belanda dan mengambil perahu-perahu tangkapan yaitu perahu yang ditangkap karena
menyelundupkan kopra di Pilipina, Tawao dan lain-lain.
Kemudian sekelompok tokoh pemuda yang berasal dari kota Tolitoli ikut menggabungkan diri kedalam Gerakan Pemuda sehingga kalau dahulu Gerakan Pemuda tersebut belum jelas apa maksud dan tujuannya. Kini menjdi gerakan Pemuda yang benar-benar membantu Pemerintah dalam wilayah ini. Dengan demikian tidak terjadi gangguan keamanan sehingga jalannya pemerintahan berjalan dengan cukup baik.
Dengan mampirnya pasukan H.V. Worang (bekas Gubernur Sulawesi Utara), maka senjata yang direbut oleh Gerakan Pemuda diambil oleh pihak yang berwajib dan dengan demikian secara otomatis Gerakan Pemuda mengakhiri kegiatannya waktu itu. Walau telah usai, Gerakan Pemuda tersebut nyata-nyata telah banyak jasanya di dalam ikut menumbuhkan situasi sedemikian rupa sehingga pemerintah dapat menjalankan tugas sebagai mana mestinya.
Selanjutnya pasukan Worang ini digantikan oleh tentara SUMU ( Sulawesi Utara Maluku Utara ). Awal tahun 1950 datang dari Menado sepasukan tentara yang dipimpin oleh kapten Mogot dan Letnan Manase dari kesatuan Branjangan. Mereka datang untuk pengamanan daerah Tolitoli , ikut mengatur susunan pemerintahan, menghentikan kegiatan-kegiatan yang mengacaukan masyarakat, memilih pemuda-pemuda yang berbakat untuk dijadikan tentara antara lain yang terpilih adalah Bathin (almarhum) dan Ismail Mailili(Mayor Purnawirawan dan Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo).
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), maka pemerintahan wilayah ini dipegang oleh Negara Indonesia Timur (NIT) sehingga pejabat yang berwenang memegang wilayah ini menjadi kepala pemerintahan Negeri (KPN).
Pada awal tahun 1951 kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli yang tadinya dijabat oleh A.R. Nento diganti oleh Daeng Maraja Lamakarate. Kepala polisisnya pun diganti yakni sesudah kekuasaan pemuda diambil kembali oleh pemerintah maka datanglah seorang kepala polisi yang bernama Sitanala dan pasukan tentara pun bertukar lagi yaitu dari pasukan Branjangan diganti oleh pasukan Bdaka Hitam yang dipimpin oleh Letnan Mukmin Moito.
Dengan adanya pemerintahan yang makin teratur makin teratur pula kegiatan pemerintahan di daerah ini. Pada tahun 1953 kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli dari Daeng Maraja Lamakarate digantikan oleh jafar Lapasere, kamudian Muhammad Kasim Razak dan terakhir Andi Mohammad Tahir.Setelah ini berturut-turut yang ,menduduki jabatan kepala Pemerintahan Negeri antara lain dijabat oleh Andi Musa, Andi Moh.Ali,A.M.Jotolembah dan Malaga B.A
Raja Haji Muhammad Saleh Bantilan wafat pada tahun 1956 di Tolitoli dan dimakamkan di Nalu dalam satu kompleks dengan makam ayahandanya yakni Raja Haji Ismail Bantilan serta kakaknya yakni Raja Haji Muhammad Ali Bantilan.
Oleh karena pada waktu itu secara formal belum ada penghapusan Daerah Swapraja. Maka setahun stelah Raja Haji Muhammad Saleh Bantilan wafat yakni pada tanggal 12 desember 1957 diumumkan oleh kepala pemerintahan Negeri Tolitoli Andi Muhammad Tahir bahwa Mohammad Yahya Bantilan sudah diangkat menjadi Kelala Swapraja Tolitoli serta duduk sebagai Anggota DPD.
Gubernur Militer Sulawesi Utara, Yang pada saat itu M.Y.Bantilan tersebut sudah menjabat sebagai Wakil Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli.
Akhirnya pada tanggal 21 Desember 1957 Mohammad Yahya Bantilan diupacarakan secara adat oleh rakyat Tolitoli sebagai Raja. Kemudian secara resmi tanggal 1 Juni 1958 dikeluarkan pengumuman No. 6/1958 yang ditujukan kepada semua instansi Pemerintah serta seluruh Masyarakat bahwa Pemerintahan Swapraja diserahkan kepada M.Y.Bantilan untuk mengkoordinir keswaprajaan di Tolitoli.
Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli yang ditanda-tangi langsung oleh Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli Andi Muhammad Tahir dan Kepala Polisi wilayah J.F.Papilaya.
