Asal Usul Rakai Watuhumalang Raja Ke-8 Kerajaan Medang
Kamis, 13 Juni 2019
Tambah Komentar
Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang.
Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).
Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899(prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.
HUBUNGAN DENGAN RAKAI KAYUWANGI
Menurut analisis para sejarawan, misalnya Poerbatjaraka dan Boechari, tokoh bernama Dyah Balitung naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung adalah menantu Rakai Watuhumalang.
Hubungan antara Rakai Watuhumalang dengan raja sebelumnya, yaitu Rakai Kayuwangi juga belum jelas. Nama putra mahkota zaman Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.
Ditemukan pula prasasti atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi (prasasti Munggu Antan, 887) dan atas nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra (prasasti Poh Dulur, 890). Padahal keduanya tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Mungkin, pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangitelah terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Medang.
Sementara itu, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung merupakan cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yaitu istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, ayah dari Rakai Kayuwangi.
Apabila Dyah Balitung benar-benar menantu Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra (atau mungkin menantu) Rakai Pikatan yang lahir dari selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Sedangkan Rakai Kayuwangi lahir dari permaisuri bernama Pramodawardhani. Dengan kata lain, Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri (atau mungkin ipar) Rakai Kayuwangi, raja sebelumnya.
Apabila dugaan-dugaan di atas benar-benar terjadi, maka jalannya peristiwa dalam sejarah Kerajaan Medang dapat ditafsirkan sebagai berikut.
Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. Sementara itu hubungan dengan Rakai Limus Dyah Dewendra masih belum dapat diperkirakan.
Sepeninggal Rakai Pikatan, putra yang bungsu ditunjuk menjadi raja, yaitu Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi yang lebih tua merasa cemburu. Pada akhir pemerintahan adiknya, ia pun memisahkan diri dan menjadi maharajatandingan (prasasti Munggu Antan).
Mungkin perpecahan dalam keluarga tersebut menimbulkan peperangan yang berakibat kematian Rakai Kayuwangi dan putra mahkotanya, yaitu Rakai Hino Mpu Aku. Takhta Kerajaan Medang kemudian jatuh kepada Rakai Watuhumalang yang semula hanya sebagai raja bawahan.
Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watuhumalang.
Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut.
Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).
Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899(prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.
HUBUNGAN DENGAN RAKAI KAYUWANGI
Menurut analisis para sejarawan, misalnya Poerbatjaraka dan Boechari, tokoh bernama Dyah Balitung naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung adalah menantu Rakai Watuhumalang.
Hubungan antara Rakai Watuhumalang dengan raja sebelumnya, yaitu Rakai Kayuwangi juga belum jelas. Nama putra mahkota zaman Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.
Ditemukan pula prasasti atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi (prasasti Munggu Antan, 887) dan atas nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra (prasasti Poh Dulur, 890). Padahal keduanya tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Mungkin, pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangitelah terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Medang.
Sementara itu, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung merupakan cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yaitu istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, ayah dari Rakai Kayuwangi.
Apabila Dyah Balitung benar-benar menantu Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra (atau mungkin menantu) Rakai Pikatan yang lahir dari selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Sedangkan Rakai Kayuwangi lahir dari permaisuri bernama Pramodawardhani. Dengan kata lain, Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri (atau mungkin ipar) Rakai Kayuwangi, raja sebelumnya.
Apabila dugaan-dugaan di atas benar-benar terjadi, maka jalannya peristiwa dalam sejarah Kerajaan Medang dapat ditafsirkan sebagai berikut.
Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. Sementara itu hubungan dengan Rakai Limus Dyah Dewendra masih belum dapat diperkirakan.
Sepeninggal Rakai Pikatan, putra yang bungsu ditunjuk menjadi raja, yaitu Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi yang lebih tua merasa cemburu. Pada akhir pemerintahan adiknya, ia pun memisahkan diri dan menjadi maharajatandingan (prasasti Munggu Antan).
Mungkin perpecahan dalam keluarga tersebut menimbulkan peperangan yang berakibat kematian Rakai Kayuwangi dan putra mahkotanya, yaitu Rakai Hino Mpu Aku. Takhta Kerajaan Medang kemudian jatuh kepada Rakai Watuhumalang yang semula hanya sebagai raja bawahan.
Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watuhumalang.
Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut.
Belum ada Komentar untuk "Asal Usul Rakai Watuhumalang Raja Ke-8 Kerajaan Medang"
Posting Komentar