Cerita Sejarah Kerajaan Sindangkasih Majalengka
Kamis, 23 Mei 2019
Tambah Komentar
Kerajaan Sindangkasih merupakan kota kecamatan Majalengka Jawa Barat. Keberadaannya disebut sebagai cikal bakal sejarah Kabupaten Majalengka. Sementara itu, dalam kewilayahan Kabupaten Majalengka sekarang ini berdasarkan besluit Pemerintah Belanda; Besluit Gubernur Jenderal D. J. de Eerens No. 11 Februari tahun 1840 Mengubah Kabupaten Maja menjadi Majalengka serta memindahkan ibu kota ke Sindangkasih dan mengubah nama Sindangkasih menjadi Majalengka. Secara de facto dalam wilayah yang disebutkan mencakup Kerajaan Sindangkasih, Kerajaan Talaga, Kerajaan Rajagaluh, dan Kerajaan Jatiraga.
ASAL USUL KERAJAAN SINDANGKASIH
Kerajaan Sindangkasih keberadaanya hanya dikaitkan dengan proses penyebaran Islam dari Cirebon. Ternyata penelusuran sejarah keberadaan Sindangkasih seharusnya dari Kerajaan Sumedang Larang dan Kerajaan Galuh. Sindangkasih disebutkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) oleh Undang A Darsa sebagai salah satu dari 73 Ke-Mandala-an Sunda di Tatar Pasundan. Mandala adalah tempat suci keagamaan bagi Urang Sunda. Selain itu, tempat suci juga ada yang disebut dengan Kabuyutan. Di Tatar Pasundan, terdapat 800 Kabuyutan.
Sindangkasih adalah ke-Raja Mandala-an seperti tertulis dalam sejarah Kerajaan Tarumanagara. Bagi masyarakat awam seringkali menyamakan istilah ka-Mandala-an atau Kabuyutan dengan kerajaan. Serta pemimpin Mandala sering disebut Rajaresi, selain Rajamandala.
Para pemimpin Mandala atau dalam pandangan masyarakat umum sering disamakan dengan "Kabuyutan" adalah Guru Resi, Resi Guru atau Guruloka (dalam Kitab Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Bedanya, Mandala atau Kemandalaan adalah Lemah Dewasasana yang merupakan tempat suci yang di dalam ajarannya terpengaruh Hindu-Buddha (Siwa-Buddha) sedangkan Kabuyutan termasuk Lemah Parahyangan, yaitu tempat suci ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan.
Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan, dan 73 Mandala yang ada sering disamakan sebagai kabuyutan. Memang bisa dikatakan bahwa semua Mandala adalah kabuyutan, sedangkan tidak semua kabuyutan adalah kemandalaan.
Lemah Dewasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang(Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3 dalam Luthfiyani, 2017).
Wilayah Kamandalaan secara fisik berwujud adanya tempat suci khusus tempat pemujaan, misalnya berupa punden berundak Selain itu juga terdapat wilayah "paguron" yaitu tempat para murid atau Sastri (siswa Buddha) mengkaji (dari sini muncul istilah mengaji) ilmu agama dengan adanya bangunan-bangunan. Wilayah perdikan Mandala juga dilengkapi dengan pusat tata niaga, pertanian dan sebagainya untuk keperluan para sastri. Lingkungan paguron ini disebut pesastrian atau pesantren (yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi pesantren dalam ajaran Islam).
Yang paling menarik, Mandala-mandala ini mendapatkan perlindungan dari kerajaan Sunda-Galuh juga pada masa Pajajaran. Pihak kerajaan menempatkan tentaranya untuk menjaga keamanan Mandala. Pun demikian dengan Mandala Sindangkasih.
Pandangan masyarakat umum dikemudian hari yang menganggap bahwa Mandala adalah kerajaan wajar terjadi. Karena adanya keteraturan sistem pengelolaan yang mirip pemerintahan kerajaan juga ditambah adanya prajurit keamanan semakin menguatkan Mandala adalah kerajaan. Ditambah lagi, dalam tata kelola kerajaan pusat menyebut para pemimpin Mandala sebagai "Rajamandala".
Kisah legenda Kerajaan Sindangkasih dipimpin oleh seorang Ratu cantik bernama Nyi Rambut Kasih yang memimpin kerajaannya dengan bijaksana dan penuh dengan kemakmuran. Di Sindangkasih ini dikisahkan terdapat buah Maja.
Tersebutlah sebuah kisah Istri Sultan Cirebon, mengalami sakit dan setelah diterawang oleh seorang ahli keraton ternyata obatnya adalah buah maja. Utusan Cirebon datang menghadap Ratu Sindangkasih untuk meminta buah Maja sebagai obat, tetapi Sang Ratu tidak memberikannya. Sang Ratu tidak peduli dan menunjukkan rasa benci terhadap orang Cirebon.
Kisah ini menjadi kontroversi karena tidak menggambarkan suasana kebudayaan Sunda sama sekali. Banyak pihak menganggap ketidakmukinan adanya pengabaian dari seorang ratu Sindangkasih ketika dimintai sebutir buah Maja untuk mengobati seseorang. Suatu tindakan yang mustahil dilakukan oleh orang Sunda serta sikap yang tidak menunjukkan sikap orang Sunda. Menurut pupuhu Sunda Majalengka, hal tersebut "henteu Nyunda" tak menunjukkan layaknya perilaku Sunda. Jadi peristiwa itu ditenggarai sebagai dongeng semata.
Selanjutnya kerajaan Sindangkasih berganti nama menjadi Majalengka berdasarkan ucapan para prajurit Cirebon yang mengatakan Maja Langka. Maksudnya buah Maja hilang atau tidak ada. Disusul dengan sang Ratu Sindangkasih yaitu Nyi Rambut Kasih ngahiyang. Kejadian ini diperkirakan pada tahun 1480 Masehi.
Kisah dari Cirebon tersebut hanya beruba babad atau epik kepahlawan tentang penggamabaran betapa sulitnya menyebarkan Islam di wilayah Majalengka. Kisah yang diragukan kebenarannya. Seperti umumnya sejarah yang ditulis oleh pemenang, tentu menimbulkan bias. Banyak hal yang irasional serta tidak menunjukan kronologi kejadian mengenai Kisah Nyi Rambut Kasih yang berasal dari dongeng-dongeng Cirebon.
kini muncul lagi versi lain dari Cirebon dalam Naskah Mertasinga, bahwa kerajaan Sindangkasih yang dimaksud adalah wilayah beber Cirebon.