Setahun kemudian secara resmi Daerah Swapraja dihapuskan dan statusnya berubah menjadi Kewedanan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Donggala. Dan beberapa saat kemudian Keluarlah Undang-Undang No.29 tahun 1959 tanggal 31 Oktober 1959 yang menetapkan wilayah Tolitoli dan wilayah Buol menjadi satu yakni Kabupaten Buol Tolitoli.
Sumber : http://fruixerup.blogspot.com/2012/10/makalah-asal-usul-tolitoli.html?m=1
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.079,6 km² dan berpenduduk sebanyak 225.875 Jiwa (2017). Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Toli-Toli, pada tahun 2000 berdasarkan UU No. 51 Tahun 1999, daerah ini dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai kabupaten indukdan Kabupaten Buol sebagai kabupaten hasil pemekaran.
ASAL USUL KABUPATEN TOLI-TOLI
Mengenai asal usul nama Tolitoli, menurut legenda, berasal dari kata Totolu yang artinya tiga. Maksudnya, suku bangsa Tolitoli berasal dari 3 manusia kayangan yang menjelma ke bumi ini masing-masing melalui: Olisan Bulan (bambu Emas), Bumbung Lanjat (puncak pohon Langsat), dan Ue saka (sejenis Rotan). Yang menjelma Olisan Bulan di Kenal sebagai Tau Dei Baolan atau Tamadika Baolan.
Sepanjang sejarah yang diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang dibawa mubalig dari kesultanan ternate.
Kemudian nama Totolu ( Tau Tolu ) berubah menjadi Tontoli sebagaimana yang tertulis dalam Lange-Contrack 5 juli 1858 yang ditandatangani antara Dirk Francois dari pihak belanda dengan Raja Bantilan Syafiuddin. Tahun 1918 berubah menjadi Tolitoli, seperti yang terlihat dalam penulisan Korte verklaring yang di tandatangi Raja Haji Mohammad Ali dengan pemerintah Hindia Belanda, yang ketika itu ibukota kerajaan berpusat di Nalu.
Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah Bahasa Geiga. Bahasa ini menurut Ahli Bahasa
AC Kruyt dan DR Adriani termasuk dalam kelompok Bahasa Tomini, yang daerah sebarnya
antara Desa Towera didaerah Kabupaten Donggala sampai dengan Desa Molosipat
diperbatasan Gorontalo.
Akan tetapi banyak warga asli tolitoli yang mengklaim bahwa keturunan raja pada awalnya bernama Raja Datuamas.
Sepanjang sejarah yang diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang dibawa mubalig dari kesultanan ternate. Pada waktu itu masyarakat benar-benar merasakan keamanan dan ketentraman dalam wilayah kerajaan.
Sejak itu hubungan kerajaan Tolitoli dengan Kesultanan Ternate terjalin baik, hingga kerjaan Tolitoli masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Mulai saat itu Raja yang berkuasa di Tolitoli sudah di nobatkan di Ternate.
Salah satu Raja yang mendapat kehormatan untuk dilantik dan dinobatkan di ternateadalah Raja Imbaisug yang dengan kebesaran berlayar dengan perahu Banggakasaan menuju Ternate. Namun sayang sekali pada waktu kembali ke Tolitoli meninggal dalam perjalanan, kemudian dimakamkan di Tuweley.
Raja Imbaisug dan saudaranya Djamalul Alam dipilih bersama-sama di Ternate tahun 1773, dengan suatu ketentuan bahwa apabila Imbaisug meninggal dunia harus digantikan oleh Djamalul Alam.
Setelah pengakuan kerjaan Tolitoli terhadap kesultanan Ternate, pada saat itu pula untuk pertma kalinya raja dari kerajaan Tolitoli bergelar “ Tamadikanilantik “ yang untuk selanjutnya bergelar Sultan.
Kesultanan adalah suatu bentuk pemerintahan islam, maka dengan sindirinya kerajaan Tolitoli menjadi sebuah kerajaan islam dengan nama Kesultanan Tolitoli. Pada saat itu mulai terjadi perubahan hukum adat serta adat-istiadat lainnya yang kesemuanya disesuaikan denganajaranislam.
Disini Agama Islam yang mewarnai corak kehidupan masyarakat sekaligus sebagai sendi-sendi adatnya. Maka tidak mengherankan manakala unsur-unsur agama islam melatarbelakangi upacara-upacara tertentu, seperti upacara mandisafar, mauludan, khitanan, dan perkawinan.
