Biografi dan Silsilah Mbah Maimun Zubair
Minggu, 17 Maret 2019
Tambah Komentar
Kyai Haji Maimun Zubair adalah Tokoh Ulama yang sangat disegani di Indonesia. Beliau dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada 28 Oktober 1928. Beliau merupakan seorang ulama sekaligus politikus, yang saat ini adalah Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang.
Di dunia politik, KH Maimun Zubair pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan, dirinya juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun dan diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode.
KETURUNAN MBAH MAULANA
Berdasarkan data Dari Pondok Pesantren Sarang Rembang, sang pendiri dikenal dengan nama Mbah Lanah (Maulana). Beliau berasal dari keluarga Bangsawan Madura yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro untuk melawan kolonial Belanda.
Setelah Perang Diponegoro usai, Mbah Lanah menjadi incaran Belanda untuk ditangkap dan untuk menghindari hal tersebut akhirnya ia hijrah ke wilayah Sarang Rembang.
Sesampainya di Sarang, beliau mengawali kiprahnya dengan mengajarkan ilmu Agama Islam kepada masyarakat setempat. Dan berkat kegigihannya daerah sarang yang dulunya merupakan daerah gelap, gersang dan tandus, berangsur-angsur berubah menjadi desa hijau yang sejuk berkat dakwah mbah Lanah.
Dakwah mbah Lanah kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama KH Ghozali yang akrab dipanggil dengan nama “Mbah Ghozali”. Di era Mbah Ghozali inilah lembaga pendidikan yang dirintis Mbah Lanah berubah menjadi Pondok Pesantren.
Mbah Ghozali berinisiatif mendirikan sebuah tempat penginapan atau pemondokan bagi para pencari ilmu agama dan komplek pertama yang dibangun oleh mbah Ghozali tersebut pada saat ini dikenal sebagai “Komplek A Ponpes Ma’hadul Ilmi Asy Syar’i (MIS)”.
Generasi selanjutnya diteruskan oleh menantu Mbah Ghozali yang bernama KH. Syu’aib bin Abdurrozaq. Kyai Syu’aib sendiri merupakan suami dari putri Mbah Ghozali yang bernama Nyai Hajjah Sa’idah Binti KH Ghozali.
Dari pernikahan tersebut Kyai Syu’aib memiliki seorang putri bernama Nyai Hasanah yang kelak menjadi istri dari Kiai Dahlan, yang kemudian memiliki putra bernama Kyai Haji Zubair Dahlan.
KH Zubair Dahlan merupakan salah seorang ulama terkemuka dan mengarang beberapa kitab, seperti Kitab Manasik Haji, Nadlom Risalah As Samarqondiyah yang diberi nama Al-Qolaid Fi Tahqiqi Ma’na Isti’aroh, dan beberapa Nadloman mengenai Rumus-Rumus Fuqoha’.
KH Zubair Dahlan ini merupakan ayahanda dari Kyai Haji Maimun Zubair, yang dikenal sebagai anggota Mustasyar Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) dan menjadi penerus perjuangan kakek buyutnya dalam mengembangkan Pondok Pesantren Sarang Rembang.
PENDIDIKAN MBAH MAIMUN ZUBAIR
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa.
Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.
Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu.
Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
MENUNTUT ILMU DI LIRBOYO
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh kePondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dariKH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi. Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
MENUNTUT ILMU DI MAKKAH
Tanpa kenal lelah beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain:
- Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki
- Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath
- Sayyid Amin Al-Quthbi
- Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani
- Syekh Abdul Qodir Almandily
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu.
ISTRI DAN PUTRA PUTRI MBAH MAIMUN ZUBAIR
KH. Maimoen Zubair mempunyai 2 istri, yang pertama yaitu Hj. Fahimah putri KH. Baidhowi Lasem, dari sini beliau dikaruniai 7 anak, empat di antaranya meninggal pada waktu masih kecil. Sedangkan 3 yang lainnya yaitu : KH Abdullah Ubab, KH Muhammad Najih, Neng Shobihah.
Setelah istri pertama meninggal beliau memutuskan untuk menikah lagi, kali ini beliau memperistri Nyai Masthi'ah Putri KH. Idris asal cepu Blora. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 6 anak putra, dan 2 anak putri.