SINDANGKASIH BERUPA MANDALA
Pengertian "Mandala" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah 1 wilayah kekuasaan lembaga keagamaan; 2 bulatan; lingkungan (daerah). Semantara Mandala juga dapat dipandang secara politik. Mandala(मण्डल) adalah istilah bahasa Sanskerta yang bermakna "lingkaran". Mandala digunakan sebagai model untuk menggambarkan pola penyebaran pengaruh kekuasaan politik dalam sejarah purba Asia Tenggara ketika kekuasaan setempat memegang peranan penting.
Konsep sejarah-politik mandala ini berkaitan dengan kecenderungan modern untuk memandang persatuan kekuasaan politik, misalnya kekuasaan kemaharajaan atau negara-bangsa besar di kemudian hari. Hal ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi pembuatan peta pada abad XV. Sejarawan asal Inggris O. W. Wolters meyebutkan gagasan ini pada 1982:
"Peta sejarah purba Asia Tenggara berevolusi dari jejaring permukiman prasejarah yang muncul dalam catatan sejarah sebagai serpihan-serpihan yang membentuk mandala yang kadang saling tumpang tindih."
Istilah mandala digunakan untuk menjelaskan sejarah awal pembentukan politik Asia Tenggara, seperti federasi atau persekutuan beberapa kerajaan yang dipersatukan oleh kerajaan induk, atau kumpulan kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) yang tunduk pada satu pusat kekuasaan. Istilah ini digunakan pada abad ke-20 oleh sejarahwan Barat dalam diskursus pranata politik India kuno, untuk menghindari penggunaan istilah "negara" dalam arti konvensional.
Pranata atau kesatuan politik Asia Tenggara purba berbeda dengan kesatuan politik dalam pengertian China dan Eropa, dimana kawasan negara ditentukan oleh garis perbatasan yang jelas dan aparat birokrat, akan tetapi menyebar dengan arah kebalikannya: kesatuan politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.
Dalam beberapa hal, sistem mandala ini mirip dengan sistem feodal di Eropa, negara-negara bagian atau negeri bawahan terikat oleh tuannya melalui hubungan tribut yaitu memberikan persembahan berupa upeti. Dibandingkan dengan sistem feodal, sistem mandala ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada negeri bawahannya; hubungannya lebih bersifat hubungan pribadi antar penguasanya; dan seringkali bersifat tidak eksklusif. Suatu daerah tertentu dapat menjadi bawahan beberapa sistem mandala tertentu, atau bahkan tidak samasekali.
Mengutip pendapat Undang A Darsa, bahwa di Tatar Sunda terdapat 73 Mandala atau Kamandalaan. Mandala adalah kawasan perdikan (pusat pendidikan agama) di tatas Sunda. Salah satu diantaranya adalah Mandala Sindangkasih Majalengka.
Para pemimpin Mandala atau dalam pandangan masyarakat umum sering disamakan dengan "Kabuyutan" adalah Guru Resi, Resi Guru atau Guruloka (dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian). Bedanya, Mandala atau Kemandalaan adalah Lemah Dewasasana yang merupakan tempat suci yang di dalam ajarannya terpengaruh Hindu-Buddha (Siwa-Buddha) sedangkan Kabuyutan termasuk Lemah Parahyangan, yaitu tempat suci ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan, dan 73 Mandala yang ada sering disamakan sebagai kabuyutan. Memang bisa dikatakan bahwa semua Mandala adalah kabuyutan, sedangkan tidak semua kabuyutan adalah kemandalaan.
Lemah Dewasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang (Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3 dalam Luthfiyani, 2017).
Wilayah Kamandalaan secara fisik berwujud adanya tempat suci khusus tempat pemujaan, misalnya berupa punden berundak Selain itu juga terdapat wilayah "paguron" yaitu tempat para murid atau Sastri (siswa Buddha) mengkaji (dari sini muncul istilah mengaji) ilmu agama dengan adanya bangunan-bangunan. Wilayah perdikan Mandala juga dilengkapi dengan pusat tata niaga, pertanian dan sebagainya untuk keperluan para sastri. Lingkungan paguron ini disebut pesastrian atau pesantren (yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi pesantren dalam ajaran Islam).
Yang paling menarik, Mandala-mandala ini mendapatkan perlindungan dari kerajaan Sunda-Galuh juga pada masa Pajajaran. Pihak kerajaan menempatkan tentaranya untuk menjaga keamanan Mandala. Pun demikian dengan Mandala Sindangkasih.
Pandangan masyarakat umum dikemudian hari yang menganggap bahwa Mandala adalah kerajaan wajar terjadi. Karena adanya keteraturan sistem pengelolaan yang mirip pemerintahan kerajaan juga ditambah adanya prajurit keamanan semakin menguatkan Mandala adalah kerajaan. Ditambah lagi, dalam tata kelola kerajaan pusat menyebut para pemimpin Mandala sebagai "Rajamandala".
Beberapa Mandala di tatar Sunda ada yang bermetamorfosis (berubah bentuk) menjadi kerajaan. Misalnya Mandala Sunda Sambawa. Ajaran Tri Tangtu Sunda diajarkan di Kamandalan Sunda Sembawa. Tri Tangtu (Rama, Resi, Ratu) merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara(nasihat) Tangara (tanda alam), sebagai sistem polaperilaku dalam berbangsa dan bernegara yang telah dipergunakan oleh para Pangagung mwah Pangluhung i Sunda Sembawa Sunda Mandala.
Panyca Pasagi (Sir Budi Cipta Rasa Adeg)adalah lima kekuatan dalam diri manusia (Raga Sukma Lelembutan) yang merupakan dasar kekuatan untuk menimbulkan serta menentukan Tekad Ucap Lampah Paripolah Diri manusia yang akan dan harus berinteraksi dengan Sang Pencipta, Bangsa dan Negara, Ibu Bapak Leluhur, Sesama makluk hidup, dan alam kehidupan jagar raya (Buana Pancer Sabuder Awun).