Setelah Sultan Djamalul Alam mangkat, digantikan putra sulungnya: Sultan Mirfaka, Tetapi memerintah di wilayah Dondo. Untuk Tolitoli diserahkan kepada Putra Keduanya, Muhiddin yang tidak lagi bergelar Sultan,melainkan bergelar Raja yang diberi julukan Tau Dei Beanna.
Sesudah Raja Muhiddin mangkat digantikan Oleh Mohammad Yusuf Syaiful Muluk Muidjuddin, yang bergelar Malatuang ( artinya yang patut disembah ). Oleh rakyatnya diberi julukan Tau Dei Buntuna.Dengan demikian jelas bahwa sebelum bangsa belanda masuk wilayah ini, kerajaan Tolitoli sidah ada dan diperintah oleh seorang Raja yang disebut Gaukan.
Menurut sejarah Raja Mohammad Yusuf “Malatuang” Syaiful Muluk Muidjuddin adalah Raja yang sudah diadatkan oleh Rakyat jauh sebelum kedatangan bangsa belanda, karena tercatat masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1781-1812. Makamnya di Buntuna, Desa Tambun, Kecamatan Baolan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan yang diserahi tugas-tugas tertentu. Oleh karena pada waktu itu rakyat belum begitu banyak, maka perangkat kerajaan juga sangat sederhana.
Menurut cerita bahwa Raja Mohammad Yusuf Malatuang, pada masa pemerintahannya cukup arifbijaksana, sangat adil, serta cukup memperhatikan kehidupan rakyanya, sehingga walau Raja telah wafat, namanya tetap dikenang oleh Rakyat.
Pengagungan rakyat terhadap Raja, sampai sekarang masih terdengartuk Syair yang sering didendangkan oleh rakyat Tolitoli yang berbunyi :
"Sadang ilaeng Bona
Gaukan Dei Buntuna
Mau namo bukuna
Impong suang lipuna"
Yang artinya :
"Daun pohon Bona
Raja di Buntuna
Walaupun tinggal Tulangnya
Tetap diingat oleh isi negerinya"
Begitu banyak Raja yang menangani pemerintahan pada jamannya sehingga tidaklah mengherankan manakala rakyat menunjukkan rasa patuh terhadap Raja. Hari ini nampak terlihat bilamana rakyat berbicara tidak akan menyebut nama Raja tetapi mereka menggantinya dengan sebutan “KALANGAN” yang artinya mengandung pengertian sesuatu yang sangat di agungkan.
Selanjutnya sikap rakyat bilamana akan berjabat tangan dengan Raja maka mereka terlebih dahulu memegang kepalanya masing-masing sebagai suatu isyarat bahwa kepala adalah bagian tubuh yang dimuliakan manusia sehingga kaitannya begitu pulalah rasa kemuliaan mereka terhadap Raja.
Raja mohammad Yusuf Malatuang waktu itu berkedudukan di Kalangkangan pada tahun 1812. Raja ini mendirikan sebuah istana di kampung Nalu.istana itu kemudian di berinama BALE DAKO ( istana besar ) atau BALE MASIGI ( Istana yang puncaknya seperti kubah masjid ). Disinilah pusat kegiatan pelayaran kerajaan Tolitoli.
Kini bekas Istana Raja di kampung Nalu dekat Tolitoli itu hanya tinggal sebuah PUTUU ( Tiang Agung ) yang tetap berdiri sampai sekarang dekat sebuah pertigaan jalan.
Setelah Raja Malatuang mangkat maka pimpinan kerajaan diserahkan kepada putranya bernama BANTILAN SYAFIUDDIN di mana pada masa pemerintahan Raja inilah bangsa belanda masuk ke Kerajaan Tolitoli.
KEDATANGAN BANGSA BELANDA
1. Raja Bantilan Syafiuddin (1859-1867)
Menurut sejarah, orang belanda yang pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah kerajaan Tolitoli adalah Piet Broogh ditahun 1856 yang pada waktu itu Kerajaan Tolitoli telah dipegang oleh Raja Bantilan Syafiuddin yang sudah diangkat “Adat” oleh rakyatnya.
Pada umumnya Raja Bantilan Syafiuddin dalam menghadapi kedatangan Belanda senantiasa menunjukkan sikap tidak bersahabat karena pada dasarnya Raja merasa tidak rela atas kehadiran bangsa belanda dalam Kerajaannya sebab merasa akan mengadakan penjajahan terhadap rakyatnya.
Namun bujuk rayu Belanda terhadap Raja terus dilakukan dalam setiap kesempatan sehingga dua tahun kemudian Belanda berhasil menciptakan suasana bersahabat yang dilanjutkan dengan penandatanganan Lange Contract ( kontrak Panjang ), pada tanggal 5 juli 1858 antara Dirk Francois dari pihak Belanda dan Raja Bantilan Syafiuddin.
