Legenda Asal Usul Mandala Cirebon Larang
Minggu, 12 Mei 2019
Tambah Komentar
Mandala Cirebonlarang adalah cikal bakal Kerajaan Cirebon Larang atau Kerajaan Pasambangan dan selanjutnya menjadi Kesultanan Cirebon. Lokasi Manadala Cirebon Larang ini berada di Muara Jati Cirebon. Pesisir utara Kota Cirebon sekarang.
Umumnya sebagai Mandala, Cirebon larang adalah daerah perdikan atau pusat pendidikan pra Islam di bawah Kerajaan Galuh Pakuan pajajaran. Sebelum Pajajaran berdiri di Bogorsekarang, daerah ini berada di bawah pemerintahan Kerajaan Galuh, Ciamis sekarang. Awal mula berdirinya Manda Cirebonlarang tidak diketahui secara persis. Keberadaannya bersamaan dengan tumbuhnya pemukiman atau pakuwuan Cirebonlarang.
AWAL MULA
Pada tahun 1302 AJ (Anno Jawa)/1389 M, dipantai Pulau Jawa yang sekarang disebut Cirebon, ada tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran yang diketuai oleh Mangkubumi yaitu Singhapura, Pesambangan, dan Japura. Pasambangan ini yang dikenali sebagai Cirebonlarang.
Seharusnya Mandala Cirebonlarang dipimpin oleh seorang Guru Resi atau dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian disebut Gulu Loka. Namun kesejarahan pimpinan Mandala ini telah hilang atau tidak diketahui. Sejarah Cirebon hanya mencata Ki Gedeng Tapa atau Ki Jumanjang Jati, seorang juru labuan sebagai pemimpin pemukiman Cirebonlarang.
Informasi dalam Cerita Purwaka Caruban Nagari hanya mengisahkan heroisme masa penyebaran Islam di Cirebon, sehingga masa pra-Islam tidak diketahui. Kondisi masyarakat dan kepemimpinan saat itu masih gelap. Meskipun demikian, temuan artefak Kubur Batu (Dolmen) pra-sejarah dapat menjadi acuan penelitian masyarakat Cirebon pra-Islam.
Kubur batu merupakan tradisi megalitik yang sudah sangat tua. Diduga tradisi ini sudah dilakukan sejak masa bercocok tanam pada masa prasejarah.
Akan tetapi, beberapa kubur batu menunjukan penanggalan yang lebih muda. Hal ini terutama diperkuat dari hasil temuan bekal kubur yang berasal dari zaman yang lebih awal.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa tradisi kubur batu telah berlangsung sejak masa prasejarah hingga masa setelahnya, bahkan dibeberapa tempat tradisi ini terus berlanjut pada masa kerajaan kuna. Kubur batu umumnya diletakan dengan orientasi timur-barat hal ini dipercaya sebagai bagian dari konsep religi dan sistem kepercayaan masyarakat pada masa itu. Kekuasaan alam seperti matahari dan juga bulan dianggap menjadi pedoman dalam hidup mereka.
MASA ISLAM
Dalam naskah, dikisahkan secara singkat perihal perjalanan hidup Prabu Siliwangi,seorang raja besar yang memerintah Pakuan Pajajaran. Ia adalah putra Prabu Anggalarang dari wangsa Galuh yang berkuasa di Surawisesa (keraton galuh). Pada masa mudanya, ia bernama Raden Manah Rarasa (Pamanah Rasa) dan dipelihara oleh uaknya, Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru labuhan yang menguasai pelabuhan Muara Jati. Prabu Siliwangi memperistri puteri Ki Gedeng Sindangkasih bernama Nyai Ambetkasih.
Prabu Siliwangi mengikuti sayembara di negeri Surantaka, bawahan negeri Pajajaran, yang diselenggarakan oleh raja Singapura, Ki Gedeng Tapa. Dalam sayembara itu, ia tampil sebagai pemenang dan berhak memperistri Nyai Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa.
