Kisah Asal Usul Soepeno Pahlawan Asal Pekalongan Jawa Tengah
Jumat, 10 Mei 2019
Tambah Komentar
Masa kecil Soepeno tidak banyak diketahui. Soepeno lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 12 Juni 1916. Dia merupakan anak dari Soemarno, seorang pegawai rendah yang bekerja di perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Stasiun Tegal. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas di Algemeene Middelbare School (AMS) Semarang, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool te Bandoeng) di Bandung.
Hanya dua tahun ia menuntut ilmu di sekolah itu karena ia pindah ke Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool te Batavia) di Batavia. Ia menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool te Batavia) selama empat tahun. Di kota yang menjadi pusat pemerintahan kolonial inilah Soepeno semakin tertarik untuk turut ambil bagian dalam era pergerakan nasional.
Ia memimpikan bangsa Indonesia bisa lepas dari penjajahan Belanda. Di kota itu juga, Soepeno bergabung dengan Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), lalu oleh rekan-rekannya, ia terpilih sebagai ketua. Ia juga memimpin Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (BAPERPPI) sejak 1941.
Selama di Jakarta, Soepeno menetap tinggal di asrama Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jalan Cikini Raya 71, ia juga menjadi ketua asrama/pondokan tersebut. Di asrama itulah, untuk pertama kalinya Soepeno bertemu langsung dengan Mohammad Hatta. Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya, Soepeno: Pejuang Politik dan Gerilyawan disebutkan bahwa Soepeno pernah menjadi anggota Indonesia Moeda. Ia juga sempat mendirikan dan diangkat sebagai Ketua Balai Pemuda di Solo.
Menurut Julinar Said dkk, Soepeno menjadi anggota Indonesia Moeda selama di Pekalongan dan Tegal. Menurut Sejarawan Benedict R. O'G Anderson, tidak hanya di Indonesia Moeda Pekalongan dan Tegal, Soepeno juga aktif di Indonesia Moeda Semarang dan Bandung. Ia juga terlibat dalam mempromosikan PPPI melawan saingannya, Unitas Studiosorum Indonesiensis, organisasi pelajar berkebangsaan Belanda yang penurut.
Istri Soepeno, Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswojo atau Tien Soepeno menyebutkan, pada masa-masa awal kemerdekaan, ia juga menjadi konseptor sejumlah lembaga negara seperti Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat(KNIP), yang merupakan lembaga legislatif pertama sekaligus menjadi anggota lembaga tersebut.
Pada akhir tahun 1945 (dalam rapat pada 20 Desember 1945) diangkat dan dipilihlah 25 orang dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota Partai Sosialis, Soepeno terpilih sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.
Pada tahun 1946, terjadi krisis dalam pemerintahan Kabinet Sjahrir III, karena dianggap menjual negara dengan menyetujui perundingan Linggarjati. Perundingan Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946 ditetapkan pada tanggal 28 Desember 1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati. Peraturan Presiden No. 6/1946 berisi tentang penyempurnaan susunan Komite Nasional Indonesia Pusat, berbentuk penambahan jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang.
Di samping itu supaya lebih dapat mencakup semua lapisan dan golongan yang ada. Dalam Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat pada 2 Maret 1947 menyetujui tindakan Presiden Soekarno menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat tersebut. Dalam persetujuan penambahan anggota KNIP, maka Badan Pekerja KNIP yang lama dibubarkan. Pada Sidang KNIP tanggal 3 Maret 1947 disusun dan dipilih Badan Pekerja KNIP yang baru.
Jumlah anggota Badan Pekerja KNIP meningkat dari 25 orang menjadi 47 orang. Partai Sosialis memperoleh lima (menempatkan lima orang perwakilan) dari 47 kursi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat tersebut, dan salah satu perwakilannya sebagai anggota adalah Soepeno.
Ia juga kemudian bergabung ke dalam partai bentukan Hatta-Syahrir, PNI-Pendidikan (PNI-Baru) setelah PNI Soekarno dilarang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1932. Pada tanggal 19 November 1945, anggota Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Cirebon. Syahrir tidak hadir dan hanya mengutus pengikutnya, Subadio Sastrosatomo, L.M. Sitorus, T.B. Simatupangserta salah satunya adalah Soepeno. Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mendukung Kabinet Sutan Sjahrir-Amir Sjarifuddin, yang telah dilantik lima hari sebelumnya.
Untuk menyesuaikan dengan situasi politik yang baru semasa revolusi, PNI-Pendidikan menjadi partai politik yang baru. Karena situasi politik yang baru haruslah membutuhkan nama baru. Maka dalam pertemuan itu juga diputuskan nama PNI-Pendidikan diubah menjadi Partai Rakyat Sosialis atau Paras.
Pada 16-17 Desember 1945, Partai Rakyat Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) bentukan Amir mengadakan kongres fusi di Cirebon. Hasil dari kongres tersebut, kedua partai setuju untuk bergabung, dan terbentuklah Partai Sosialis. Dalam komposisi kepengurusan Partai Sosialis, Soepeno duduk dalam Dewan Pimpinan Pusat Partai Sosialis. Ia juga merupakan orang yang dekat dengan Sutan Syahrir.
Ketika terjadi keretakan antara kelompok Syahrir dengan kelompok Amir Syarifuddin sesudah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin II, Syahrir memilih untuk membentuk partai baru, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada tanggal 12 Februari 1948 di Yogyakarta dan memberikan dukungan kepada Kabinet Hatta I dengan mengikutsertakan anggotanya yakni Soepeno duduk dalam Kabinet Hatta I.
Menurut dr. A. Halim (simpatisan PSI, namun bukan anggota partai), pendirian PSI pada 12 Februari 1948 terjadi dalam pertemuan di rumah Ibu Soebadio Sastrosatomo di Kliteran. Hadir dalam rapat itu kira-kira sepuluh orang, Soebadio Sastrosatomo, Soepeno, Djohan Sjahroezah, Sugondo Djojopuspito, Iskandar Tedjasukmana, dan lain-lain (termasuk dr. A. Halim). Beberapa anggota Kelompok Syahrir, seperti Soepeno, Kusno, Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastrosatomo, L.M. Sitorus, Soedarsono, Sugondo Djojopuspito, dan lain-lain juga keluar dari Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Sosialis Indonesia bersama Syahrir.
Soepeno menikah dengan Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswojo atau Tien Soepeno, wanita kelahiran Banjarnegara, yang lahir tahun 1923. Mereka menikah di Klampok Banjarnegara, Agustus 1943. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai putri satu-satunya, Soepeni Rokoetiningajoe Judianingsih (lahir pada tahun 1944). Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002: 135) menyebut Soepeno merupakan sosok yang tangguh dan sederhana. "Soepeno, orang yang suka bekerja keras. Dia mirip dengan workaholic. Di asrama Badan Pekerja KNIP di Purworejo, Soepeno makan apa adanya, tidur di atas tikar, hidup sederhana. Dia bagaikan keranjingan dengan kerja sehingga melalaikan kadang-kadang keluarganya.”, tulis Rosihan.
MENJADI MENTERI
Pada tahun 1948, Soepeno pergi ke Sumatra untuk mengkonsolidasi Republik di Sumatra(Bukittinggi) dan mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perang kembali serta pindahnya pemerintahan ke Sumatra. Kemudian pada 29 Januari 1948 ia dipanggil kembali ke Jawa, ia diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemudadalam Kabinet Hatta I (Kabinet Presidentil I). Ia adalah satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di Kabinet Hatta I atas nama perseorangan.
MENINGGAL DUNIA
Sewaktu Belanda menyerang Indonesia pada 19 Desember 1948 yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II, membuat Ibukota NKRI, Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat pemerintahan ditangkap. Saat itu Soepeno menjadi Menteri Pemuda dan Pembangunan RI. Setelah Yogyakarta jatuh, Soepeno ikut bergerilya dan pasukan Belanda terus memburunya.
Soepeno lolos karena sedang bertugas di luar Yogyakarta, tepatnya di Cepu, Jawa Tengah. Dikisahkan oleh Djoeir Moehamad & Abrar Yusra dalam Memoar Seorang Sosialis (1997: 208), Soepeno saat itu sebenarnya dalam perjalanan pulang ke ibukota dari Cepu. Saat sampai di Prambanan, sisi timur Yogyakarta, ia merasa ada yang tidak beres. Ternyata benar, pusat pemerintahan telah diduduki Belanda. Dari Prambanan, Soepeno mengarahkan mobilnya balik jalan, menuju Tawangmangu, dekat Solo. Di sana, ia akan bergabung dengan para pejabat negara lainnya yang lolos dari penangkapan. Setelah berkoordinasi di Tawangmangu, diputuskan bahwa masing-masing pejabat akan turut bergerilya, berpindah-pindah lokasi, hingga situasi terkendali. Soepeno dan beberapa orang lainnya diarahkan menuju timur, ke suatu tempat di lereng Gunung Wilis di mana Panglima Besar Jenderal Soedirman dan pasukannya bermarkas. Rombongan kecil ini berangkat dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung, dari hutan ke hutan, dalam ancaman yang setiap saat bisa saja hadir.
Bersama Soesanto Tirtoprodjo, kedua "Menteri Gerilya" itu berkelana di daerah pegunungan Jawa Timur menggerakkan rakyat berjuang terus melawan Belanda. Seorang wanita ikut dalam rombongan mereka, yaitu Nyonya Susilowati Rikerk, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Hampir tiga pekan berjalan, rombongan Soepeno tiba di Desa Wayang, Ponorogo. Di desa itu, mereka bertemu dengan Kapten Soepardjo Roestam, ajudan Jenderal Soedirman yang memang diutus untuk mencari keberadaan para pejabat RI (Departemen Penerangan RI, Djendral Soedirman Pahlawan Sedjati, 1950: 45). Setelah memberitahu di mana posisi pasukan Jenderal Soedirman kendati tetap saja cukup sulit untuk menemukan tempat itu, Kapten Soepardjo pamit karena harus melanjutkan tugas. Soepeno dan rombongan juga meneruskan perjalanan. Medan liar yang amat sulit dan harus berkali-kali memutar jalan agar terhindar dari sergapan musuh membuat perjalanan yang ditempuh memakan waktu semakin lama. Sementara itu, tentara Belanda kian gencar mengejar. Pada 20 Februari 1949, Soepeno dan kawan-kawan menjejakkan kaki di Dusun Ganter, Nganjuk. Di dusun ini, mereka menginap di rumah warga dan berniat menetap selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan yang entah kapan akan berakhir.
Setelah berbulan-bulan bergerilya, Soepeno dan rombongannya tertangkap Belanda di Desa Ganter, Dukuh Ngliman, Nganjuk setelah Belanda menyerang wilayah Ganter pada 24 Februari 1949. Tentara Belanda menyuruhnya jongkok dan mengintrogasi dia. Belanda juga berhasil menangkap seluruh pembesar sipil di Jawa Timur. Soepeno mengatakan bahwa ia adalah penduduk daerah tersebut namun Belanda tidak percaya. Akhirnya, pelipisnya ditembak dan Soepeno tewas seketika.
Belanda kemudian mengeksekusi rombongan Soepeno yang terdiri dari enam orang, termasuk ajudan Soepeno, Mayor Samudro juga ditembak mati. Eksekusi-eksekusi dilakukan di depan umum, menurut laporan TNI, sebagai alat untuk mengintimidasi penduduk. Soepeno pun kemudian dimakamkan di Nganjuk. Setahun kemudian, pada 29 Februari 1950 makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Istri Soepeno, Tien Soepeno, mengaku karena kurangnya informasi, baru mengetahui kabar suaminya tewas dieksekusi Belanda sebulan kemudian.
Makam Menteri Soepeno berada di sisi kanan tempat peristirahatan terakhir Jenderal Oerip Soemohardjo yang berdampingan dengan nisan Panglima Besar Jenderal Soedirman (Solichin Salam, Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan, 1963: 95). Sesuai surat keputusan pemerintah, Surat Keputusan Presiden RI No. 039/TK/Th. 1970 tgl. 13 Juli 1970, pada pertengahan tahun 1970, atas segala pengorbanan yang telah dia berikan kepada perjuangan kemerdekaan, Soepeno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
la dianugerahi pula Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III secara anumerta, yakni sebagai penghargaan atas sifat-sifat kepahlawanannya serta atas keberanian dan ketebalan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugasnya yang telah disumbangkan terhadap Negara dan Bangsa Indonesia. Masyarakat mengenangnya sebagai menteri gerilya. Rekan seperjalanannya, Soesanto Tirtoprodjo, merekam eksekusi tersebut dalam sebuah tembang Jawa, Durma:
"Duk semana Pak Soepeno nekad koerban,
Pahlawan loehoer jekti
Koesoemaning bangsa,
Lila ngetohken djiwa
Mrih kawanira basoeki,
Aroem asmanja,
Langgeng cinathet pasthi."
Dalam terjemahan bebas, yang dilakukan oleh perintis kemerdekaan sekaligus sastrawan Jawa dengan nama pena Kamadjaja, makna tembang tersebut sebagai berikut:
"Pada waktu itu, Pak Soepeno dengan sengaja telah berkorban, sebagai layaknya seorang pahlawan dengan budi luhur. Selain itu, sebagai kusuma bangsa, beliau rela mengorbankan nyawanya dengan tidak pernah mengaku (sebagai menteri dan bisa membahayakan jiwa rekan-rekannya). Dengan demikian namanya tetap harum dan abadi, untuk dikenang..."
Menurut Tien Soepeno, jejak sejarah Soepeno lebih banyak dibangun di Semarang, walaupun Soepeno selama hidupnya lebih banyak dihabiskan di Jakarta dan Yogyakarta. Kini namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Semarang dan juga di beberapa kota lainnya di Indonesia. Tak hanya itu, patungnya juga dibangun di Kompleks Stadion Jatidiri, Semarang.
Hanya dua tahun ia menuntut ilmu di sekolah itu karena ia pindah ke Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool te Batavia) di Batavia. Ia menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool te Batavia) selama empat tahun. Di kota yang menjadi pusat pemerintahan kolonial inilah Soepeno semakin tertarik untuk turut ambil bagian dalam era pergerakan nasional.
Ia memimpikan bangsa Indonesia bisa lepas dari penjajahan Belanda. Di kota itu juga, Soepeno bergabung dengan Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), lalu oleh rekan-rekannya, ia terpilih sebagai ketua. Ia juga memimpin Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (BAPERPPI) sejak 1941.
Selama di Jakarta, Soepeno menetap tinggal di asrama Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jalan Cikini Raya 71, ia juga menjadi ketua asrama/pondokan tersebut. Di asrama itulah, untuk pertama kalinya Soepeno bertemu langsung dengan Mohammad Hatta. Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya, Soepeno: Pejuang Politik dan Gerilyawan disebutkan bahwa Soepeno pernah menjadi anggota Indonesia Moeda. Ia juga sempat mendirikan dan diangkat sebagai Ketua Balai Pemuda di Solo.
Menurut Julinar Said dkk, Soepeno menjadi anggota Indonesia Moeda selama di Pekalongan dan Tegal. Menurut Sejarawan Benedict R. O'G Anderson, tidak hanya di Indonesia Moeda Pekalongan dan Tegal, Soepeno juga aktif di Indonesia Moeda Semarang dan Bandung. Ia juga terlibat dalam mempromosikan PPPI melawan saingannya, Unitas Studiosorum Indonesiensis, organisasi pelajar berkebangsaan Belanda yang penurut.
Istri Soepeno, Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswojo atau Tien Soepeno menyebutkan, pada masa-masa awal kemerdekaan, ia juga menjadi konseptor sejumlah lembaga negara seperti Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat(KNIP), yang merupakan lembaga legislatif pertama sekaligus menjadi anggota lembaga tersebut.
Pada akhir tahun 1945 (dalam rapat pada 20 Desember 1945) diangkat dan dipilihlah 25 orang dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota Partai Sosialis, Soepeno terpilih sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.
Pada tahun 1946, terjadi krisis dalam pemerintahan Kabinet Sjahrir III, karena dianggap menjual negara dengan menyetujui perundingan Linggarjati. Perundingan Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946 ditetapkan pada tanggal 28 Desember 1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati. Peraturan Presiden No. 6/1946 berisi tentang penyempurnaan susunan Komite Nasional Indonesia Pusat, berbentuk penambahan jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang.
Di samping itu supaya lebih dapat mencakup semua lapisan dan golongan yang ada. Dalam Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat pada 2 Maret 1947 menyetujui tindakan Presiden Soekarno menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat tersebut. Dalam persetujuan penambahan anggota KNIP, maka Badan Pekerja KNIP yang lama dibubarkan. Pada Sidang KNIP tanggal 3 Maret 1947 disusun dan dipilih Badan Pekerja KNIP yang baru.
Jumlah anggota Badan Pekerja KNIP meningkat dari 25 orang menjadi 47 orang. Partai Sosialis memperoleh lima (menempatkan lima orang perwakilan) dari 47 kursi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat tersebut, dan salah satu perwakilannya sebagai anggota adalah Soepeno.
Ia juga kemudian bergabung ke dalam partai bentukan Hatta-Syahrir, PNI-Pendidikan (PNI-Baru) setelah PNI Soekarno dilarang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1932. Pada tanggal 19 November 1945, anggota Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Cirebon. Syahrir tidak hadir dan hanya mengutus pengikutnya, Subadio Sastrosatomo, L.M. Sitorus, T.B. Simatupangserta salah satunya adalah Soepeno. Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mendukung Kabinet Sutan Sjahrir-Amir Sjarifuddin, yang telah dilantik lima hari sebelumnya.
Untuk menyesuaikan dengan situasi politik yang baru semasa revolusi, PNI-Pendidikan menjadi partai politik yang baru. Karena situasi politik yang baru haruslah membutuhkan nama baru. Maka dalam pertemuan itu juga diputuskan nama PNI-Pendidikan diubah menjadi Partai Rakyat Sosialis atau Paras.
Pada 16-17 Desember 1945, Partai Rakyat Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) bentukan Amir mengadakan kongres fusi di Cirebon. Hasil dari kongres tersebut, kedua partai setuju untuk bergabung, dan terbentuklah Partai Sosialis. Dalam komposisi kepengurusan Partai Sosialis, Soepeno duduk dalam Dewan Pimpinan Pusat Partai Sosialis. Ia juga merupakan orang yang dekat dengan Sutan Syahrir.
Ketika terjadi keretakan antara kelompok Syahrir dengan kelompok Amir Syarifuddin sesudah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin II, Syahrir memilih untuk membentuk partai baru, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada tanggal 12 Februari 1948 di Yogyakarta dan memberikan dukungan kepada Kabinet Hatta I dengan mengikutsertakan anggotanya yakni Soepeno duduk dalam Kabinet Hatta I.
Menurut dr. A. Halim (simpatisan PSI, namun bukan anggota partai), pendirian PSI pada 12 Februari 1948 terjadi dalam pertemuan di rumah Ibu Soebadio Sastrosatomo di Kliteran. Hadir dalam rapat itu kira-kira sepuluh orang, Soebadio Sastrosatomo, Soepeno, Djohan Sjahroezah, Sugondo Djojopuspito, Iskandar Tedjasukmana, dan lain-lain (termasuk dr. A. Halim). Beberapa anggota Kelompok Syahrir, seperti Soepeno, Kusno, Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastrosatomo, L.M. Sitorus, Soedarsono, Sugondo Djojopuspito, dan lain-lain juga keluar dari Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Sosialis Indonesia bersama Syahrir.
Soepeno menikah dengan Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswojo atau Tien Soepeno, wanita kelahiran Banjarnegara, yang lahir tahun 1923. Mereka menikah di Klampok Banjarnegara, Agustus 1943. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai putri satu-satunya, Soepeni Rokoetiningajoe Judianingsih (lahir pada tahun 1944). Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002: 135) menyebut Soepeno merupakan sosok yang tangguh dan sederhana. "Soepeno, orang yang suka bekerja keras. Dia mirip dengan workaholic. Di asrama Badan Pekerja KNIP di Purworejo, Soepeno makan apa adanya, tidur di atas tikar, hidup sederhana. Dia bagaikan keranjingan dengan kerja sehingga melalaikan kadang-kadang keluarganya.”, tulis Rosihan.
MENJADI MENTERI
Pada tahun 1948, Soepeno pergi ke Sumatra untuk mengkonsolidasi Republik di Sumatra(Bukittinggi) dan mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perang kembali serta pindahnya pemerintahan ke Sumatra. Kemudian pada 29 Januari 1948 ia dipanggil kembali ke Jawa, ia diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemudadalam Kabinet Hatta I (Kabinet Presidentil I). Ia adalah satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di Kabinet Hatta I atas nama perseorangan.
MENINGGAL DUNIA
Sewaktu Belanda menyerang Indonesia pada 19 Desember 1948 yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II, membuat Ibukota NKRI, Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat pemerintahan ditangkap. Saat itu Soepeno menjadi Menteri Pemuda dan Pembangunan RI. Setelah Yogyakarta jatuh, Soepeno ikut bergerilya dan pasukan Belanda terus memburunya.
Soepeno lolos karena sedang bertugas di luar Yogyakarta, tepatnya di Cepu, Jawa Tengah. Dikisahkan oleh Djoeir Moehamad & Abrar Yusra dalam Memoar Seorang Sosialis (1997: 208), Soepeno saat itu sebenarnya dalam perjalanan pulang ke ibukota dari Cepu. Saat sampai di Prambanan, sisi timur Yogyakarta, ia merasa ada yang tidak beres. Ternyata benar, pusat pemerintahan telah diduduki Belanda. Dari Prambanan, Soepeno mengarahkan mobilnya balik jalan, menuju Tawangmangu, dekat Solo. Di sana, ia akan bergabung dengan para pejabat negara lainnya yang lolos dari penangkapan. Setelah berkoordinasi di Tawangmangu, diputuskan bahwa masing-masing pejabat akan turut bergerilya, berpindah-pindah lokasi, hingga situasi terkendali. Soepeno dan beberapa orang lainnya diarahkan menuju timur, ke suatu tempat di lereng Gunung Wilis di mana Panglima Besar Jenderal Soedirman dan pasukannya bermarkas. Rombongan kecil ini berangkat dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung, dari hutan ke hutan, dalam ancaman yang setiap saat bisa saja hadir.
Bersama Soesanto Tirtoprodjo, kedua "Menteri Gerilya" itu berkelana di daerah pegunungan Jawa Timur menggerakkan rakyat berjuang terus melawan Belanda. Seorang wanita ikut dalam rombongan mereka, yaitu Nyonya Susilowati Rikerk, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Hampir tiga pekan berjalan, rombongan Soepeno tiba di Desa Wayang, Ponorogo. Di desa itu, mereka bertemu dengan Kapten Soepardjo Roestam, ajudan Jenderal Soedirman yang memang diutus untuk mencari keberadaan para pejabat RI (Departemen Penerangan RI, Djendral Soedirman Pahlawan Sedjati, 1950: 45). Setelah memberitahu di mana posisi pasukan Jenderal Soedirman kendati tetap saja cukup sulit untuk menemukan tempat itu, Kapten Soepardjo pamit karena harus melanjutkan tugas. Soepeno dan rombongan juga meneruskan perjalanan. Medan liar yang amat sulit dan harus berkali-kali memutar jalan agar terhindar dari sergapan musuh membuat perjalanan yang ditempuh memakan waktu semakin lama. Sementara itu, tentara Belanda kian gencar mengejar. Pada 20 Februari 1949, Soepeno dan kawan-kawan menjejakkan kaki di Dusun Ganter, Nganjuk. Di dusun ini, mereka menginap di rumah warga dan berniat menetap selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan yang entah kapan akan berakhir.
Setelah berbulan-bulan bergerilya, Soepeno dan rombongannya tertangkap Belanda di Desa Ganter, Dukuh Ngliman, Nganjuk setelah Belanda menyerang wilayah Ganter pada 24 Februari 1949. Tentara Belanda menyuruhnya jongkok dan mengintrogasi dia. Belanda juga berhasil menangkap seluruh pembesar sipil di Jawa Timur. Soepeno mengatakan bahwa ia adalah penduduk daerah tersebut namun Belanda tidak percaya. Akhirnya, pelipisnya ditembak dan Soepeno tewas seketika.
Belanda kemudian mengeksekusi rombongan Soepeno yang terdiri dari enam orang, termasuk ajudan Soepeno, Mayor Samudro juga ditembak mati. Eksekusi-eksekusi dilakukan di depan umum, menurut laporan TNI, sebagai alat untuk mengintimidasi penduduk. Soepeno pun kemudian dimakamkan di Nganjuk. Setahun kemudian, pada 29 Februari 1950 makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Istri Soepeno, Tien Soepeno, mengaku karena kurangnya informasi, baru mengetahui kabar suaminya tewas dieksekusi Belanda sebulan kemudian.
Makam Menteri Soepeno berada di sisi kanan tempat peristirahatan terakhir Jenderal Oerip Soemohardjo yang berdampingan dengan nisan Panglima Besar Jenderal Soedirman (Solichin Salam, Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan, 1963: 95). Sesuai surat keputusan pemerintah, Surat Keputusan Presiden RI No. 039/TK/Th. 1970 tgl. 13 Juli 1970, pada pertengahan tahun 1970, atas segala pengorbanan yang telah dia berikan kepada perjuangan kemerdekaan, Soepeno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
la dianugerahi pula Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III secara anumerta, yakni sebagai penghargaan atas sifat-sifat kepahlawanannya serta atas keberanian dan ketebalan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugasnya yang telah disumbangkan terhadap Negara dan Bangsa Indonesia. Masyarakat mengenangnya sebagai menteri gerilya. Rekan seperjalanannya, Soesanto Tirtoprodjo, merekam eksekusi tersebut dalam sebuah tembang Jawa, Durma:
"Duk semana Pak Soepeno nekad koerban,
Pahlawan loehoer jekti
Koesoemaning bangsa,
Lila ngetohken djiwa
Mrih kawanira basoeki,
Aroem asmanja,
Langgeng cinathet pasthi."
Dalam terjemahan bebas, yang dilakukan oleh perintis kemerdekaan sekaligus sastrawan Jawa dengan nama pena Kamadjaja, makna tembang tersebut sebagai berikut:
"Pada waktu itu, Pak Soepeno dengan sengaja telah berkorban, sebagai layaknya seorang pahlawan dengan budi luhur. Selain itu, sebagai kusuma bangsa, beliau rela mengorbankan nyawanya dengan tidak pernah mengaku (sebagai menteri dan bisa membahayakan jiwa rekan-rekannya). Dengan demikian namanya tetap harum dan abadi, untuk dikenang..."
Menurut Tien Soepeno, jejak sejarah Soepeno lebih banyak dibangun di Semarang, walaupun Soepeno selama hidupnya lebih banyak dihabiskan di Jakarta dan Yogyakarta. Kini namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Semarang dan juga di beberapa kota lainnya di Indonesia. Tak hanya itu, patungnya juga dibangun di Kompleks Stadion Jatidiri, Semarang.
Belum ada Komentar untuk "Kisah Asal Usul Soepeno Pahlawan Asal Pekalongan Jawa Tengah"
Posting Komentar