Dalam masa pemerintahan Raja Bantilan Syafiuddin ini, pemerintahan boleh dikatakan berjalan dengan baik sesuai dengan keadaan pada waktu itu. Rakyat dianjurkan untuk berladang dan menanam pohon kelapa.
Hubungan dagang dengan pihak luar sering juga terjadi walaupun hanya melalui / mempergunakan perahu layar yang datang dari makassar dan Ternate serta lain-lain daerah dengan maksud berdagang yang diselingi dengan pekerjaan dakwah menyebarkan agama Islam pada watu itu.
Raja Bantilan Syafiuddin setelah wafat dimakamkan di Pulau Lutungan yang dikenal dengan sebutan Lobong Tau Dei Tando Kanau artinya kuburan Orang di Tanjung PohonEnau. Hal ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu di pulau Lutungan yang terletak di depan kota Tolitoli, banyak sekali pohon Enau.
Menurut Hikayat yang ada, di saat jenazah almarhum Raja Bantilan Syafiuddin diusung dari Kampung Nali ke Pulau Lutungan maka seluruh perahu yang ada dalam Kawasan Kerajaan Tolitoli pada waktu itu dikerahkan untuk dijadikan jembatan penghubung dari kampung Nalu menuju kepulau Lutungan yang selanjutnya dimakamkan. Setelah Raja ini wafat maka tampuk pimpinan kerajaan diserahkan kepada puteranya yang tertua yakni Haji Abdul Hamid.
2. Raja Haji Abdul Hamid Bantilan (1869-1901)
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata urusan pemerintahan nampak semakin baik dan lancar. Petugas-petugas yang mengurusi kegiatan di Istana, yang mengurusi bidang ekonomi maupun yang mengurus pelabuhan kesemuanya melaksanakan pekerjaannya dengan rapi dan teratur sebagaimana yang diharapkan.
Kapal-kapal dagang sudah seringkali berlabuh dipelabuhan Tolitoli dan bahkan pada waktu itu sudah ada kapal dagang yang membuat trayek tetap antara Makassar-Donggala-Tolitoli dimanapara penumpang terdapat pula orang-orang Cina. Dalam sejarah tercatat bahwa orang Cina pertama masuk ke Wilayah Kerajaan Tolitoli bernama Hong Bie.
Setelah Raja Haji Abdul Hamid Bantilan wafat. Jenazahnya dimakamkan dipulau Lutungan berdampingan dengan makam ayahnya yakni Raja Bantilan Syafiuddin. Tampak pimpinan Kerajaan kemudian diserahkan kepada adiknya yakni Haji Ismail Bantilan.
3. Pemerintahan Raja Haji Ismail Bantilan (1908-1918)
Raja Haji Ismail Bantilan mulai memerintah kerajaan setelah menandatangi Korte Verklaring no.1 tgl 12 Februari 1908 dengan pihak belanda.
Raja Haji Ismail Bantilan dalam masa pemerintahannya dikenal dengan gelar TAU DEI BABO KASO artinya Orang diatas kasur. Meskipun telah menandatangi Korte Verklaring namun dalam sikapnya Raja ini selalu menunjukkan rasa tidak bersahabatnya dengan Belanda, sehingga terkenal sebagai raja yang keras dalam pendirian.
Hal ini terbukti dalam tahun 1911 Raja secara terang-terangan melawan belanda karena rakyatnya dipaksa bekerja heerendienst ( kerja rodi ) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Akibatnya Raja Haji Ismail Bantilan diinternir oleh belanda selama 6 tahun (enam) bulan di Donggala, namun akhirnya juga dikembalikan lagi ke Tolitoli.
4. Pemerintahan Raha Haji Muhammad Ali Bantilan (1918-1919)
Pada tahun 1917 seorang tokoh Sarekat Islam (SI) bernama Sastro Kardono sebagai utusan langsung H.O.S. Cokroaminoto datang ke Tolitoli untuk membentuk Ssarekat Islam dan sekaligus menetapkan Haji Mohammad Ali sebagai Presiden S.I. yang pertama.
Sementara itu dalam buku sejarah juga tercantum bahwa dalam tahun 1917 tokoh pejuang Abdul Muis juga berkunjung ke Tolitoli dan kunjungan inilah yang kemudian dikaitkan telah menyebabkan timbulnya pemberontakan di Salumpaga bulan juni 1919 yang dicatat sebagai pemberontakan Tolitoli. Sebetulnya pemberontakan di Salumpaga tersebut merupakan Klimaks dari pada antipati rakyat terhadap penjajah belanda.