Lokasi Mandala Sindangkasih (maksudnya kota atau kecamatan Majalengka), bukan Kabupaten Majalengka. Alasannya Mandala Sindangkasih di sebelah Tenggara dibatasi Mandala Bitunggiri yang kelak berubah menjadi Kerajaan Talaga Manggung. dan di Timur Laut berbatasan dengan Kerajaan Rajagaluh. Sebagian Selatan dan Barat Mandala Sindangkasih berbatasan dengan Cilutung dan Mandala Tembong Agung(Kerajaan Tembong Agung lalu berubah menjadi Mandala Himbar Buana). Di bagian Utara Mandala Sindangkasih dibatasi Mandala Wanagiri (Palimanan) yang juga bermetamorfosis menjadi Kerajaan Wanagiridan Kerajaan Singhapura (Sing Apura) Cirebon.
Bila beberapa Mandala di sekitar Sindangkasih berubah menjadi Kerajaan, maka Sindangkasih tetap menjadi Mandala Sindangkasih dengan sebutan Raja-Mandala, buka kerajaan kedatuan. Ada banyak Mandala dan Kabuyutan yang tetap menjadi pusat keagaamaan. Tidak tercatat dalam sejarah bahwa 800 Kabuyutan (73 diantaranya adalah ke-Manndala-an) berubah menjadi 800 Kerajaan di Tatar Sunda. Bahkan terulis dalam Naskah kuno ada beberapa kerajaan yang di dalamnya terdapat dua atau lebih ke-Mandala-an.
GURU RESI WANGSA UNGKARA
Seperti disinggung di atas, Sindangkasih adalah sebuah Mandala atau tempat suci dan kawasan perdikan. Mandala ini dipimpin Guru Resi di Mandala Sindangkasih Majalengka. Keberadaanya diidentifikasi oleh "Komara Sunda" -Komunitas Masyarakat Arkeologi Sunda, Bandung sejak tahun 2014.
Nama keluarga dari keturunan Wangsa Ungkara tidak dipergunakan lagi. Alasannya sebagai penegas dan pembeda antara Islam abangan dan Islam putih. Islam abangan biasanya masih berpengaruh di kalangan pelaksana pemerintahan sebagai kelanjutan kerajaan-kerajaan di masa itu. Akhirnya, keberadaan Wangsa Ungkara "hilang ditelan bumi". Alasan meraka sesuai pepatah Sunda "ulah Agul ku Payung Butut" jangan membangga-bangkan silsilah. Zaman telah berganti, penulisan silsilah dan ditunjukan kepada orang lain dianggap tidak sesuai zaman. Menurut Ekadjati (1988: 9), naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah pada masanya merupakan pegangan kaum bangsawan. Selain itu, naskah tersebut juga menjadi alat legitimasi bagi raja yang berkuasa.
Pada masa lalu raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar sekali memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasa-annya. Namun, kini fungsi tersebut mengalami proses pelunturan, bahkan tidak berfungsi lagi.
Sejarah asal usul Guru Resi Wangsa Ungkara dari Kerajaan Galuh. Seperti halnya Kerajaan Talaga Manggung (berawal dari Mandala Bitunggiri) dan Mandala Purwa Talaga), Kerajaan Indraprahasta (Mandala Indraprahasta) dan Kerajaan Saunggalah(Mandala Saunggalah - Kuningan). Berawal adanya perbutan kekuasaan antara Sanjaya dan Purbasora, cucu Wretikandayun.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari tahun 717(?) – 746 Masehi. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta naskah Carita Parahyangan. Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya. Ia anak Bratasenawa atau Sang Sena putera Sang Wretikandayun penguasa Kerajaan Galuh.
Raja Kerajaan Galuh Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah Raja pertama di Kerajaan Galuh yang memerintah di Kerajaan Galuh dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa dari tahun 612 Masehi sampai 702 Masehi sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kendan masih bawahan kerajaan Tarumanagara. Sang Wretikandayun berkuasa di Kerajaan Galuh pada tahun 534-592 Saka (612/3-670/1 Masehi), lamanya 58 tahun, sebagai ratu wilayah di bawah kerajaan Tarumanagara. Pada tahun 592-624 Saka (670/1-702/3 Masehi), selama 32 tahun sebagai raja Kerajaan Galuh merdeka. Dalam Carita Parahiyangan ditegaskan Kerajaan Galuh didirikan oleh Sang Wretikandayun, baginda berkuasa 90 tahun.
Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan sumedang larang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh, sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora. Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara.
Bratasenawa (Sang Sena) menjadi Pemangku kerajaan Kalingga utara kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa. Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sondjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sanjaya.
Para pembesar Kerajaan Galuh termasuk para resi menyingkir atau mengungsi. Banyak yang menyingkir akibat terbununhya Purbasora oleh Sanjaya yang menganut Bhairawa. Pelarian ini terjadi karena Sanjaya yang memeluk agama Syiwa Bhairawa cenderung agresif dan berusaha menaklukan raja-raja. Sementara para raja Kerajaan Galuh menganut Hindu Waisnawa (menyembah Wisnu) dan adanya sinkretisme Hindu Buddha. Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.
Diantara para pengungsi tersebut adalah Guru Resi Wangsa Ungkara. Pelariannya hingga tiba di Gunung Balay Pancurendang Tonggoh, (kini masuk kelurahan Babakan Jawa Majalengka Wetan, Kecamatan Majalengka). Posisinya aman dari jangkauan prajurit Galuh. Gunung Balay berada di Utara Sungai Cilutung dan di Selatan sungai Cijurey. Menurut cerita tutur tinular, turun temurun bahwa di Gunung Balay terdapat peilasan Prabu Adji Putih, pendiri kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang.
Dalam sejarah Kerajaan Sumedang Larang bahwa Patih Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa. Patih Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Gunung Nurmala (Sangkanjaya sekarang) dan berakhir di kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja.
Disanalah Bimaraksa mendirikan "Padepokan Tembong Agung" sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.
Padepokan Tembong Agung Mendorong perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara perlahan-lahan Padepokan Tembong Agung menjadi Pusat penyebaraan Keagamaan dan kebudayaan Sunda. Setelah Penobatan putranya, Bimaraksa yang telah menjadi seorang Resi Bimaraksa pergi kedaerah utara ditepian sungai Cimanuk. Disana mendirikan "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" (Bagala atau Bagara = Tempat, Asih = Kasih sayang) yang bermakna tempat untuk menjalin kasih sayang antara sesama insan (tempat bersilaturahmi antara sang pencipta dan sesama insan) Panyipuhan = Membersihkan/penyucian jasmani dan rohani. Kemudian "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" menjadi tempat bekumpulnya/tempat konsultasinya para Resi ditatar Sunda. Apakah Guru Resi Bimaraksa adalah Guru Resi Wangsa Ungkara.