Mereka di antaranya adalah KH Majid Kamil, Gus Ghofur, Gus Ro'uf, Gus Wafi, Gus Yasin, Gus Idror, Neng Shobihah (meninggal), dan Neng Rodhiyah.
Di dunia politik, KH Maimun Zubair pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan, dirinya juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun dan diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode.
KETURUNAN MBAH MAULANA
Berdasarkan data Dari Pondok Pesantren Sarang Rembang, sang pendiri dikenal dengan nama Mbah Lanah (Maulana). Beliau berasal dari keluarga Bangsawan Madura yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro untuk melawan kolonial Belanda.
Setelah Perang Diponegoro usai, Mbah Lanah menjadi incaran Belanda untuk ditangkap dan untuk menghindari hal tersebut akhirnya ia hijrah ke wilayah Sarang Rembang.
Sesampainya di Sarang, beliau mengawali kiprahnya dengan mengajarkan ilmu Agama Islam kepada masyarakat setempat. Dan berkat kegigihannya daerah sarang yang dulunya merupakan daerah gelap, gersang dan tandus, berangsur-angsur berubah menjadi desa hijau yang sejuk berkat dakwah mbah Lanah.
Dakwah mbah Lanah kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama KH Ghozali yang akrab dipanggil dengan nama “Mbah Ghozali”. Di era Mbah Ghozali inilah lembaga pendidikan yang dirintis Mbah Lanah berubah menjadi Pondok Pesantren.
Mbah Ghozali berinisiatif mendirikan sebuah tempat penginapan atau pemondokan bagi para pencari ilmu agama dan komplek pertama yang dibangun oleh mbah Ghozali tersebut pada saat ini dikenal sebagai “Komplek A Ponpes Ma’hadul Ilmi Asy Syar’i (MIS)”.
Generasi selanjutnya diteruskan oleh menantu Mbah Ghozali yang bernama KH. Syu’aib bin Abdurrozaq. Kyai Syu’aib sendiri merupakan suami dari putri Mbah Ghozali yang bernama Nyai Hajjah Sa’idah Binti KH Ghozali.
Dari pernikahan tersebut Kyai Syu’aib memiliki seorang putri bernama Nyai Hasanah yang kelak menjadi istri dari Kiai Dahlan, yang kemudian memiliki putra bernama Kyai Haji Zubair Dahlan.
KH Zubair Dahlan merupakan salah seorang ulama terkemuka dan mengarang beberapa kitab, seperti Kitab Manasik Haji, Nadlom Risalah As Samarqondiyah yang diberi nama Al-Qolaid Fi Tahqiqi Ma’na Isti’aroh, dan beberapa Nadloman mengenai Rumus-Rumus Fuqoha’.
KH Zubair Dahlan ini merupakan ayahanda dari Kyai Haji Maimun Zubair, yang dikenal sebagai anggota Mustasyar Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) dan menjadi penerus perjuangan kakek buyutnya dalam mengembangkan Pondok Pesantren Sarang Rembang.
PENDIDIKAN MBAH MAIMUN ZUBAIR
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa.
Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.
Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu.
Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
MENUNTUT ILMU DI LIRBOYO
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh kePondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dariKH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi. Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
MENUNTUT ILMU DI MAKKAH
Tanpa kenal lelah beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain:
- Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki
- Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath
- Sayyid Amin Al-Quthbi
- Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani
- Syekh Abdul Qodir Almandily
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu.
ISTRI DAN PUTRA PUTRI MBAH MAIMUN ZUBAIR
KH. Maimoen Zubair mempunyai 2 istri, yang pertama yaitu Hj. Fahimah putri KH. Baidhowi Lasem, dari sini beliau dikaruniai 7 anak, empat di antaranya meninggal pada waktu masih kecil. Sedangkan 3 yang lainnya yaitu : KH Abdullah Ubab, KH Muhammad Najih, Neng Shobihah.
Setelah istri pertama meninggal beliau memutuskan untuk menikah lagi, kali ini beliau memperistri Nyai Masthi'ah Putri KH. Idris asal cepu Blora. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 6 anak putra, dan 2 anak putri.
Mereka di antaranya adalah KH Majid Kamil, Gus Ghofur, Gus Ro'uf, Gus Wafi, Gus Yasin, Gus Idror, Neng Shobihah (meninggal), dan Neng Rodhiyah.
Belum ada Komentar untuk "Biografi dan Silsilah Mbah Maimun Zubair"
Posting Komentar