Sejarah Asal Usul dan Adat Suku Cirebon (Orang Cirebon)

Sejarah Awal mulanya keberadaan Etnis atau Orang Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Suku Sunda dan Jawa, namun kemudian eksistensinya mengarah pada pembentukan budaya tersendiri, mulai dari ragam batik pesisir yang tidak terlalu mengikuti pakem keraton jawa atau biasa disebut batik pedalaman hingga timbulnya tradisi-tradisi bercorak islam sesuai dengan dibangunnya keraton cirebon pada abad ke 15 yang berlandaskan islam 100%.


Eksistensi dari keberadaan suku atau orang cirebon yang menyebut dirinya bukan suku sunda ataupun suku jawa akhirnya mendapat jawaban dari sensus penduduk tahun 2010 di mana pada sensus penduduk tersebut tersedia kolom khusus bagi Suku bangsa Cirebon, hal ini berarti keberadaan suku bangsa cirebon telah diakui secara nasional sebagai sebuah suku tersendiri, menurut Erna Tresna Prihatin

“Indikator itu (Suku Bangsa Cirebon) dilihat dari bahasa daerah yang digunakan warga Cirebon tidak sama seperti bahasa Jawa atau Sunda. Masyarakat Cirebon juga punya identitas khusus yang membuat mereka merasa sebagai suku bangsa sendiri. Penunjuk lainnya yang mencirikan seseorang sebagai suku bangsa Cirebon adalah dari nama-namanya yang tidak seperti orang Jawa ataupun Sunda.

Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan tentang karakteristik identik tentang suku bangsa Cirebon. Untuk menelusuri kesukuan seseorang, hal itu bisa dilakukan dengan garis keturunan ayah kandungnya. Selain itu, jika orang itu sudah merasa memiliki jiwa dan spirit daerah itu (daerah suku bangsa cirebon) maka dia berhak merasa sebagai suku yang dimaksud.

Pandangan hidup suku Cirebon didasari dari implementasi adat istiadat yang didasarkan pada penjabaran hadis dan al-qur'an, diantara pandangan-pandangan hidup yang dipegang erat oleh masyarakat adat suku Cirebon adalah "petatah-petitih" (bahasa Indonesia : Pesan) dari Syekh Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) selain petatah-petitih titip tajug(mushala) dan fakir miskin (harus memakmurkan mushala dan merawat fakir miskin) yang sudah dikenal luas, masih ada beberapa petatah-petitih lainnya, diantaranya adalah lima pandangan hidup suku Cirebon yang memiliki kemiripan nilai dengan Pancasila, yaitu

" -Wedia Ning Allah (Takutlah Kepada Allah)
- Gegunem Sifat Kang Pinuji (Mengusung sifat-sifat terpuji kemanusiaan)
- Den Welas Asih Ing Sapapada (Utamakan cinta kasih terhadap sesama)
- Angadahna Ing Pepadu (Jauhi Pertengkaran)
- Amapesa Ing Bina Batan (jangan serakah dalam hidup bersama)

AKSARA BAHASA CIREBON

Bahasa Cirebon dalam perjalanannya menggunakan aksara yang dikenal dengan nama Rikasara, Cacarakan Cirebon, aksara Arab Pegon serta aksara Jawi. Aksara Cacarakan Cirebon merupakan jenis aksara yang bentuknya lebih dekat dengan aksara Bali ketimbang aksara Carakan Jawa.

 Sementara Rikasara Cirebon merupakan jenis aksara yang digunakan sebelum tahun 1650-an (abad 17) dimana para ahli berpendapat bahwa Rikasara tersebut memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa.

