Gudang Garam, Kisah Menjadi Karyawan Tujuh Turunan
Rabu, 01 Januari 2020
Tambah Komentar
KEDIRI JATIM - Mungkin hanya Gudang Garam satu-satunya perusahaan di Indonesia yang tak memberlakukan aturan njlimet kepada karyawannya. Bahkan dulu, selama bertahun-tahun, perusahaan rokok di Kediri, Jawa Timur ini menerapkan penerimaan pegawai dengan sistem kekerabatan.
“Pak mandor, anak saya sudah lulus SD. Butuh pekerjaan. Bisakah menggantikan saya kerja di sini?” tanya Suratin suatu ketika.
Suratin adalah pekerja PT Gudang Garam Tbk yang bertugas melinting rokok. Selama puluhan tahun dia mendermakan hidupnya untuk perusahaan itu. Sehingga tak berlebihan jika dia menitipkan masa depan anaknya saat usianya tak lagi muda.
“Kamu, anakmu, cucumu, semuanya boleh kerja di sini. Ini bukan perusahaan siapa-siapa. Ini keluargamu,” jawab mandor sambil menghisap rokok Gudang Garam Merah.
Sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa seluruh anak cucu pekerja PT Gudang Garam Tbk bisa mewarisi pekerjaan leluhurnya sebagai tukang linting.
Hubungan industrial inilah yang kelak membawa perusahaan ini besar dan merajai industri rokok tanah air.
Bagi puluhan ribu pekerjanya, Gudang Garam bukanlah pabrik. Gudang Garam adalah rumah kedua dan juga keluarga dekat mereka.
Mengapa? Karena interaksi sosial mereka tak hanya berlaku di dalam lingkungan kerja. Di luar pabrik, puluhan ribu pekerja ini hidup berdampingan di desa-desa sebagai korps. Korps Gudang Garam.
Di tahun 1990-an, keberadaan mereka kerap memenuhi jalanan Kota Kediri pagi dan sore. Dengan riang mereka mengayuh sepeda bersama, menyusuri jalanan kota yang tak begitu padat dengan kendaraan bermotor.
Di sudut lain, kendaraan umum yang mengangkut pekerja Gudang Garam berjalan terseok akibat sesaknya penumpang. Ini karena jumlah penumpang yang tak lagi sepadan dengan kapasitas kendaraan.
Meski berjejal, gelak tawa memenuhi kendaraan hingga akhirnya tiba di depan rumah masing-masing.
Gudang Garam bukan sekedar pabrik bagi Kota Kediri. Gudang Garam adalah nafas bagi denyut kehidupan warganya. Sampai sekarang.
“Pak mandor, anak saya sudah lulus SD. Butuh pekerjaan. Bisakah menggantikan saya kerja di sini?” tanya Suratin suatu ketika.
Suratin adalah pekerja PT Gudang Garam Tbk yang bertugas melinting rokok. Selama puluhan tahun dia mendermakan hidupnya untuk perusahaan itu. Sehingga tak berlebihan jika dia menitipkan masa depan anaknya saat usianya tak lagi muda.
“Kamu, anakmu, cucumu, semuanya boleh kerja di sini. Ini bukan perusahaan siapa-siapa. Ini keluargamu,” jawab mandor sambil menghisap rokok Gudang Garam Merah.
Sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa seluruh anak cucu pekerja PT Gudang Garam Tbk bisa mewarisi pekerjaan leluhurnya sebagai tukang linting.
Hubungan industrial inilah yang kelak membawa perusahaan ini besar dan merajai industri rokok tanah air.
Bagi puluhan ribu pekerjanya, Gudang Garam bukanlah pabrik. Gudang Garam adalah rumah kedua dan juga keluarga dekat mereka.
Mengapa? Karena interaksi sosial mereka tak hanya berlaku di dalam lingkungan kerja. Di luar pabrik, puluhan ribu pekerja ini hidup berdampingan di desa-desa sebagai korps. Korps Gudang Garam.
Di tahun 1990-an, keberadaan mereka kerap memenuhi jalanan Kota Kediri pagi dan sore. Dengan riang mereka mengayuh sepeda bersama, menyusuri jalanan kota yang tak begitu padat dengan kendaraan bermotor.
Di sudut lain, kendaraan umum yang mengangkut pekerja Gudang Garam berjalan terseok akibat sesaknya penumpang. Ini karena jumlah penumpang yang tak lagi sepadan dengan kapasitas kendaraan.
Meski berjejal, gelak tawa memenuhi kendaraan hingga akhirnya tiba di depan rumah masing-masing.
Gudang Garam bukan sekedar pabrik bagi Kota Kediri. Gudang Garam adalah nafas bagi denyut kehidupan warganya. Sampai sekarang.
Belum ada Komentar untuk "Gudang Garam, Kisah Menjadi Karyawan Tujuh Turunan"
Posting Komentar