Sebagaimana konsep Tri Tangtu Sunda (Rama, Resi, Ratu) yang merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasihat) Tangara (tanda alam). Guru Resi Wangsa Ungkara dipastikan bukan nama sebenarnya. Ungkara adalah nasihat. Bisa diartikan Wangsa Ungkara adalah seorang pemberi nasihat, yaitu para pendeta agama Hindu-Buddha. Sementara itu, keturunan-keturunan Guru Resi Wangsa Ungkara kelak menjadi para Kyai yang menyebarkan agama Islam di Sindangkasih (Majalengka).
Oleh karena nama Wangsa Ungkara tidak digunakan lagi sejak Kyai Abhari dalam perjuangannya bersama KH Abdul Halim. Kyai Abhari berputera 8 orang. Diantaranya ada Kyai Haji Adnan, Kyai Hasyim dan Muchsin. Kyai Haji Adnan, serta para puteranya menjabat di Kantor Urusan Agama (KUA) Majalengka dan MUI Majalengka.
Meskipun dari penjelasan keluarga dan leluhur bahwa bergelar Raden, Rahadyan atau Rakyan, tetapi menurut penulusuran Komara Sunda bahwa Wangsa Ungkara bukan dari kalangan Tohaan (Raja), khususnya nama Wangsa tersebut, tetapi dari Kasta Brahmana atau Resi Guru. Wangsa Ungkara atau Wangsa Ongkara atau Wangsa Hungkara atau Wangsa Hongkara.
Hongkara ini didapati sebagai Shiwa dalam kitab Weda Hindu. Disebutkan Hongkara Wangsa. Oleh karena itu terdapat bukti yang dapat dipahami jika keluarga keturunannya tidak ingin mencantumkan wangsa ungkara dibelakang nama keluarga mereka yang dikenal sebagai keluarga Kyai.
Keturunan wangsa Ungkara semenjak Guru Resi Wang Ungkara tetap menjadi Para Ungkara atau pemberi nasihat keagamaan. Yang membedakannya adalah agamanya. Putra-putri Kyai Abhari (pengajar PUI masa kepemimpinan KH Abdul Halim), seperti Kyai Muchsin memperdalam Ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren di Cirebon, diantaranya pesantren Ciwaringin.
MENJADI BAGIAN DARI SUMEDANG LARANG
Sejarah Kerajaan Sumedanglarang sangat berkaitan dengan Sindangkasih. Peta wilayah kekuasaan Sumedanglarang berubah-ubah beriringan dengan situasi politik yang menentukannya.
Cikal bakal kerajaan Sumedang larang adalah Kerajaan Tembong Ageung. Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tadjimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tadjimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan tokoh Surya Dewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Talaga, Majalengka.
Masa keemasan Kerajaan Sumedang Larang di bawah pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1578 - 1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Dalam surat Rangga Gempol II menyebutkan Sindangkasih dengan kalimat "ditambah Sindangkasih" daerah muara Cideres ke Cilutung. Jadi wilayah ini berada di seberang Cilutung bila dilihat dari Sumedang. Sungai biasanya menjadi batas wilayah di tatar pasundan.
Sewaktu Kerajaan Sumedanglarang di bawah Mataram, terdapat Umbul Sindangkasih (bagian dari kabupaten Parakanmuncang. Umbul Sindangkasih dipimpin Somahita. Saat itu, Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Mataram sejak tahun 1620.
Sejak itu status Sumedang Larang berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten atau VOC yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan VOC dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Gambaran bahwa Kerajaan Sindangkasih tak jauh dari Cideres dan Cilutung. Daerah yang termasuk Kerajaan Sindang dengan wilayah kekuasaanya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakan Jawa, Munjul, dan Cijati. Bila dilihat kondisinya sekarang ini, menunjukkan Kecamatan Majalengka Sekarang. karena perkembangan zaman wilayahnya bertambah Tarikolot (mungkin dulu dimasukan ke Cijati), Cicurug, Sidamukti (mungkin dulu dimasukan ke Munjul), Cibodas (Mungkin dulu sudah dimasukan ke Sindangkasih), Cikasarung, Kawunggirang (mungkin dulunya perbatasan, dan yang masuk ke Sindangkasih hanya Kawunghilir? karena dahulu kawunghilir dan kawunggirang adalah satu desa yakni: Kawungluwuk) Majalengka.
DISERAHKAN KE CIREBON
Sindang kasih adalah bagian Kerajaan Sumedang Larang, hingga diserahkannya Sindangkasih ke Cirebon dalam kasus Putri Harisbaya dan Prabu Geusan Ulun. Drama dimulai ketika Raja Sumedang era 1578-1610, Prabu Geusan Ulun, berkunjung ke Cirebon dalam perjalanan pulang dari Kesultanan Pajang yang berpusat di Kartasura, dekat Solo. Pusat pemerintahan dan pendidikan Islam di Jawa kala itu telah dipindahkan dari Demak yang sudah runtuh tahun 1548 ke Pajang –tidak jauh dari Surakarta. Demak dan Pajang adalah penerus Majapahit dari wangsa Mataram.
Di Kraton Cirebon, Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya yang konon pernah menjadi kekasihnya. Dari situlah cinta lama bersemi kembali walau terlarang. Harisbaya secara diam-diam meminta kepada Geusan Ulun agar membawanya kabur meskipun ia masih istri sah Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun mengiyakan permintaan putri Harisbaya. Kemudian, Harisbaya dilarikan ke Sumedang (versi lain, sang putri ngumpet di kereta Geusan Ulun) pada tahun 1585 (Naskah Pustaka Kertabhumi 1-2). Tentu saja peristiwa ini memicu murka Panembahan Ratu yang segera mengirimkan pasukan untuk menyerbu. Konflik ini berakhir dengan perjanjian damai kendati Sumedang Larang harus menyerahkan wilayah Sindangkasih sebelah timu Cilutung sampai muara Cideres ke Kesultanan Cirebon. Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai pengganti talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya.
Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang ini pernah dituliskan oleh beberapa peneliti Barat, termasuk Veth, van Deventer, de Roo da Le Faille, dan juga dari cerita (babad) di Sumedang dan Cirebon dari Kraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin Wijayakusuma & R. Mohammad Saleh, Rucatan Sajarah Sumedang, 1960:51).
ASAL USUL KERAJAAN SINDANGKASIH
Kerajaan Sindangkasih keberadaanya hanya dikaitkan dengan proses penyebaran Islam dari Cirebon. Ternyata penelusuran sejarah keberadaan Sindangkasih seharusnya dari Kerajaan Sumedang Larang dan Kerajaan Galuh. Sindangkasih disebutkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) oleh Undang A Darsa sebagai salah satu dari 73 Ke-Mandala-an Sunda di Tatar Pasundan. Mandala adalah tempat suci keagamaan bagi Urang Sunda. Selain itu, tempat suci juga ada yang disebut dengan Kabuyutan. Di Tatar Pasundan, terdapat 800 Kabuyutan.
Sindangkasih adalah ke-Raja Mandala-an seperti tertulis dalam sejarah Kerajaan Tarumanagara. Bagi masyarakat awam seringkali menyamakan istilah ka-Mandala-an atau Kabuyutan dengan kerajaan. Serta pemimpin Mandala sering disebut Rajaresi, selain Rajamandala.
Para pemimpin Mandala atau dalam pandangan masyarakat umum sering disamakan dengan "Kabuyutan" adalah Guru Resi, Resi Guru atau Guruloka (dalam Kitab Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Bedanya, Mandala atau Kemandalaan adalah Lemah Dewasasana yang merupakan tempat suci yang di dalam ajarannya terpengaruh Hindu-Buddha (Siwa-Buddha) sedangkan Kabuyutan termasuk Lemah Parahyangan, yaitu tempat suci ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan.
Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan, dan 73 Mandala yang ada sering disamakan sebagai kabuyutan. Memang bisa dikatakan bahwa semua Mandala adalah kabuyutan, sedangkan tidak semua kabuyutan adalah kemandalaan.
Lemah Dewasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang(Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3 dalam Luthfiyani, 2017).
Wilayah Kamandalaan secara fisik berwujud adanya tempat suci khusus tempat pemujaan, misalnya berupa punden berundak Selain itu juga terdapat wilayah "paguron" yaitu tempat para murid atau Sastri (siswa Buddha) mengkaji (dari sini muncul istilah mengaji) ilmu agama dengan adanya bangunan-bangunan. Wilayah perdikan Mandala juga dilengkapi dengan pusat tata niaga, pertanian dan sebagainya untuk keperluan para sastri. Lingkungan paguron ini disebut pesastrian atau pesantren (yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi pesantren dalam ajaran Islam).
Yang paling menarik, Mandala-mandala ini mendapatkan perlindungan dari kerajaan Sunda-Galuh juga pada masa Pajajaran. Pihak kerajaan menempatkan tentaranya untuk menjaga keamanan Mandala. Pun demikian dengan Mandala Sindangkasih.
Pandangan masyarakat umum dikemudian hari yang menganggap bahwa Mandala adalah kerajaan wajar terjadi. Karena adanya keteraturan sistem pengelolaan yang mirip pemerintahan kerajaan juga ditambah adanya prajurit keamanan semakin menguatkan Mandala adalah kerajaan. Ditambah lagi, dalam tata kelola kerajaan pusat menyebut para pemimpin Mandala sebagai "Rajamandala".
Kisah legenda Kerajaan Sindangkasih dipimpin oleh seorang Ratu cantik bernama Nyi Rambut Kasih yang memimpin kerajaannya dengan bijaksana dan penuh dengan kemakmuran. Di Sindangkasih ini dikisahkan terdapat buah Maja.
Tersebutlah sebuah kisah Istri Sultan Cirebon, mengalami sakit dan setelah diterawang oleh seorang ahli keraton ternyata obatnya adalah buah maja. Utusan Cirebon datang menghadap Ratu Sindangkasih untuk meminta buah Maja sebagai obat, tetapi Sang Ratu tidak memberikannya. Sang Ratu tidak peduli dan menunjukkan rasa benci terhadap orang Cirebon.
Kisah ini menjadi kontroversi karena tidak menggambarkan suasana kebudayaan Sunda sama sekali. Banyak pihak menganggap ketidakmukinan adanya pengabaian dari seorang ratu Sindangkasih ketika dimintai sebutir buah Maja untuk mengobati seseorang. Suatu tindakan yang mustahil dilakukan oleh orang Sunda serta sikap yang tidak menunjukkan sikap orang Sunda. Menurut pupuhu Sunda Majalengka, hal tersebut "henteu Nyunda" tak menunjukkan layaknya perilaku Sunda. Jadi peristiwa itu ditenggarai sebagai dongeng semata.
Selanjutnya kerajaan Sindangkasih berganti nama menjadi Majalengka berdasarkan ucapan para prajurit Cirebon yang mengatakan Maja Langka. Maksudnya buah Maja hilang atau tidak ada. Disusul dengan sang Ratu Sindangkasih yaitu Nyi Rambut Kasih ngahiyang. Kejadian ini diperkirakan pada tahun 1480 Masehi.
Kisah dari Cirebon tersebut hanya beruba babad atau epik kepahlawan tentang penggamabaran betapa sulitnya menyebarkan Islam di wilayah Majalengka. Kisah yang diragukan kebenarannya. Seperti umumnya sejarah yang ditulis oleh pemenang, tentu menimbulkan bias. Banyak hal yang irasional serta tidak menunjukan kronologi kejadian mengenai Kisah Nyi Rambut Kasih yang berasal dari dongeng-dongeng Cirebon.
kini muncul lagi versi lain dari Cirebon dalam Naskah Mertasinga, bahwa kerajaan Sindangkasih yang dimaksud adalah wilayah beber Cirebon.
SINDANGKASIH BERUPA MANDALA
Pengertian "Mandala" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah 1 wilayah kekuasaan lembaga keagamaan; 2 bulatan; lingkungan (daerah). Semantara Mandala juga dapat dipandang secara politik. Mandala(मण्डल) adalah istilah bahasa Sanskerta yang bermakna "lingkaran". Mandala digunakan sebagai model untuk menggambarkan pola penyebaran pengaruh kekuasaan politik dalam sejarah purba Asia Tenggara ketika kekuasaan setempat memegang peranan penting.