AKSARA RIKASARI CIREBON

Rikasara Cirebon yang oleh para ahli dikatakan memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa memiliki tiga cara penulisan dan beberapa gaya tulis (Samengan)

Sasandisara (cara menulis rahasia), tujuan cara penulisan ini adalah agar tulisannya tidak bisa diketahui oleh khalayak ramai, contoh cara penulisan ini dapat ditemui pada surat yang dibawa ke Banten untuk membantu pangeran Hasanuddin Angarasara (cara menulis umum), cara penulisan yang biasa dilakukan oleh para Ajengan (kyai atau orang terhormat) dan bersifat umum (tidak rahasia0 sehingga bisa dibaca oleh siapa saja, pada Angarasara gaya tulis atau Samengansecara garis besar dibagi menjadi beberapa yaitu, Kawatu, Layus dan HalifBandasara (cara menulis rahasia dengan membalutnya dengan doa), tujuan penulisan ini sebenarnya sama dengan Sasandisara yaitu untuk hal-hal yang bersifat rahasia, hanya saja karena dibalut dengan doa pembawanya tidak sadar kalau dia sedang membawa surat penting, contohnya adalah surat yang dibawa oleh Anom Talibrata, banyak syarat-syarat yang dibalut dengan pembacaan ayat suci al-qur'an ketika membuat tulisan dengan cara Bandasara, rumitnya Polah Hikmah (aturan-aturan hikmah) yang diterapkan dalam penulisan Bandasara membuat tidak sembaragan orang dipercaya untuk menuliskannya.

CACARAKAN CIREBON

Cacarakan Cirebon mencapai masa keemasannya pada periodisasi sastra sekitar abad ke 16 (tahun 1500-an) dimana sastra pesisiran berkembang pesat, seiring berpindahnya kekuasaan politik dari Majapahit ke kesultanan-kesultanan Muslim seperti Cirebon dan Demak pasca banyaknya ningrat-ningrat, sastrawan dan seniman Majaphit yang menyingkir ke Bali.

Sastra Pesisiran yang berkembang pada periodisasi keemasan tersebut berusaha membalutkan nilai-nilai keislaman dengan elemen-elemen kuno dari kebudayaan Majapahit Sastra Pesisiran yang turut membawa cacarakan Cirebon pada masa keemasannya dimulai ketika pengaruh Islam mulai memasuki pulau Jawa termasuk di wilayah Kesultanan Cirebon.

Ada setidaknya tiga pusat utama perkembangan sastra pesisiran yaitu di Gresik, Demak dan di wilayah kesultanan Cirebon yang meliputi Cirebon hingga Bantenpada masa itu.

Berbeda dengan Demak yang pada masa itu menjadi rujukan bagi daerah pedalaman sekitarnya yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa(cikal bakal daerah Mataram), perkembangan Cacarakan dan sastra pesisiran di wilayah kesultanan Cirebon tidak sehomogen dengan apa yang terjadi di Demak, heterogenitas antara pesisir Cirebon yang multi-etnis ditambah dengan pedalaman Cirebon yang juga dihuni oleh suku Sundayang berbeda bahasa dan pola tulisan membuat Cacarakan dan sastra Cirebon mengakomodir pola-pola ucap dan kebiasaan-kebiasaan sastra dari wilayah sekitarnya sehingga menyebabkan teks-teks sastra yang berasal dari wilayah kesultanan Cirebon walau ditulis dengan pola aksara carakan yang tidak jauh berbeda (Cirebon menerapkan pola aksara cacarakan dengan gaya satu tembok sementara Jawa menerapkan pola carakan dengan gaya dua tembok) namun teks-teks tersebut tidak dimengerti oleh pembaca dari wilayah Jawa bagian tengah.

Cacarakan Cirebon menurut TD Sudjana pada awalnya berasal dari Pallawa yang menyebar di Nusantara , para aristokrat yang menggunakan Pallawa sebagai aksara ini kemudian mengembangkan pola-pola aksara di wilayah yang diperintahnya, dan kemudian menjadi aksara daerahnya masing seperti aksara Carakan Jawa, Sunda dan Aksara Cacarakan Cirebon, oleh karena itu Cacarakan Cirebon oleh budayawan Cirebon TD Sudjana dikiaskan sebagai sesuatu hal yang memiliki makna budi luhur sebagai penunjang tegaknya akhlak bangsa dan kepribadian bangsa.

BAHASA SUKU CIREBON

Dahulu Bahasa Cirebon ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17.

Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)" yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda).

Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.

Perdebatan tentang Bahasa Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan faktor Politik Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.

Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa

Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75 persen, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76 persen.

Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.

Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek.

Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.

Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia.

Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.

Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.

Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri

Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda.

Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosakata dari bahasa Jawa maupun Sunda.

”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.

Pakar Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan.

ADAT SUKU CIREBON

Adat memasang Manggar (bahasa Indonesia : bunga Kelapa) merupakan sebuah adat Cirebonan yang juga dilakukan oleh budaya-budaya lain di pesisir, seperti budaya di pesisir Demak dan Semarang serta budaya Betawi di mana Manggar menjadi bagian yang terpisahkan.

Pada adat Semarang misalnya, dalam sebuah prosesi arak-arakan pengantin, mempelai prianya diarak dengan dengan diapit oleh hiasan kembang Manggar, dua orang pembawa hiasan kembang Manggar pada bagian paling depan arak-arakan dan dua orang lainnya tepat di belakang barisan pembawa payung pengantin, makna dari penggunaan kembang Manggar adalah pada masa dahulu, Pengantin Semarangan memakai kembang Manggar asli (bahasa Indonesia : bunga kelapa), maksudnya adalah agar kedua mempelai disenangi oleh masyarakat dikarenakan semua orang pasti senang dengan bunga.

Manggar adalah bunga kelapa, seperti diketahui bahwa pohon kelapa disebut Glugu, maksudnya agar kedua mempelai berlaku lugu (bahasa Indonesia : jujur), batang pohon kelapa mesti lurus, tidak ada pohon kelapa yang bercabang. Kalau ada pohon kelapa bercabang dikatakan “ajaib”, maksudnya agar kedua mempelai hatinya tidak cabang kesana kemari. Tetap dan satu pendirian. Tidak menyembunyikan sesuatu masalah. Kalau ada masalah harus dipecahkan bersama antara suami dan isteri.

Pendekatan filosofi yang sama juga diberlakukan di Cirebon, bagi Cirebon "kembang Manggar" adalah sebuah permulaan yang manis dari bentuknya yang sederhana, sebelum menjadi buah kelapa terlebih dahulu ada kembang Manggar, bahkan sebelum buah kelapa yang manis ada, kembang ini rasanya sudah manis jika disadap airnya, maka "nira" hasil sadapan Manggar bisa menghasilkan gula yang rasanya manis, sehingga dari awal hingga akhir, Manggar memberikan kenikmatan dari rasa manis kepada siapapun.

Pada budaya Cirebon, seperti halnya pada budaya Betawi dan Semarang, kembang Manggar diwujudkan dalam bentuk hiasan dari kertas warna-warni yang dililit pada lidi atau bilah bambu, warna-warni manggarmelambangkan keceriaan, manggar yang penuh dengan warna dipasang di sebagai pembuka jalan arak-arakan atau sebagai hiasan pernikahan, filosofi "manggar sederhana, manis dan ceria" inilah yang dijadikan sebagai landasan budaya bagi masyarakat pesisir khususnya Cirebon. S

ederhana dalam persfektif ini adalah tidak memaksakan untuk mengada-adakan sesuatu atau bahkan sampai berhutang dalam membuat acara seperti arak-arakan, pernikahan dan lainnya.

Adat menyiapkan Pandesan(gentong air wudhu)

Pandesan atau gentong yang diperuntukan bagi air wudu merupakan bagian dari penerapan adat Cirebon yang bernafaskan Islam, sejarah masyarakat Cirebon sebelumnya pernah mencatat aktivitas berwudu pada babad desa Kali Wulu yang menceritakan kedatangan dua orang kerumah Ki Gede Silintang untuk meminta air untuk berwudu serta pada cerita turun temurun tentang Sindang Pancuran di desa Sindang Laut dimana pancuran digunakan untuk berwudu.

