Kisah Asal Usul Prabu Brawijaya, Raja Majapahit Terakhir
Jumat, 29 Maret 2019
Tambah Komentar
Prabu Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini nyata dan sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton.
Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.
ASAL USUL BRAWIJAYA
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[butuh rujukan] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakatJawa[butuh rujukan] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut.
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dan Madura dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
KISAH PERJALANAN HIDUP BRAWIJAYA
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena ingin menyepi serta karena pertentangan-pertentangan internal kerajaan majapahit. Kemudian di kota Demak peranannya diteruskakn oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulanyang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahitversi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
1. Jaka Sesuruh bergelar Prabu BratanaPrabu Brakumara
2. Prabu Brawijaya I
3. Ratu Ayu Kencanawungu
4. Prabu Brawijaya II
5. Prabu Brawijaya III
6. Prabu Brawijaya IV
7. Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.
DALAM KITAB PARARATON
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu. Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer[butuh rujukan]menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong Semarangyang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Tiongkok untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
DALAM KRONIK TIONGHOA
Naskah kronik Tiongkok yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahitsampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Tiongkok. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Tionghoa untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Tiongkok di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Tiongkok. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Tionghoa muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Tiongkok tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Tiongkok.
RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, dengan raja terakhirnya Brawijaya V hal ini sebagaimana tertulis dalam serat Dharmagandul yang memaparkan secara detail dan kronologis peristiwa keruntuhan Majapahit dalam gerakan Islamisasi Jawa pada tahun 1400 saka.
Dharmagandul satu-satunya karya sastra yang mengisahkan tentang penyerangan kraton Majapahit di Trowulan (saat ini masuk wilayah Mojokerto) dituliskan dalam bahasa jawa dan berhuruf aksara jawa. Dalam serat tersebut dipaparkan kisah pernikahan Prabu Brawijaya V dengan Putri Campa yang merupakan keturunan Tiongkok-Palembang beragama muslim.
Setelah pernikahan dengan selir tersebut, Brawijaya V melalui Putri Campa dikaruniai anak bernama Raden Patah yang kemudian dijadikan raja bawahan di wilayah Demak Bintara. Gerakan islamisasi di Demak yang telah dirintis oleh Wali Sanga, kemudian berujung pada usaha penaklukan Kraton Majapahit di Trowulan melalui penyerangan atas perintah putranya sendiri yaitu Raden Patah dengan dukungan Sunan Ampel dan para anggota wali sanga yang lain.
Meskipun hal ini ditentang oleh Nyai Ageng Ampel dan belakangan disesalkan pula oleh Raden Patah, dalam penyerangan tersebut, pasukan Brawijaya V berhasil dikalahkan oleh pasukan Demak namun Prabu Brawijaya V berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Demak dan menuju ke Pulau Bali bersama beberapa pengikutnya untuk meminta bantuan dari Prabu Dewa Agung di Kerajaan Klungkung Bali, namun ketika masih berada di Blambangan (Banyuwangi), berhasil disusul oleh Sunan Kalijaga.
Dalam dialognya dengan Sunan Kalijaga, Brawijaya V kemudian bersedia beralih agama dari Budha masuk Islam. Beberapa pengikutnya yang tidak bersedia masuk Islam kemudian menyeberang ke Bali, sedangkan Brawijaya V dengan dikawal oleh Sunan Kalijaga kembali ke Majapahit dan tidak lama kemudian meninggal karena sakit di Trowulan.
Berdasarkan serat Dharmagandul, ia kemudian dimakamkan secara Islam di Trowulan tepatnya disebelah Timur Laut kolam Segaran. Melalui Sunan Kalijaga sebelum meninggal ia menuliskan surat kepada Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga untuk menerima kekalahan Majapahit dan mengabdi pada Demak Bintara yang telah mengalahkan Majapahit di Trowulan serta menghindari peperangan lebih lanjut.
Melalui Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya V juga berwasiat untuk menamakan makamnya dengan nama Makam Sastra Wulan serta diatas batu nisannya dituliskan nama "Putri Campa" sebagai peringatan bahwa ia telah dikalahkan oleh anaknya sendiri Raden Patah serta di-"wanitakan". Kini kompleks pemakamannya berada di sisi timur laut kolam segaran dan dikenal dengan kompleks Makam Panjang, berlokasi di Trowulan, Mojokerto.
Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.
ASAL USUL BRAWIJAYA
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[butuh rujukan] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakatJawa[butuh rujukan] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut.
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dan Madura dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
KISAH PERJALANAN HIDUP BRAWIJAYA
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena ingin menyepi serta karena pertentangan-pertentangan internal kerajaan majapahit. Kemudian di kota Demak peranannya diteruskakn oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulanyang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahitversi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
1. Jaka Sesuruh bergelar Prabu BratanaPrabu Brakumara
2. Prabu Brawijaya I
3. Ratu Ayu Kencanawungu
4. Prabu Brawijaya II
5. Prabu Brawijaya III
6. Prabu Brawijaya IV
7. Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.
DALAM KITAB PARARATON
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu. Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer[butuh rujukan]menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong Semarangyang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Tiongkok untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
DALAM KRONIK TIONGHOA
Naskah kronik Tiongkok yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahitsampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Tiongkok. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Tionghoa untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Tiongkok di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Tiongkok. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Tionghoa muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Tiongkok tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Tiongkok.
RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, dengan raja terakhirnya Brawijaya V hal ini sebagaimana tertulis dalam serat Dharmagandul yang memaparkan secara detail dan kronologis peristiwa keruntuhan Majapahit dalam gerakan Islamisasi Jawa pada tahun 1400 saka.
Dharmagandul satu-satunya karya sastra yang mengisahkan tentang penyerangan kraton Majapahit di Trowulan (saat ini masuk wilayah Mojokerto) dituliskan dalam bahasa jawa dan berhuruf aksara jawa. Dalam serat tersebut dipaparkan kisah pernikahan Prabu Brawijaya V dengan Putri Campa yang merupakan keturunan Tiongkok-Palembang beragama muslim.
Setelah pernikahan dengan selir tersebut, Brawijaya V melalui Putri Campa dikaruniai anak bernama Raden Patah yang kemudian dijadikan raja bawahan di wilayah Demak Bintara. Gerakan islamisasi di Demak yang telah dirintis oleh Wali Sanga, kemudian berujung pada usaha penaklukan Kraton Majapahit di Trowulan melalui penyerangan atas perintah putranya sendiri yaitu Raden Patah dengan dukungan Sunan Ampel dan para anggota wali sanga yang lain.
Meskipun hal ini ditentang oleh Nyai Ageng Ampel dan belakangan disesalkan pula oleh Raden Patah, dalam penyerangan tersebut, pasukan Brawijaya V berhasil dikalahkan oleh pasukan Demak namun Prabu Brawijaya V berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Demak dan menuju ke Pulau Bali bersama beberapa pengikutnya untuk meminta bantuan dari Prabu Dewa Agung di Kerajaan Klungkung Bali, namun ketika masih berada di Blambangan (Banyuwangi), berhasil disusul oleh Sunan Kalijaga.
Dalam dialognya dengan Sunan Kalijaga, Brawijaya V kemudian bersedia beralih agama dari Budha masuk Islam. Beberapa pengikutnya yang tidak bersedia masuk Islam kemudian menyeberang ke Bali, sedangkan Brawijaya V dengan dikawal oleh Sunan Kalijaga kembali ke Majapahit dan tidak lama kemudian meninggal karena sakit di Trowulan.
Berdasarkan serat Dharmagandul, ia kemudian dimakamkan secara Islam di Trowulan tepatnya disebelah Timur Laut kolam Segaran. Melalui Sunan Kalijaga sebelum meninggal ia menuliskan surat kepada Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga untuk menerima kekalahan Majapahit dan mengabdi pada Demak Bintara yang telah mengalahkan Majapahit di Trowulan serta menghindari peperangan lebih lanjut.
Melalui Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya V juga berwasiat untuk menamakan makamnya dengan nama Makam Sastra Wulan serta diatas batu nisannya dituliskan nama "Putri Campa" sebagai peringatan bahwa ia telah dikalahkan oleh anaknya sendiri Raden Patah serta di-"wanitakan". Kini kompleks pemakamannya berada di sisi timur laut kolam segaran dan dikenal dengan kompleks Makam Panjang, berlokasi di Trowulan, Mojokerto.
Belum ada Komentar untuk "Kisah Asal Usul Prabu Brawijaya, Raja Majapahit Terakhir"
Posting Komentar