Setelah Ki Gedeng sindangkasih wafat, Raden Pamanah Rasa dijadikan Raja Sindangkasih dengan gelar Prabu Siliwangi. Selang beberapa waktu lamanya, Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi Maharaja di Pakwan Pajajaran bergelar Pabu Dewatawisesa dan tinggal di keraton Sang Bima bersama istrinya Nyai Subanglarang.
Versi lain, pertemuan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang di pesantren Syekh Quro di karawang. Jadi menyunting Nyai Subang Larang tidak melalui sayembara. Kisah epik menikahi seorang wanita, khususnya di wilayah Cirebon, Majalengka dan sekitarnya. Mungkin hal ini dimaksudkan sebagai tanda sulitnya mendapat seorang wanita mulia.
CIREBON PRA ISLAM
Sebutan Negeri Caruban atau Cerbon itu adalah menurut nama ibukotanya,ialah Caruban yang berasal dari istilah “Sarumban”berarti pusat tempat percampuran penduduk. Hal ini karena Letak Cirebon yang merupakan kota pelabuhan yang sejak abad ke-5 M sudah ramai sebagai jalur perdagangan internasional. Kebanyakan para pedagang biasanya berlabuh untuk kemudian menunggu musim berlayar kembali hingga membentuk koloni dan lama-kelamaan membaur dengan pribumi. Kondisi geografis Kesultanan Cirebon tidak jauh berbeda dengan kondisi Kota Cirebon sekarang.
Dalam buku Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, letak Pelabuhan Cirebon berada di teluk yang terlindung dari gangguan alam seperti gelombang laut. Pelabuhan Cirebon juga terletak cukup jauh dari Pelabuhan besar lainnya,ditengah Pulau Jawa bagian utara diantara Pelabuhan Jepara, Tuban, dan Surabaya didaerah timur dan Pelabuhan Sunda Kelapa (Jayakarta) dan Banten disebelah Barat. Oleh karena itu, Pelabuhan Cirebon menjadi mata rantai dalam jalur perdagangan di Kepulauan Nusantara dan Perairan Asia.
Peran Pelabuhan Cirebon inilah yang menyebabkan Sejak abad ke-5 M Pelabuhan Cirebon sudah ramai oleh para pedagang lokal maupun internasional. Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, wilayah Cirebon dapat dikelompokkan atas dua daerah yaitu daerah pesisir disebut dengan nama Cirebon Larang dan daerah pedalaman yang disebut Cirebon Girang.
Cirebon Larang adalah sebuah daerah bernama Dukuh Pesambangan dan Cirebon Girang adalah Lemah Wungkuk. Dari Cirebon Larang/Dukuh Pesambangan inilah perdagangan melalui jalur laut berlangsung dan menjadi jalur masuknya Islam di Cirebon. Cirebon Larang mempunyai pelabuhan yang sudah ramai dan mempunyai mercusuar untuk memberi petunjuk tanda berlabuh kepada perahu-perahu layar yang singgah dipelabuhan yang disebut Muara Jati (sekarang disebut Alas Konda).
Tahun 1302 AJ (Anno Jawa)/1389 M, tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran masing-masin dipimpin oleh Mangkubumi yaitu Singhapura, Pesambangan, dan Japura. Setiap daerah memiliki pemimpin sendiri, Singapura (Mertasinga) dipimpin oleh Mangkubumi Singhapura, Pesambangan dikepalai Ki Ageng Jumajan Jati, dan Japura dikepalai Ki Ageng Japura. Dari ketiga daerah otonom ini, salah satunya adalah Dukuh Pesambangan yang dalam perkembangannya berubah menjadi Cirebon.
Dukuh Pesambangan adalah dukuh yang mengawali lahirnya pemukiman di Cirebon, kemudian dibuka pedukuhan baru dikenal dengan nama Lemah Wungkuk (Kebon Pesisir). Pada masa Pangeran Cakrabuana/Walangsungsang menjabat Kuwu Cerbon ke II, Ibukota Caruban Larang yang tadinya di Pesambangan dipindah ke daerah Caruban (Kebon Pesisir) yang kemudian disebut Sarumban/Caruban, Carbon, Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-alangy ang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat.
Sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang (cai rebon).
Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota Pajajaran, Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran Cakrabuana membuka pedukuhan atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/Syekh Datuk Kahfi.
Umumnya sebagai Mandala, Cirebon larang adalah daerah perdikan atau pusat pendidikan pra Islam di bawah Kerajaan Galuh Pakuan pajajaran. Sebelum Pajajaran berdiri di Bogorsekarang, daerah ini berada di bawah pemerintahan Kerajaan Galuh, Ciamis sekarang. Awal mula berdirinya Manda Cirebonlarang tidak diketahui secara persis. Keberadaannya bersamaan dengan tumbuhnya pemukiman atau pakuwuan Cirebonlarang.
AWAL MULA
Pada tahun 1302 AJ (Anno Jawa)/1389 M, dipantai Pulau Jawa yang sekarang disebut Cirebon, ada tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran yang diketuai oleh Mangkubumi yaitu Singhapura, Pesambangan, dan Japura. Pasambangan ini yang dikenali sebagai Cirebonlarang.
Seharusnya Mandala Cirebonlarang dipimpin oleh seorang Guru Resi atau dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian disebut Gulu Loka. Namun kesejarahan pimpinan Mandala ini telah hilang atau tidak diketahui. Sejarah Cirebon hanya mencata Ki Gedeng Tapa atau Ki Jumanjang Jati, seorang juru labuan sebagai pemimpin pemukiman Cirebonlarang.
Informasi dalam Cerita Purwaka Caruban Nagari hanya mengisahkan heroisme masa penyebaran Islam di Cirebon, sehingga masa pra-Islam tidak diketahui. Kondisi masyarakat dan kepemimpinan saat itu masih gelap. Meskipun demikian, temuan artefak Kubur Batu (Dolmen) pra-sejarah dapat menjadi acuan penelitian masyarakat Cirebon pra-Islam.
Kubur batu merupakan tradisi megalitik yang sudah sangat tua. Diduga tradisi ini sudah dilakukan sejak masa bercocok tanam pada masa prasejarah.
Akan tetapi, beberapa kubur batu menunjukan penanggalan yang lebih muda. Hal ini terutama diperkuat dari hasil temuan bekal kubur yang berasal dari zaman yang lebih awal.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa tradisi kubur batu telah berlangsung sejak masa prasejarah hingga masa setelahnya, bahkan dibeberapa tempat tradisi ini terus berlanjut pada masa kerajaan kuna. Kubur batu umumnya diletakan dengan orientasi timur-barat hal ini dipercaya sebagai bagian dari konsep religi dan sistem kepercayaan masyarakat pada masa itu. Kekuasaan alam seperti matahari dan juga bulan dianggap menjadi pedoman dalam hidup mereka.
MASA ISLAM
Dalam naskah, dikisahkan secara singkat perihal perjalanan hidup Prabu Siliwangi,seorang raja besar yang memerintah Pakuan Pajajaran. Ia adalah putra Prabu Anggalarang dari wangsa Galuh yang berkuasa di Surawisesa (keraton galuh). Pada masa mudanya, ia bernama Raden Manah Rarasa (Pamanah Rasa) dan dipelihara oleh uaknya, Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru labuhan yang menguasai pelabuhan Muara Jati. Prabu Siliwangi memperistri puteri Ki Gedeng Sindangkasih bernama Nyai Ambetkasih.
Prabu Siliwangi mengikuti sayembara di negeri Surantaka, bawahan negeri Pajajaran, yang diselenggarakan oleh raja Singapura, Ki Gedeng Tapa. Dalam sayembara itu, ia tampil sebagai pemenang dan berhak memperistri Nyai Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa.
Setelah Ki Gedeng sindangkasih wafat, Raden Pamanah Rasa dijadikan Raja Sindangkasih dengan gelar Prabu Siliwangi. Selang beberapa waktu lamanya, Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi Maharaja di Pakwan Pajajaran bergelar Pabu Dewatawisesa dan tinggal di keraton Sang Bima bersama istrinya Nyai Subanglarang.