Pembuatan pandesan pada masa lalu hampir dibuat di beberapa desa yang memiliki masjid-masjid besar misalnya di sekitar masjid Panjunan, kelurahan Panjunan, kota Cirebon yang dibangun pada 1480 oleh Pangeran Panjunan (Syarif Abdurrahman), namun sekarang masyarakat sekitar masjid Panjunan sudah tidak lagi memproduksi pandesan sehingga pandesan yang dijual disekitar masjid pada masa sekarang adalah buatan dari masyarakat desa Siti Winangun, kecamatan Jamblang, kabupaten Cirebon

Adat Pernikahan Agung (Pelakrama Ageng)

Masyarakat Cirebon memiliki Adat Pernikahan Agung atau yang dalam Bahasa Cirebondisebut Pelakrama Ageng, Adat Pernikahan ini berusaha mengangkat tradisi lokal dengan mengutamakan Islam sebagai nafas utama dari pelaksanaan adat tersebut.

Pernikahan Adat Cirebon ini memiliki nilai kearifan lokal akan kesederhanaan masyarakat cirebon dalam melaksanakan sebuah hajatan besar, sebagai contohnya adalah dalam seserahan pernikahan adat cirebon yang hanya mensyaratkan umbi-umbian, sayuran dan mas picis saja (mas kawin berupa uang dan perhiasan semampu pihak calon mempelai pria) di mana dalam melaksanakan hajatan tersebut masyarakat cirebon lebih mengutamakan unsur agama islam diantaranya menghindari "ria (sikap ingin dipuji)" dibanding unsur lainnya.

Siraman (Siram Tawandari)

Menurut Sultan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, Siraman melambangkan kesucian, prosesi siraman merupakan tradisi memandikan calon pengantin dengan tata tradisi tertentu sebelum pelaksanaan akad nikah. Hal itu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum melaksanakan akad nikah, yang menjadi pintu menuju hidup baru dengan pasangannya.

Sesuai ajaran Islam, bahwa amal perbuatan harus didahului dengan membersihkan diri dari hadas, baik kecil maupun besar,”

“Dalam Islam, setiap kita hendak beribadah pasti diawali dengan membersihkan diri. Siraman juga merupakan cara membersihkan diri, dan menikah adalah bagian dari ibadah. Jadi, sebelum menikah digelar siraman terlebih dulu agar bersih jiwa dan raga,”

Kedua calon pengantin oleh juru rias dibawa ke tempat siraman (cungkup) dengan didampingi orangtua dan sesepuh. Saat berjalan menuju tempat siraman dengan iringan gending nablong, calon pengantin memakai sarung batik khas Cirebonan yakni kain wadasan.

Biasanya berwarna hijau yang melambangkan kesuburan. Sebelum siraman, dada dan punggung calon pengantin diberi luluran lalu juru rias mempersilahkan orangtua dan sesepuh untuk bergantian menyirami. Setelah selesai, air bekas siraman diberikan kepada anak gadis dan jejaka yang hadir dengan maksud agar mereka dapat segera mengikuti jejak calon pengantin.

Upacara ini dinamakan bendrong sirat yaitu air bekas siraman disirat-siratkan atau dipercik-percikan pada anak gadis dan jejaka yang datang ke acara ini.

Berhias (Parasan)

Berhias atau dalam Bahasa Cirebon disebut Parasan dilakukan oleh calon mempelai wanita setelah acara siraman, salah satu prosesi parasan adalah ngerik yaitu membuang rambut halus yang dilakukan juru rias seraya disaksikan oleh orangtua dan para kerabat. Acara ini diringi dengan musik karawitan moblong yang artinya murub mancur bagaikan bulan purnama.

Ziarah Kubur (Ziarah)

Ziarah makam adalah berdoa untuk leluhur yang telah tiada, apabila calon pengantin masih merupakan keturunan dari Keraton Cirebon biasanya sebelum acara pernikahan dilaksanakan, calon pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan makam leluhur raja-raja Cirebon di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Cirebon Astana Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan restu.

Ziarah di Kompeks Pemakaman Raja-Raja Cirebon Astana Gunung Jati dimulai dengan berdoa di depan pintu pasujudan. Pintu tersebut merupakan pintu ketiga dari sembilan pintu menuju makam Sunan Gunung Jati yang berada di puncak bukit.

Selain berdoa di depan pintu pasujudan, untuk Keraton Kasepuhan biasanya Sultan Sepuh dan calon mempelai juga nyekar di makam-makam sesepuh Keraton Kasepuhan diantaranya di cungkup Sultan Sepuh Raja Sulaiman, Sultan Sepuh PRA Maulana Pakuningrat. Ziarah pun berakhir sampai tiba waktu salat zuhur.

