Kisah Asal Usul Ratu Dewata Raja Ketiga Pajajaran
Selasa, 14 Mei 2019
Tambah Komentar
Ratu Dewata menggantikan ayahnya Surawisesa, Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.
SERANGAN KILAT
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga Maharaja menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya.
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu diawali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada zaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I.
MEMBUAT TELAGA BESAR
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
MEMBUAT PARIT LEMAH DUWUR
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah.
Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandungdan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedangyang sekarang}.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah zaman susah).
PERJANJIAN DAMAI DENGAN CIREBON
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum.
Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.
SERANGAN KILAT
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga Maharaja menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya.
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu diawali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada zaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I.
MEMBUAT TELAGA BESAR
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
MEMBUAT PARIT LEMAH DUWUR
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah.
Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandungdan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedangyang sekarang}.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah zaman susah).
PERJANJIAN DAMAI DENGAN CIREBON
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum.
Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Belum ada Komentar untuk "Kisah Asal Usul Ratu Dewata Raja Ketiga Pajajaran"
Posting Komentar