Konsep sejarah-politik mandala ini berkaitan dengan kecenderungan modern untuk memandang persatuan kekuasaan politik, misalnya kekuasaan kemaharajaan atau negara-bangsa besar di kemudian hari. Hal ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi pembuatan peta pada abad XV. Sejarawan asal Inggris O. W. Wolters meyebutkan gagasan ini pada 1982:
"Peta sejarah purba Asia Tenggara berevolusi dari jejaring permukiman prasejarah yang muncul dalam catatan sejarah sebagai serpihan-serpihan yang membentuk mandala yang kadang saling tumpang tindih."
Istilah mandala digunakan untuk menjelaskan sejarah awal pembentukan politik Asia Tenggara, seperti federasi atau persekutuan beberapa kerajaan yang dipersatukan oleh kerajaan induk, atau kumpulan kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) yang tunduk pada satu pusat kekuasaan. Istilah ini digunakan pada abad ke-20 oleh sejarahwan Barat dalam diskursus pranata politik India kuno, untuk menghindari penggunaan istilah "negara" dalam arti konvensional.
Pranata atau kesatuan politik Asia Tenggara purba berbeda dengan kesatuan politik dalam pengertian China dan Eropa, dimana kawasan negara ditentukan oleh garis perbatasan yang jelas dan aparat birokrat, akan tetapi menyebar dengan arah kebalikannya: kesatuan politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.
Dalam beberapa hal, sistem mandala ini mirip dengan sistem feodal di Eropa, negara-negara bagian atau negeri bawahan terikat oleh tuannya melalui hubungan tribut yaitu memberikan persembahan berupa upeti. Dibandingkan dengan sistem feodal, sistem mandala ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada negeri bawahannya; hubungannya lebih bersifat hubungan pribadi antar penguasanya; dan seringkali bersifat tidak eksklusif. Suatu daerah tertentu dapat menjadi bawahan beberapa sistem mandala tertentu, atau bahkan tidak samasekali.
Mengutip pendapat Undang A Darsa, bahwa di Tatar Sunda terdapat 73 Mandala atau Kamandalaan. Mandala adalah kawasan perdikan (pusat pendidikan agama) di tatas Sunda. Salah satu diantaranya adalah Mandala Sindangkasih Majalengka.
Para pemimpin Mandala atau dalam pandangan masyarakat umum sering disamakan dengan "Kabuyutan" adalah Guru Resi, Resi Guru atau Guruloka (dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian). Bedanya, Mandala atau Kemandalaan adalah Lemah Dewasasana yang merupakan tempat suci yang di dalam ajarannya terpengaruh Hindu-Buddha (Siwa-Buddha) sedangkan Kabuyutan termasuk Lemah Parahyangan, yaitu tempat suci ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan, dan 73 Mandala yang ada sering disamakan sebagai kabuyutan. Memang bisa dikatakan bahwa semua Mandala adalah kabuyutan, sedangkan tidak semua kabuyutan adalah kemandalaan.
Lemah Dewasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang (Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3 dalam Luthfiyani, 2017).
Wilayah Kamandalaan secara fisik berwujud adanya tempat suci khusus tempat pemujaan, misalnya berupa punden berundak Selain itu juga terdapat wilayah "paguron" yaitu tempat para murid atau Sastri (siswa Buddha) mengkaji (dari sini muncul istilah mengaji) ilmu agama dengan adanya bangunan-bangunan. Wilayah perdikan Mandala juga dilengkapi dengan pusat tata niaga, pertanian dan sebagainya untuk keperluan para sastri. Lingkungan paguron ini disebut pesastrian atau pesantren (yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi pesantren dalam ajaran Islam).
Yang paling menarik, Mandala-mandala ini mendapatkan perlindungan dari kerajaan Sunda-Galuh juga pada masa Pajajaran. Pihak kerajaan menempatkan tentaranya untuk menjaga keamanan Mandala. Pun demikian dengan Mandala Sindangkasih.
Pandangan masyarakat umum dikemudian hari yang menganggap bahwa Mandala adalah kerajaan wajar terjadi. Karena adanya keteraturan sistem pengelolaan yang mirip pemerintahan kerajaan juga ditambah adanya prajurit keamanan semakin menguatkan Mandala adalah kerajaan. Ditambah lagi, dalam tata kelola kerajaan pusat menyebut para pemimpin Mandala sebagai "Rajamandala".
Beberapa Mandala di tatar Sunda ada yang bermetamorfosis (berubah bentuk) menjadi kerajaan. Misalnya Mandala Sunda Sambawa. Ajaran Tri Tangtu Sunda diajarkan di Kamandalan Sunda Sembawa. Tri Tangtu (Rama, Resi, Ratu) merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara(nasihat) Tangara (tanda alam), sebagai sistem polaperilaku dalam berbangsa dan bernegara yang telah dipergunakan oleh para Pangagung mwah Pangluhung i Sunda Sembawa Sunda Mandala.
Panyca Pasagi (Sir Budi Cipta Rasa Adeg)adalah lima kekuatan dalam diri manusia (Raga Sukma Lelembutan) yang merupakan dasar kekuatan untuk menimbulkan serta menentukan Tekad Ucap Lampah Paripolah Diri manusia yang akan dan harus berinteraksi dengan Sang Pencipta, Bangsa dan Negara, Ibu Bapak Leluhur, Sesama makluk hidup, dan alam kehidupan jagar raya (Buana Pancer Sabuder Awun).
Lokasi Mandala Sindangkasih (maksudnya kota atau kecamatan Majalengka), bukan Kabupaten Majalengka. Alasannya Mandala Sindangkasih di sebelah Tenggara dibatasi Mandala Bitunggiri yang kelak berubah menjadi Kerajaan Talaga Manggung. dan di Timur Laut berbatasan dengan Kerajaan Rajagaluh. Sebagian Selatan dan Barat Mandala Sindangkasih berbatasan dengan Cilutung dan Mandala Tembong Agung(Kerajaan Tembong Agung lalu berubah menjadi Mandala Himbar Buana). Di bagian Utara Mandala Sindangkasih dibatasi Mandala Wanagiri (Palimanan) yang juga bermetamorfosis menjadi Kerajaan Wanagiridan Kerajaan Singhapura (Sing Apura) Cirebon.
Bila beberapa Mandala di sekitar Sindangkasih berubah menjadi Kerajaan, maka Sindangkasih tetap menjadi Mandala Sindangkasih dengan sebutan Raja-Mandala, buka kerajaan kedatuan. Ada banyak Mandala dan Kabuyutan yang tetap menjadi pusat keagaamaan. Tidak tercatat dalam sejarah bahwa 800 Kabuyutan (73 diantaranya adalah ke-Manndala-an) berubah menjadi 800 Kerajaan di Tatar Sunda. Bahkan terulis dalam Naskah kuno ada beberapa kerajaan yang di dalamnya terdapat dua atau lebih ke-Mandala-an.
GURU RESI WANGSA UNGKARA
Seperti disinggung di atas, Sindangkasih adalah sebuah Mandala atau tempat suci dan kawasan perdikan. Mandala ini dipimpin Guru Resi di Mandala Sindangkasih Majalengka. Keberadaanya diidentifikasi oleh "Komara Sunda" -Komunitas Masyarakat Arkeologi Sunda, Bandung sejak tahun 2014.
Nama keluarga dari keturunan Wangsa Ungkara tidak dipergunakan lagi. Alasannya sebagai penegas dan pembeda antara Islam abangan dan Islam putih. Islam abangan biasanya masih berpengaruh di kalangan pelaksana pemerintahan sebagai kelanjutan kerajaan-kerajaan di masa itu. Akhirnya, keberadaan Wangsa Ungkara "hilang ditelan bumi". Alasan meraka sesuai pepatah Sunda "ulah Agul ku Payung Butut" jangan membangga-bangkan silsilah. Zaman telah berganti, penulisan silsilah dan ditunjukan kepada orang lain dianggap tidak sesuai zaman. Menurut Ekadjati (1988: 9), naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah pada masanya merupakan pegangan kaum bangsawan. Selain itu, naskah tersebut juga menjadi alat legitimasi bagi raja yang berkuasa.
Pada masa lalu raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar sekali memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasa-annya. Namun, kini fungsi tersebut mengalami proses pelunturan, bahkan tidak berfungsi lagi.
Sejarah asal usul Guru Resi Wangsa Ungkara dari Kerajaan Galuh. Seperti halnya Kerajaan Talaga Manggung (berawal dari Mandala Bitunggiri) dan Mandala Purwa Talaga), Kerajaan Indraprahasta (Mandala Indraprahasta) dan Kerajaan Saunggalah(Mandala Saunggalah - Kuningan). Berawal adanya perbutan kekuasaan antara Sanjaya dan Purbasora, cucu Wretikandayun.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari tahun 717(?) – 746 Masehi. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta naskah Carita Parahyangan. Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya. Ia anak Bratasenawa atau Sang Sena putera Sang Wretikandayun penguasa Kerajaan Galuh.
Raja Kerajaan Galuh Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah Raja pertama di Kerajaan Galuh yang memerintah di Kerajaan Galuh dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa dari tahun 612 Masehi sampai 702 Masehi sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kendan masih bawahan kerajaan Tarumanagara. Sang Wretikandayun berkuasa di Kerajaan Galuh pada tahun 534-592 Saka (612/3-670/1 Masehi), lamanya 58 tahun, sebagai ratu wilayah di bawah kerajaan Tarumanagara. Pada tahun 592-624 Saka (670/1-702/3 Masehi), selama 32 tahun sebagai raja Kerajaan Galuh merdeka. Dalam Carita Parahiyangan ditegaskan Kerajaan Galuh didirikan oleh Sang Wretikandayun, baginda berkuasa 90 tahun.
Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan sumedang larang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh, sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora. Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara.
Bratasenawa (Sang Sena) menjadi Pemangku kerajaan Kalingga utara kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa. Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sondjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sanjaya.
Para pembesar Kerajaan Galuh termasuk para resi menyingkir atau mengungsi. Banyak yang menyingkir akibat terbununhya Purbasora oleh Sanjaya yang menganut Bhairawa. Pelarian ini terjadi karena Sanjaya yang memeluk agama Syiwa Bhairawa cenderung agresif dan berusaha menaklukan raja-raja. Sementara para raja Kerajaan Galuh menganut Hindu Waisnawa (menyembah Wisnu) dan adanya sinkretisme Hindu Buddha. Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.
Diantara para pengungsi tersebut adalah Guru Resi Wangsa Ungkara. Pelariannya hingga tiba di Gunung Balay Pancurendang Tonggoh, (kini masuk kelurahan Babakan Jawa Majalengka Wetan, Kecamatan Majalengka). Posisinya aman dari jangkauan prajurit Galuh. Gunung Balay berada di Utara Sungai Cilutung dan di Selatan sungai Cijurey. Menurut cerita tutur tinular, turun temurun bahwa di Gunung Balay terdapat peilasan Prabu Adji Putih, pendiri kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang.
Dalam sejarah Kerajaan Sumedang Larang bahwa Patih Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa. Patih Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Gunung Nurmala (Sangkanjaya sekarang) dan berakhir di kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja.
Disanalah Bimaraksa mendirikan "Padepokan Tembong Agung" sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.
Padepokan Tembong Agung Mendorong perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara perlahan-lahan Padepokan Tembong Agung menjadi Pusat penyebaraan Keagamaan dan kebudayaan Sunda. Setelah Penobatan putranya, Bimaraksa yang telah menjadi seorang Resi Bimaraksa pergi kedaerah utara ditepian sungai Cimanuk. Disana mendirikan "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" (Bagala atau Bagara = Tempat, Asih = Kasih sayang) yang bermakna tempat untuk menjalin kasih sayang antara sesama insan (tempat bersilaturahmi antara sang pencipta dan sesama insan) Panyipuhan = Membersihkan/penyucian jasmani dan rohani. Kemudian "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" menjadi tempat bekumpulnya/tempat konsultasinya para Resi ditatar Sunda. Apakah Guru Resi Bimaraksa adalah Guru Resi Wangsa Ungkara.