Versi lain, pertemuan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang di pesantren Syekh Quro di karawang. Jadi menyunting Nyai Subang Larang tidak melalui sayembara. Kisah epik menikahi seorang wanita, khususnya di wilayah Cirebon, Majalengka dan sekitarnya. Mungkin hal ini dimaksudkan sebagai tanda sulitnya mendapat seorang wanita mulia.
CIREBON PRA ISLAM
Sebutan Negeri Caruban atau Cerbon itu adalah menurut nama ibukotanya,ialah Caruban yang berasal dari istilah “Sarumban”berarti pusat tempat percampuran penduduk. Hal ini karena Letak Cirebon yang merupakan kota pelabuhan yang sejak abad ke-5 M sudah ramai sebagai jalur perdagangan internasional. Kebanyakan para pedagang biasanya berlabuh untuk kemudian menunggu musim berlayar kembali hingga membentuk koloni dan lama-kelamaan membaur dengan pribumi. Kondisi geografis Kesultanan Cirebon tidak jauh berbeda dengan kondisi Kota Cirebon sekarang.
Dalam buku Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, letak Pelabuhan Cirebon berada di teluk yang terlindung dari gangguan alam seperti gelombang laut. Pelabuhan Cirebon juga terletak cukup jauh dari Pelabuhan besar lainnya,ditengah Pulau Jawa bagian utara diantara Pelabuhan Jepara, Tuban, dan Surabaya didaerah timur dan Pelabuhan Sunda Kelapa (Jayakarta) dan Banten disebelah Barat. Oleh karena itu, Pelabuhan Cirebon menjadi mata rantai dalam jalur perdagangan di Kepulauan Nusantara dan Perairan Asia.
Peran Pelabuhan Cirebon inilah yang menyebabkan Sejak abad ke-5 M Pelabuhan Cirebon sudah ramai oleh para pedagang lokal maupun internasional. Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, wilayah Cirebon dapat dikelompokkan atas dua daerah yaitu daerah pesisir disebut dengan nama Cirebon Larang dan daerah pedalaman yang disebut Cirebon Girang.
Cirebon Larang adalah sebuah daerah bernama Dukuh Pesambangan dan Cirebon Girang adalah Lemah Wungkuk. Dari Cirebon Larang/Dukuh Pesambangan inilah perdagangan melalui jalur laut berlangsung dan menjadi jalur masuknya Islam di Cirebon. Cirebon Larang mempunyai pelabuhan yang sudah ramai dan mempunyai mercusuar untuk memberi petunjuk tanda berlabuh kepada perahu-perahu layar yang singgah dipelabuhan yang disebut Muara Jati (sekarang disebut Alas Konda).
Tahun 1302 AJ (Anno Jawa)/1389 M, tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran masing-masin dipimpin oleh Mangkubumi yaitu Singhapura, Pesambangan, dan Japura. Setiap daerah memiliki pemimpin sendiri, Singapura (Mertasinga) dipimpin oleh Mangkubumi Singhapura, Pesambangan dikepalai Ki Ageng Jumajan Jati, dan Japura dikepalai Ki Ageng Japura. Dari ketiga daerah otonom ini, salah satunya adalah Dukuh Pesambangan yang dalam perkembangannya berubah menjadi Cirebon.
Dukuh Pesambangan adalah dukuh yang mengawali lahirnya pemukiman di Cirebon, kemudian dibuka pedukuhan baru dikenal dengan nama Lemah Wungkuk (Kebon Pesisir). Pada masa Pangeran Cakrabuana/Walangsungsang menjabat Kuwu Cerbon ke II, Ibukota Caruban Larang yang tadinya di Pesambangan dipindah ke daerah Caruban (Kebon Pesisir) yang kemudian disebut Sarumban/Caruban, Carbon, Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-alangy ang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat.
Sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang (cai rebon).
Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota Pajajaran, Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran Cakrabuana membuka pedukuhan atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/Syekh Datuk Kahfi.
Belum ada Komentar untuk "Legenda Asal Usul Mandala Cirebon Larang"
Posting Komentar