Membawa Pengantin (Tenteng Pengantin)

Tiba hari pernikahan yang telah disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk menjemput calon pengantin pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan menyampaikan maksud kedatangannya untuk menenteng (membawa) calon pengantin pria ke tempat upacara pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria tidak ikut dalam upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu ijab qabul, calon pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin wanita.

Hal ini menandakan bahwa pria itu telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orangtua dan sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.

Ijab Qabul dalam Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan ragam Bahasa Cirebon Bebasan.

Pertemuan Pengantin (Temon)

Selesai akad nikah dilakukan upacara pertemuan pengantin pria dengan pengantin wanita atau yang disebut dengan temon atau salam temon . Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau ambang pintu untuk melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari kulit, cairan warna putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:

kulit sebagai wadah/tempat, putih adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang keagungan. Dengan begitu segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat itu sudah menjadi milik suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau sejenis batu persegi panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih. Pengantin pria menginjak telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka menjadi suami dan ingin membina rumah tangga serta memiliki keturunan.”“Pengantin wanita membasuh kaki suaminya yang melambangkan kesetiaan dan ingin bersama-sama membina rumah tangga yang bahagia. Sebelum membasuh kaki, pengantin wanita melakukan sungkem pada suaminya. Bila pengantin berasal dari keluarga yang cukup berada, biasanya saat acara salam temon ini diadakan acara gelondongan pangareng yaitu membawa upeti berupa barang (harta) yang lengkap.”

Menebar Uang (Sawer / Surak)

Acara ini diadakan sebagai bentuk ungkapan rasa bahagia orangtua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka. Uang receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan atau dalam bahasa cirebon disebut sawer sebagai tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan rezeki, dapat saling menghormati, hidup harmonis dan serasi, biasanya saat menaburkan atau menebar uang receh akan terdengar suara riuh kegembiraan mereka yang memperebutkan uang, beras kuning dan kunyit tersebut, suara riuh kegembiraan inilah yang disebut sebagai surak.

Menaburkan Pugpug (Pugpugan Tawur)

Dengan posisi jongkok, kepala pengantin ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari welit yaitu ilalang atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar pernikahan dapat awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta keduanya dapat memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan baik.

Selesai acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua pengantin pria lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk bersama-sama mendampingi pengantin di pelaminan.

Makan Nasi Ketan Kuning (Adep-adep Sekul)

Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orangtua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orangtua pihak pria memberi suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapatkan butiran nasi ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan rezeki paling banyak .

Namun rezeki ini tidak boleh dimakan sendiri dan harus dibagi pada pasangannya. Saat acara berlangsung, kedua pengantin duduk berhadapan yang melambangkan menyatunya hati suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia. Selain itu, acara adep-adep sekul ini juga mengandung arti kerukunan dalam rumah tangga, yaitu terhadap pasangannya, orangtua, serta mertua.

Mohon Doa Restu Orang Tua (Sungkem)

Kedua pengantin melakukan sembah sungkem pada orangtua dengan cara mandap (berjongkok) yang merupakan cerminan rasa hormat dan terima kasih kepada orangtua atas segala kasih sayang dan bimbingan yang selama ini dicurahkan kepada anaknya. Kedua pengantin juga memohon doa restu untuk membina rumah tangga sendiri bersama pasangan. Setelah acara sungkem, dilagukan kidung Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat menjalankan bahtera rumah tangganya seia, sekata, sehidup, semati.

Pemberian doa restu masyarakat, ucapan selamat, dan hiburan

Setelah memperoleh restu dari orangtua, pengantin mendapatkan ucapan selamat berbahagia dari sanak kerabat yang hadir. Biasanya juga diadakan acara hiburan seperti tari-tarian yaitu tari topeng cirebon, tari bedaya cirebon dan tari tayub.

Sumber : Wikipedia.org

1 Komentar untuk "Sejarah Asal Usul dan Adat Suku Cirebon (Orang Cirebon)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel