Kisah Legenda Prabu Niskalawastu Kancana Raja Kerajaan Sunda Galuh
Minggu, 12 Mei 2019
Tambah Komentar
Prabu Niskala Wastu Kancana atau Anggalarang atau Wangisutah lahir di Galuh, Kawali pada tahun 1348 dan wafat pada tanggal 1475, di Kawali, Ciamis. Niskala Wastu Kancana adalah raja dari Kerajaan Sunda Galuh bersatu dan memerintah antara tahun 1371 hingga 1475. Sebelumnya didahului oleh pamannya, Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang (1357-1371) yang memerintah setelah kakaknya, Prabu Maharaja Linggabuana, gugur di Palagan Bubat.
ASAL USUL DAN SILSILAH
Ayahnya bernama Prabu Maharaja Linggabuana (yang gugur di Bubat saat ia berusia 9 tahun) putra Prabu Ragamulya Luhur Prabawa putra Prabu Ajiguna Linggawisésa. Ibunya Dewi Lara Linsing[1]putri Prabu Arya Kulon Raja Sunda (di Pakuan Bogor sebagai raja bawahan) dengan Dewi Kiranasari putri Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 M. Kakaknya, Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi yang lahir pada tahun 1339 M dan ikut gugur bersama ayahnya, Prabu Maharaja, di Bubat pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 M.
Setelah mulai remaja Wastukancana kemudian melanglang buana ke Lampung, yang waktu itu masih dalam pengaruh kerajaan Sunda. Dan dari Lampung ini, ia kemudian menikah dengan putri Raja lampung, yang bernama Lara Sarkati. Dan kemudian menjadi prameswari pertamanya ketika ia diangkat menjadi raja pada tahun 1371 M, pada usia 23 tahun.
Dari perkawinannya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama Sang Haliwungan, yang dikemudian hari menjadi raja Sunda di Pakuan, dengan bergelar Prabu Susuk Tunggal.
Sedang dari pernikahan dengan Dewi Mayangsari, putri pamannya, Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.
MASA PEMERINTAHAN
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagaamaan oleh pamannya, Sang Bunisora, sehingga ia tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. kepada Sang Bunisora, pamannya yang terkenal ketaatannya terhadap agama, sehingga Bunisora dikenal pula sebagai Rajaresi, penulis Carita Parahyangan memberi gelar Satmata, yakni gelar keagamaan tingkat kelima dari tujuh tingkat keagamaan yang dianut penguasa Sunda waktu itu.
Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke 5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke 7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Prabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Prabu Bunisora pada usia 23 tahun (1371) M, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana Tunggadewata, dalam naskah yang paling muda ia disebut Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang. Tulisan dalam Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut :
"aya deui putra prebu, kasohor ngaranna, nya eta prebu Niskala Wastu Kancana, nu tilem di nusalarang gunung wanakusuma. lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, hiang bunisora, nu hilang di gegeromas. batara guru di jampang.sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta sanghiang pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. nu dituladna oge makuta anggoan sahiang indra. sakitu, sugan aya nu dek nurutan. enya eta lampah nu hilang ka nusalarang, daek eleh ku satmata. mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. sang wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang watangageung. ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh."
AKHIR KEKUASAAN DAN SUKSESI
Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum).
Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa di Sunda sebelah barat (Pakuan), Bogor dan Sunda sebelah timur (Galuh), Kawali, Ciamis.
Pertama, Ningrat Kancana merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu Niskala Wastu Kancana dengan putri Dewi Mayangsari putri Prabu Bunisora. Ia kemudian diangkat menjadi sebagai Raja Anom di Galuh mendampingi ayahnya (Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana penguasa Kerajaan Sunda Galuh), dengan gelar penobatan Ningrat Kancana, Prabu Dewa Niskala. Ia berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Ia adalah ayah Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja.
Kedua, Sang Haliwungan menjadi raja anom di kerajaan Sunda sejak tahun 1382 Masehi, dengan nama penobatan Prabu Susuk Tunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Prabu Susuk Tunggal merupakan putra Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang berkedudukan di daerah timur, Kawali) dari istrinya, Dewi Lara Sarkati, putri penguasa Lampung, Resi Susuk Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai Citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100 tahun), sebab sudah dimulai saat ayahnya berkuasa (1371-1475) M. Putrinya, Kentring Manik Mayang Sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata putra Prabu Dewa Niskala dari Keraton Galuh.
Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra Niskala Wastu Kancana) menjadi besan. kemudian Prabu Jayadewata menerima tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala dengan gelar Prabu Guru Dewataprana dan menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharajamempersatukan 2 istana Sunda, yaitu keraton Galuh dan Sunda Pakuan.
ASAL USUL DAN SILSILAH
Ayahnya bernama Prabu Maharaja Linggabuana (yang gugur di Bubat saat ia berusia 9 tahun) putra Prabu Ragamulya Luhur Prabawa putra Prabu Ajiguna Linggawisésa. Ibunya Dewi Lara Linsing[1]putri Prabu Arya Kulon Raja Sunda (di Pakuan Bogor sebagai raja bawahan) dengan Dewi Kiranasari putri Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 M. Kakaknya, Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi yang lahir pada tahun 1339 M dan ikut gugur bersama ayahnya, Prabu Maharaja, di Bubat pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 M.
Setelah mulai remaja Wastukancana kemudian melanglang buana ke Lampung, yang waktu itu masih dalam pengaruh kerajaan Sunda. Dan dari Lampung ini, ia kemudian menikah dengan putri Raja lampung, yang bernama Lara Sarkati. Dan kemudian menjadi prameswari pertamanya ketika ia diangkat menjadi raja pada tahun 1371 M, pada usia 23 tahun.
Dari perkawinannya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama Sang Haliwungan, yang dikemudian hari menjadi raja Sunda di Pakuan, dengan bergelar Prabu Susuk Tunggal.
Sedang dari pernikahan dengan Dewi Mayangsari, putri pamannya, Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.
MASA PEMERINTAHAN
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagaamaan oleh pamannya, Sang Bunisora, sehingga ia tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. kepada Sang Bunisora, pamannya yang terkenal ketaatannya terhadap agama, sehingga Bunisora dikenal pula sebagai Rajaresi, penulis Carita Parahyangan memberi gelar Satmata, yakni gelar keagamaan tingkat kelima dari tujuh tingkat keagamaan yang dianut penguasa Sunda waktu itu.
Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke 5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke 7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Prabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Prabu Bunisora pada usia 23 tahun (1371) M, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana Tunggadewata, dalam naskah yang paling muda ia disebut Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang. Tulisan dalam Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut :
"aya deui putra prebu, kasohor ngaranna, nya eta prebu Niskala Wastu Kancana, nu tilem di nusalarang gunung wanakusuma. lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, hiang bunisora, nu hilang di gegeromas. batara guru di jampang.sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta sanghiang pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. nu dituladna oge makuta anggoan sahiang indra. sakitu, sugan aya nu dek nurutan. enya eta lampah nu hilang ka nusalarang, daek eleh ku satmata. mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. sang wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang watangageung. ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh."
AKHIR KEKUASAAN DAN SUKSESI
Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum).
Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa di Sunda sebelah barat (Pakuan), Bogor dan Sunda sebelah timur (Galuh), Kawali, Ciamis.
Pertama, Ningrat Kancana merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu Niskala Wastu Kancana dengan putri Dewi Mayangsari putri Prabu Bunisora. Ia kemudian diangkat menjadi sebagai Raja Anom di Galuh mendampingi ayahnya (Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana penguasa Kerajaan Sunda Galuh), dengan gelar penobatan Ningrat Kancana, Prabu Dewa Niskala. Ia berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Ia adalah ayah Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja.
Kedua, Sang Haliwungan menjadi raja anom di kerajaan Sunda sejak tahun 1382 Masehi, dengan nama penobatan Prabu Susuk Tunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Prabu Susuk Tunggal merupakan putra Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang berkedudukan di daerah timur, Kawali) dari istrinya, Dewi Lara Sarkati, putri penguasa Lampung, Resi Susuk Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai Citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100 tahun), sebab sudah dimulai saat ayahnya berkuasa (1371-1475) M. Putrinya, Kentring Manik Mayang Sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata putra Prabu Dewa Niskala dari Keraton Galuh.
Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra Niskala Wastu Kancana) menjadi besan. kemudian Prabu Jayadewata menerima tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala dengan gelar Prabu Guru Dewataprana dan menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharajamempersatukan 2 istana Sunda, yaitu keraton Galuh dan Sunda Pakuan.
Belum ada Komentar untuk "Kisah Legenda Prabu Niskalawastu Kancana Raja Kerajaan Sunda Galuh"
Posting Komentar