Dengan diangkatnya Haji Mohammad Ali Bantilan sebagai Raja dan Juga sebagai
Presiden Sarekat Islam yang pertama, maka dengan sendirinya keanggotaan Sarekat Islam di kerajaan Tolitoli semakin tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Hal ini dapat dimaklumi karena yang menjadi Presiden Sarekat Islam adalah Raja yang sangat dipatuhi oleh rakyatnya.
5. Pemerintahan Raja Haji Mohammad Saleh Bantilan (1920-1922)
Setelah pemberontakan Salumpaga tahun 1919, maka selama kurang lebih satu tahun tidak pernah terdengar lagi Heerendients gemeentedients, istilah tersebut dianggap sangat berbahaya dan berbau politik. Namun, setelah Residen Menado F.J Kroon diganti oleh penggantinya yang baru J.R Logeman maka pekerjaan kerja paksa (kerja Rodi) itupun dimulai kembali.
Peristiwa Salumpaga merupakan salah satu kegigihan dan kepahlawanan dari bangsa kita untuk mengusir penjajah. Masuk dalam sejarah Nasional Indonesia dan terkenal dengan pemberontakan Tolitoli.
Hubungan dagang dengan daerah-daerah lain semakin maju karena pelabuhan Tolitoli sering disinggahi kapal-kapal besar sehingga tidak mengherankan bila pada waktu itu mulai berdatangan suku-suku bangsa yang lain, seperti Bugis, Manado, Sangir, Jawa, dan tak ketinggalan Orang-orang Cina dengan maksud untuk berdagang.
B. KEDATANGAN BANGSA JEPANG
Menjelang kedatangan tentara jepang ke indonesia , saat itu di Tolitoli ditempatkan satu Kompi Tentara Belanda dibawah Pimpinan Letnan HAERBERTS. Penempatan tentara Belanda waktu itu karena Tolitoli dinilai sebagai daerah yang berbahaya yang harus diperintah oleh Militer sehubungan dengan kejadian/peristiwa SALUMPAGA yang menewaskan Controleur belanda.
Dan itu pula sebabnya selain sebagai Komandan Tentara Letnan Haerberts juga sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Sipil (GEZAGHEBBER-tahun1940 sampai dengan akhir tahun 1941).
Ketika jepang mulai menggempur Pearl Harbour di Hawai, maka pihak Belanda siap-siap untuk menghadapi Tentara jepang. Konsolidasi pasukan mulai dilakukan, demikian juga yang ada di Tolitolidikonsolidasikan di Poso di bawah Pimpinan Kapten DE JONG. Oleh karena itu pengamanan di Tolitoli diserahkan kepada satu peleton Polisi dibawah Pimpinan Inspektur BOERTJE.
Ketika tentara jepang mulai membanjir ke daerah selatan, maka pemerintah Hindia Belanda mulai Kalang kabut sehingga kehilangan Koordinasi dengan daerah-daerah.Demikian juga di Tolitoli, pihak polisi di Tolitoli sendiri waktu itu telah mulai banyak bergaul dengan tokoh-tokoh politik terutama dari partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Karena melihat situasi makin tidak menentu , sedangkan perasaan anti Belanda masih membara , maka beberapa anggota polisi merencanakan mengadakan kudeta terhadap pimpinannya yang mencapai klimaksnya pada tanggal 25 januari 1942. Inspektur Boertje terbunuh sementara Controleur BRUKEL di Tolitoli dan Controleur de Vries dari Leok/Buol ditahan dirumah Controleur Tolitoli (rumah kediaman Bupati Kepala Daerah yang sekarang).
Namun rupanya kudeta tersebut kurang terencana sehingga dua orang dari sembilan orang polisi yang membentrok itu melarikan diri ke Palu dan melaporkan kejadian tersebut kepada Letnan Haerberts yang kebetulan masih ada di Palu. Keadaan rakyat maupun pemerintahan di Tolitoli makin kacau sementara berita tentang segera mendaratnya pasukan jepang makin Senter.
Sehingga bisa dimaklumi pihak polisi yang ada tidak lagi memikirkan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum namun berpikir bagaimana menyelamatkan diri sendiri seaman mingkin andaikata ada serangan balasan dari pihak belanda atau kalau tentara jepang mendarat.
Pada tanggal 18 Februari 1942, akibat laporan dua Polisi yang melarikan diri dari Tolitoli, satu regu tentara belanda dibawah pimpinan Letnan Haerberts dan Sersan Welingga mendarat di pantai Kalangkangan. Dengan berjalan kaki ,mereka ini menuju ke Tolitoli.