Sebagaimana konsep Tri Tangtu Sunda (Rama, Resi, Ratu) yang merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasihat) Tangara (tanda alam). Guru Resi Wangsa Ungkara dipastikan bukan nama sebenarnya. Ungkara adalah nasihat. Bisa diartikan Wangsa Ungkara adalah seorang pemberi nasihat, yaitu para pendeta agama Hindu-Buddha. Sementara itu, keturunan-keturunan Guru Resi Wangsa Ungkara kelak menjadi para Kyai yang menyebarkan agama Islam di Sindangkasih (Majalengka).
Oleh karena nama Wangsa Ungkara tidak digunakan lagi sejak Kyai Abhari dalam perjuangannya bersama KH Abdul Halim. Kyai Abhari berputera 8 orang. Diantaranya ada Kyai Haji Adnan, Kyai Hasyim dan Muchsin. Kyai Haji Adnan, serta para puteranya menjabat di Kantor Urusan Agama (KUA) Majalengka dan MUI Majalengka.
Meskipun dari penjelasan keluarga dan leluhur bahwa bergelar Raden, Rahadyan atau Rakyan, tetapi menurut penulusuran Komara Sunda bahwa Wangsa Ungkara bukan dari kalangan Tohaan (Raja), khususnya nama Wangsa tersebut, tetapi dari Kasta Brahmana atau Resi Guru. Wangsa Ungkara atau Wangsa Ongkara atau Wangsa Hungkara atau Wangsa Hongkara.
Hongkara ini didapati sebagai Shiwa dalam kitab Weda Hindu. Disebutkan Hongkara Wangsa. Oleh karena itu terdapat bukti yang dapat dipahami jika keluarga keturunannya tidak ingin mencantumkan wangsa ungkara dibelakang nama keluarga mereka yang dikenal sebagai keluarga Kyai.
Keturunan wangsa Ungkara semenjak Guru Resi Wang Ungkara tetap menjadi Para Ungkara atau pemberi nasihat keagamaan. Yang membedakannya adalah agamanya. Putra-putri Kyai Abhari (pengajar PUI masa kepemimpinan KH Abdul Halim), seperti Kyai Muchsin memperdalam Ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren di Cirebon, diantaranya pesantren Ciwaringin.
MENJADI BAGIAN DARI SUMEDANG LARANG
Sejarah Kerajaan Sumedanglarang sangat berkaitan dengan Sindangkasih. Peta wilayah kekuasaan Sumedanglarang berubah-ubah beriringan dengan situasi politik yang menentukannya.
Cikal bakal kerajaan Sumedang larang adalah Kerajaan Tembong Ageung. Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tadjimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tadjimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan tokoh Surya Dewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Talaga, Majalengka.
Masa keemasan Kerajaan Sumedang Larang di bawah pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1578 - 1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Dalam surat Rangga Gempol II menyebutkan Sindangkasih dengan kalimat "ditambah Sindangkasih" daerah muara Cideres ke Cilutung. Jadi wilayah ini berada di seberang Cilutung bila dilihat dari Sumedang. Sungai biasanya menjadi batas wilayah di tatar pasundan.
Sewaktu Kerajaan Sumedanglarang di bawah Mataram, terdapat Umbul Sindangkasih (bagian dari kabupaten Parakanmuncang. Umbul Sindangkasih dipimpin Somahita. Saat itu, Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Mataram sejak tahun 1620.
Sejak itu status Sumedang Larang berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten atau VOC yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan VOC dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Gambaran bahwa Kerajaan Sindangkasih tak jauh dari Cideres dan Cilutung. Daerah yang termasuk Kerajaan Sindang dengan wilayah kekuasaanya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakan Jawa, Munjul, dan Cijati. Bila dilihat kondisinya sekarang ini, menunjukkan Kecamatan Majalengka Sekarang. karena perkembangan zaman wilayahnya bertambah Tarikolot (mungkin dulu dimasukan ke Cijati), Cicurug, Sidamukti (mungkin dulu dimasukan ke Munjul), Cibodas (Mungkin dulu sudah dimasukan ke Sindangkasih), Cikasarung, Kawunggirang (mungkin dulunya perbatasan, dan yang masuk ke Sindangkasih hanya Kawunghilir? karena dahulu kawunghilir dan kawunggirang adalah satu desa yakni: Kawungluwuk) Majalengka.
DISERAHKAN KE CIREBON
Sindang kasih adalah bagian Kerajaan Sumedang Larang, hingga diserahkannya Sindangkasih ke Cirebon dalam kasus Putri Harisbaya dan Prabu Geusan Ulun. Drama dimulai ketika Raja Sumedang era 1578-1610, Prabu Geusan Ulun, berkunjung ke Cirebon dalam perjalanan pulang dari Kesultanan Pajang yang berpusat di Kartasura, dekat Solo. Pusat pemerintahan dan pendidikan Islam di Jawa kala itu telah dipindahkan dari Demak yang sudah runtuh tahun 1548 ke Pajang –tidak jauh dari Surakarta. Demak dan Pajang adalah penerus Majapahit dari wangsa Mataram.
Di Kraton Cirebon, Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya yang konon pernah menjadi kekasihnya. Dari situlah cinta lama bersemi kembali walau terlarang. Harisbaya secara diam-diam meminta kepada Geusan Ulun agar membawanya kabur meskipun ia masih istri sah Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun mengiyakan permintaan putri Harisbaya. Kemudian, Harisbaya dilarikan ke Sumedang (versi lain, sang putri ngumpet di kereta Geusan Ulun) pada tahun 1585 (Naskah Pustaka Kertabhumi 1-2). Tentu saja peristiwa ini memicu murka Panembahan Ratu yang segera mengirimkan pasukan untuk menyerbu. Konflik ini berakhir dengan perjanjian damai kendati Sumedang Larang harus menyerahkan wilayah Sindangkasih sebelah timu Cilutung sampai muara Cideres ke Kesultanan Cirebon. Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai pengganti talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya.
Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang ini pernah dituliskan oleh beberapa peneliti Barat, termasuk Veth, van Deventer, de Roo da Le Faille, dan juga dari cerita (babad) di Sumedang dan Cirebon dari Kraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin Wijayakusuma & R. Mohammad Saleh, Rucatan Sajarah Sumedang, 1960:51).
Belum ada Komentar untuk "Cerita Sejarah Kerajaan Sindangkasih Majalengka"
Posting Komentar