Polisi-polisi yang melakukan Kudeta yang berada di Tolitoli setelah mendengar ada pendaratan di kalangkangan, mereka kabur sendiri-sendiri menyelamatkan diri di kaki-kaki Gunung Tuweley. Tapi kedua pimpinan mereka yakni AWUy dan WAANI dengan mengendarai se buah jeep menuju ke kalangkangan.
Ditengah perjalanan yakni di KM-3 kedua polisi tersebut bertemu dengan tentara Belanda dan terjadi tembak-menembak.Jeep kena tembak bannya, sementara Awuy terus lari menuju Buol sedangkan Waani lari kebukit-bukit di atas kampung Sidoarjo sekarang. Malam itu juga pasukan Belanda masuk ke kota Tolitoli dan seminggu kemudian polisi-polisi yang memberontak itu tertangkap semuanya, kecuali dua orang yakni J.Habibie dan Kamal yang dapat melarikan diri ke Gorontalo.
Waani, piring, Languyu, Supandi, Mokalu, Siswoyo dihukum mati di Gunung panasakan sedangkan Awuy yang tertangkap di Buol divonis di tempat tersebut. Tahun 1964 tulang-tulang atau kerangka jenazah mereka diangkat dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan.
Setelah dirasa aman, pasukan belanda itu kembali lagi ke Palu dengan membawa
dua orang Controleur yang semula disekap di Tolitoli. Keaman diserahkan kembali kepada
polisi yang masih setia kepada belanda yang dibawah Koordinasi Waarnemend Matata Daeng Masese.
Gerakan dari para polisi yang melakukan Kudeta itu ternyata mendapat simpati massa.
PEMBERONTAKAN MALOMBA
Pejabat pemerintahan Jepang di Tolitoli waktu itu dipegang oleh Imaki Ken Kanrikan. Kemudian awal bulan Juli 1945 seorang rakyat bernama TANTONG MADAYUNI menyebarkan berita dari Tarakan Kalimantan bahwa Jepang sudah bertekuk Lutut yang berarti sudah tidak berkuasa lagi di Indonesia.
Walaupun jepang masih kuat dan berkuasa di Tolitoli, namun karena jepang telah bertekuklutut pada sekutu, Tantong Madayuni bersama kawan-kawannya mencoba merencanakan pemberontakan terhadap jepang. Gerakan dibawah Tanah ini mendapat sambutan dari kepala kampung setempat yang bernama Lagorodi.
Gerakan ini mulai mengadakan aksinya antara lain mencoba menangkap polisi jepang yang sedang bertugas di Malomba yaitu Jos Paslah, Kere dan Manoppo. Dari ketiga orang polisi jepang tersebut Jos Paslah sempat diikat namun berhasil melarikan diri ke Tolitoli dan melaporkan kejadian tersebut Kepada Imaki Ken kanrikan. Adapun Manoppo melarikan diri ke tarakan sedang Kere lari ke jurusan Bambapula tapi akhirnya mati dibunuh oleh rakyat di sana.
Sesudah ada laporan tentang peristiwa tersebut pihak jepang segera menyiapkan rombongan ke malomba, yang terdiri dari : Imaki Ken Kanrikan, Raja Haji Mohammad Saleh Bantilan, Kepala Polisi Jepang, Buco Makalo, serta beberapa anggota polisi jepang. Rombongan ini naik perahu dan turun di Malala kemudian ke Tinabogan. Dari Tinabogan rombongan jepang tersebut bersama-sama kepala Distrik Selatan Haji Ibrahim Nangga menuju kampung Malomba.
Setelah sampai di malomba rombongan tersebut langsung berhadap-hadapan dengan para pemberontak yang pada saat itu belum ada tanda-tanda melakukan gerakan karena telah diisyaratkan oleh raja supaya rakyat tetap berada ditempat masing-masing.
Namun karena Buco Makalo melepaskan tembakan keatas sebagai isyarat aman, namun hal itu dianggapi lain oleh rakyat, terjadi salah paham, sehingga langsung menyebabkan pertumpahan darah dengan terbunuhnya Imaki Ken Kanrikan oleh pemberontak yang bernama Lanoni.
Pristiwa Malomba ini terjadi pada tanggal 18 juli 1945, yakni sebelum indonesiamenyatakan kemerdekaanya. Dalam pemberontakan ini tantong Madayuni sempat melarikan diri sedangkan kawan-kawannya yang tertangkap langsung dibawa Ke Tolitoli dimana mereka sekitar 13 orang mati di kaki Gunung panasakan di Tolitoli.
Pihak jepang memang mengerahkan seluruh kekuatannya baik yangpolisimaupun militer, semua kekuatan yang ada di Tolitoli dikerahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Peristiwa Malomba maupun dihukum matinya pahlawan-pahlawan kemerdekaan itu oleh pihak jepang, bukannya menjadikan rakyat takut, tapi malahan kebalikannya justru rakyat semakin berani mengadakan gerakan dibawah tanah yang apada akhirnya jepang yang masih ada sempat mereka penjarakan di Tolitoli. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945 secara berangsunr-angsur orang-orang jepang tersebut meninggalkan Tolitoli.
Seperti diketahui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak begitu berpengaruh ataukedengaran di Tolitoli karena waktu itu jepang masih menyembunyikan persoalan tersebut sementara tentara jepang sendiri secara berangsur-angsur diangkut oleh kapal-kapalnya yang tersisa ke temapt-tempat yang strategis untuk selanjutnya menuju ke jepang atau ketempat dimana ada induk pasukannya.
Sisanya yang tidak sempat diangkut segera mencari tempat persembuyian sendiri seperti satuan tentara jepang dibawah Tanaka yang bersembunyi di Hulu Sungai Buol yang disebut Air Terang.
SETELAH INDONESIA MERDEKA.
Tepat satu bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, di daerah Tolitoli terjadi pemberontakan rakyat Malomba yang merupakan salah satu dari diantara sekian banyak gerakan perlawanan rakyat yang terjadi di persada Tanah Air Indonesia dalam masa-masa perjuangan mendobrak pintu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Setelah Bangsa Indonesia Mencanagkan Kemerdekaanya, maka rakyat di daerah ini telah mengibarkan berndera Sang Saka Merah Putih. Namun dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya kelihatan bahwa penjajah belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia yang terbukti pada tahun 1946 kembali memasuki wilayah Tolitoli sehingga disambut dengan perlawanan rakyat, tetapi pada akhirnya pihak belanda berhasil juga menguasai daerah ini yang selanjutnya mereka membentuk pemerintahan NICA (Nederlandsch Indische Civiel Administratie ).
Dalam tahun 1964 itu pemerintah belanda dari Morotai di daerah Maluku Utara, dengan melalui tarakan di Kalimantan Timur telah mengirimkan satu pasukan militer dibawah pimpinan Letnan de Vree datang ke Tolitoli. Mereka ini menjajagi keamanan di daerah inidengan maksud untuk mengatur kembali siasat politik Belanda yang akan membagi-bagi indonesia dalam beberapa negara bagian dimana Tolitoli masuk dalam wilayah Negara Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar.
Letnan de Vree hanya sempat tinggal selama 3 bulan menjalankan tugasnya. Namun kepergiannya juga ditandai dengan penemoatan Controleur de Claus yang memegang tampuk pemerintahan di Tolitoli tahun 1946-1948, dan Bestuurs Asisten waktu itu depegang oleh Rajawali Muhammad Pusadan, sedangkan kepala polisinya Vince ( bacanya Vinke ). Selanjutnya Controleur de Klausdiganti oleh de Kleer tahun 1948 sampai penyerahan kedaulatan 27 desember 1949.
Walaupun status daerah Swapraja masih tetap diakui namun Raja Haji Muhammad Saleh Bantilansudah dalam keadaan istirahat sehingga pelaksanaan pemerintahan kerajaan yang disebut “KomisiPemerintahan Swapraja” sudah dirangkap oleh setiap pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda pada waktu itu.
Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah belanda menempatkan pejabat di daerah ini dengan sebutan “Hoofd van Plaatselijke Bestuur” (HPB) yang untuk pertama kalinya dijabat oleh Rajawali Muhammad Pusadan. Sesudah itu jabatan HPB tersebut diserahkan lagi kepada Abdul Rahman Nento dimana saat itu terjadi satu peristiwa yang disebut Gerakan Pemuda yang dipimpin oleh Andi Cabambang dan Beddurangan.
Gerakan pemuda tersebut dimulai dari Soni (Kecamatan Dampal Selatan) yang mengorganisir para pemuda serta menangkapi polisi NICA di Dampal. Begitu digerakkan gerakan ini berhasil merebut senjata dari tangan polisi belanda dan mengambil perahu-perahu tangkapan yaitu perahu yang ditangkap karena
menyelundupkan kopra di Pilipina, Tawao dan lain-lain.
Kemudian sekelompok tokoh pemuda yang berasal dari kota Tolitoli ikut menggabungkan diri kedalam Gerakan Pemuda sehingga kalau dahulu Gerakan Pemuda tersebut belum jelas apa maksud dan tujuannya. Kini menjdi gerakan Pemuda yang benar-benar membantu Pemerintah dalam wilayah ini. Dengan demikian tidak terjadi gangguan keamanan sehingga jalannya pemerintahan berjalan dengan cukup baik.
Dengan mampirnya pasukan H.V. Worang (bekas Gubernur Sulawesi Utara), maka senjata yang direbut oleh Gerakan Pemuda diambil oleh pihak yang berwajib dan dengan demikian secara otomatis Gerakan Pemuda mengakhiri kegiatannya waktu itu. Walau telah usai, Gerakan Pemuda tersebut nyata-nyata telah banyak jasanya di dalam ikut menumbuhkan situasi sedemikian rupa sehingga pemerintah dapat menjalankan tugas sebagai mana mestinya.
Selanjutnya pasukan Worang ini digantikan oleh tentara SUMU ( Sulawesi Utara Maluku Utara ). Awal tahun 1950 datang dari Menado sepasukan tentara yang dipimpin oleh kapten Mogot dan Letnan Manase dari kesatuan Branjangan. Mereka datang untuk pengamanan daerah Tolitoli , ikut mengatur susunan pemerintahan, menghentikan kegiatan-kegiatan yang mengacaukan masyarakat, memilih pemuda-pemuda yang berbakat untuk dijadikan tentara antara lain yang terpilih adalah Bathin (almarhum) dan Ismail Mailili(Mayor Purnawirawan dan Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo).
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), maka pemerintahan wilayah ini dipegang oleh Negara Indonesia Timur (NIT) sehingga pejabat yang berwenang memegang wilayah ini menjadi kepala pemerintahan Negeri (KPN).
Pada awal tahun 1951 kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli yang tadinya dijabat oleh A.R. Nento diganti oleh Daeng Maraja Lamakarate. Kepala polisisnya pun diganti yakni sesudah kekuasaan pemuda diambil kembali oleh pemerintah maka datanglah seorang kepala polisi yang bernama Sitanala dan pasukan tentara pun bertukar lagi yaitu dari pasukan Branjangan diganti oleh pasukan Bdaka Hitam yang dipimpin oleh Letnan Mukmin Moito.
Dengan adanya pemerintahan yang makin teratur makin teratur pula kegiatan pemerintahan di daerah ini. Pada tahun 1953 kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli dari Daeng Maraja Lamakarate digantikan oleh jafar Lapasere, kamudian Muhammad Kasim Razak dan terakhir Andi Mohammad Tahir.Setelah ini berturut-turut yang ,menduduki jabatan kepala Pemerintahan Negeri antara lain dijabat oleh Andi Musa, Andi Moh.Ali,A.M.Jotolembah dan Malaga B.A
Raja Haji Muhammad Saleh Bantilan wafat pada tahun 1956 di Tolitoli dan dimakamkan di Nalu dalam satu kompleks dengan makam ayahandanya yakni Raja Haji Ismail Bantilan serta kakaknya yakni Raja Haji Muhammad Ali Bantilan.
Oleh karena pada waktu itu secara formal belum ada penghapusan Daerah Swapraja. Maka setahun stelah Raja Haji Muhammad Saleh Bantilan wafat yakni pada tanggal 12 desember 1957 diumumkan oleh kepala pemerintahan Negeri Tolitoli Andi Muhammad Tahir bahwa Mohammad Yahya Bantilan sudah diangkat menjadi Kelala Swapraja Tolitoli serta duduk sebagai Anggota DPD.
Gubernur Militer Sulawesi Utara, Yang pada saat itu M.Y.Bantilan tersebut sudah menjabat sebagai Wakil Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli.
Akhirnya pada tanggal 21 Desember 1957 Mohammad Yahya Bantilan diupacarakan secara adat oleh rakyat Tolitoli sebagai Raja. Kemudian secara resmi tanggal 1 Juni 1958 dikeluarkan pengumuman No. 6/1958 yang ditujukan kepada semua instansi Pemerintah serta seluruh Masyarakat bahwa Pemerintahan Swapraja diserahkan kepada M.Y.Bantilan untuk mengkoordinir keswaprajaan di Tolitoli.
Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli yang ditanda-tangi langsung oleh Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli Andi Muhammad Tahir dan Kepala Polisi wilayah J.F.Papilaya.
Setahun kemudian secara resmi Daerah Swapraja dihapuskan dan statusnya berubah menjadi Kewedanan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Donggala. Dan beberapa saat kemudian Keluarlah Undang-Undang No.29 tahun 1959 tanggal 31 Oktober 1959 yang menetapkan wilayah Tolitoli dan wilayah Buol menjadi satu yakni Kabupaten Buol Tolitoli.
Sumber : http://fruixerup.blogspot.com/2012/10/makalah-asal-usul-tolitoli.html?m=1
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Awal Terbentuknya Kabupaten Toli-toli Sulawesi Tengah"
Posting Komentar